RUU PKS Diprotes PKBI, Ini Alasannya
Aliansi Jawa Timur Reformasi KUHP bersama Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) menggelar media briefing mengenai proyeksi dampak disahkannya (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) RKUHP terhadap isu kesehatan reproduksi dan kesetaraan gender. RKUHP yang dimaksud ialah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Direktur PKBI Jatim, Zahrotul Ulya menuturkan, dalam draft terakhir RKUHP versi 25 Juni 2019 masih harus perlu penijauan ulang. Dirinya menilai dalam pasal-pasal tersebut masih diliputi overkriminalisasi (tindakan kriminalisasi yang berlebihan).
“Wah bisa-bisa banyak kader kesehatan yang ada di masyarakat masuk penjara dong akibat dikriminalisasi,” ujarnya Rabu 31 Juli 2019 di Surabaya.
RKUHP yang dimaksud oleh Zahra, panggilan akrabnya ialah kriminalisasi terhadap promosi alat pencegah kehamilan termasuk kontrasepsi. Dalam salah satu isi RKUHP tersebut menyatakan bahwa edukasi dan promosi hanya dapat dilakukan oleh petugas yang berwenang.
“Padahal berdasarkan Pasal 21 PP No 61 tahun 2014 pelayanan kontrasepsi salah satunya diselenggarakan oleh masyarakat. Selain itu, jumlah kader kesehatan terlatih yang mana berpotensi dikriminalisasi karena ketentuan tersebut hingga 2014 saja berjumlah 569.477 orang itu sumber dari Kementerian Kesehatan RI,” terangnya.
Selain itu menurut Zahra, ketentuan tersebut juga secara jelas akan menghambat banyak program pemerintah seperti program keluarga berencana, program edukasi kesehatan reproduksi dan program penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS.
“Perlu diketahui, angka konseling KTD yang masuk ke klinik PKBI adalah 1346 dari tahun 2015-2018. Sedangkan data orang yang terinfeksi HIV di Jawa Timur hingga 2017 mencapai 33.043 orang, kedua tertinggi setelah DKI Jakarta. Lalu kasus AIDS hingga Maret 2017 di Jawa Timur mencapai 17,014 yang mana tertinggi seluruh Indonesia, terus maunya pemerintah gimana coba,” jelasnya.
Zahra melihat ada kemungkinan orang awam yang tidak mengetahui tentang RUU ini bisa masuk dalam penjara. “Kita nih misal tahu tempat jual kondom, terus kasih tahu orang. Nah gitu bisa ditangkap nanti kalau RKUHP ini disahkan menjadi RUU pada September 2019 mendatang,” tegasnya.
Selain kriminalisasi tentang alat kontrasepsi, Zahra menilai RKUHP tersebut juga bisa mengkriminalisasi setiap perempuan yang melaukan pengguguran kandungan meskipun terdapat indikasi medis atau korban perkosaan.
“RKUHP berusaha mengkriminalkan semua bentuk perbuatan pengguguran kandungan, terlebih lagi secara spesifik pasal tersebut mengkriminalkan perempuan, termasuk perempuan korban kekerasan,” ucapnya.
Menurutnya RKUHP ini bersifat diskriminatif karena ada pengecualian pemidanaan yang hanya berlaku kepada dokter yang melakukan aborsi tersebut namun tetap berlaku untuk perempuan yang melakukan.
“ini jelas diskriminatif dan akan membahayakan program Pemerintah yang berkomitmen untuk menurunkan angka kematian ibu hamil dan angka kematian dini bayi. Di Jawa Timur pada 2017, Angka Kematian Ibu 91,92/100.000 kelahiran hidup yang mana mengalami peningkatan dari tahun 2015 yang mencapai 89,6/100.000,” bebernya.
Dia berharap agar komitmen Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan sumber daya manusia melalui perbaikan kualitas kesehatan masyarakat, salah satu diantaranya dengan menjamin kesehatan ibu, kesehatan bayi, dan menurunkan angka kematian ibu-bayi bisa tetap terwujud.
“Sejauh ini kami sudah dua kali hearing ke DPRD Jatim Komisi 3. Karena yang mengesahkan memang DPR RI Komisi 3. Saya rasa DPRD Jatim harusnya bisa menjembatani keinginan kita. Kalau memang masih tetap tidak ada perubahan kita akan hearing kembali ke DPRD Jatim,” harapnya.
Selain itu, Zahra ingin media turut membantu meneruskan isi draft terakhir RKUHP versi 25 Juni 2019 agar masyarakat tidak buta akan informasi dan tidak terjadi kriminalisasi yang menimpa banyak orang.
"Saya harap media juga membantu untuk memfollow-up informasi ini," pungkasnya.
Advertisement