Pilpres 2019: Urgen Diperlukan Gerbong Ketiga!
Pilpres kali ini memang luar biasa. Kekuatan politik hegemoni partai-partai besar telah sukses memaksa rakyat untuk hanya bisa memilih dua capres dan cawapres saja.
Dalam kondisi di negeri ini yang masih dalam keadaan ‘demam’ politik saling membeci lawan secara hitam-putih, rakyat pun terbelah menjadi dua kelompok pendukung.
Kiblatnya diarahkan berdasarkan jargon 'pokoke jagoku harus menang'. Maka yang berkembang, apa pun yang dilakukan fihak Jagoan lawan, semuanya jelek dan salah, sekalipun benar. Sementara terhadap Jagoannya, semuanya bagus dan benar, sekalipun salah.
Dalam setting politik elitis yang menggiring rakyat menjadi loyalis buta dan fanatik sempit-berkacamata kuda ini, paparan program, pemikiran, dan daftar koreksi berikut capaian maupun perencanaan kerja para capres-sawapres, menjadi tidak penting.
Rakyat justru digiring untuk masuk ke dalam wilayah permainan politik subyektif 'like and dislike' ketimbang mendidik rakyat untuk bersikap kritis dan mendewasakan cara memilih yang baik dan benar. Celakanya, rakyat malah diposisikan saling berhadapan berbekal semangat 'pokoke'.
'Permusuhan' pun dipastikan akan berlanjut hingga pasca pemilu. Setiap harinya masing-masing kubu akan saling menggelembungkan dan meninggikan eskalasi sikap permusuhan yang pasti berdampak pada tergerusnya semangat persatuan dan persaudaraan antar sesama anak bangsa.
Dengan desain politik pemilu yang mendangkalkan ini, kemenangan yang akan diraih oleh kubu mana pun, hanya akan melahirkan benih-benih kekalahan kita sebagai sebuah bangsa. Gejala ini sudah tampak dan dirasakan dalam kehidupan kita sehari-hari beberapa bulan terakhir ini.
Perkawanan, persaudaraan, kebersamaan yang biasanya menjadi ciri komunitas bangsa kita di masa lalu, berubah menjadi pengkotakan yang berkeping-keping antar kubu pendukung para capres-cawapres.
Selanjutnya, perlahan tapi pasti, akan merangsang berkembangnya pengkotakan antar pendukung partai, perbedaan agama, suku, ras, dan kelas sosial yang akan bermuara pada anarkisme!
Dengan kata lain, negeri ini pun menjadi tempat yang sangat kondusif untuk menggelembungkan dan menyuburkan politik adu domba dan politik "devide et impera" agar bangsa ini menjadi lemah, terpecah, dan mudah untuk dapat kembali dijajah (ala neokolonialisme).
Bahkan yang paling miris membayangkan negeri ini dijadikan target lahan berikut untuk menggelar proyek 'war zone' baru pasca Suriah. Tentunya setelah Suriah dianggap sudah tak menarik lagi untuk dijadikan war zone yang menguntungkan bagi para industriawan peralatan perang di bawah kontrol para ‘pemilik’ dunia (kaum zionis-illumineti).
Kedengarannya mungkin mengada-ada, namun gejala ke arah sana sudah mulai terasakan. Adanya benih-benih perpecahan yang menjurus ke permusuhan yang berpotensi menghancurkan persatuan rakyat bangsa ini, sangat terasa mulai disemai.
Yang paling nyata ketika agama terbesar di Indonesia mulai diracuni dengan berbagai virus perpecahan yang diawali dengan mendesain permusuhan terbuka antar penganut mashab yang ada di negeri ini.
Semangat saling meniadakan dan menghancurkan antar penganut mashab yang berbeda begitu marak. Dalam kaitan pilpres pun, upaya memperhadapkan Ulama vs Ulama dicoba untuk dikembangkan. Masih beruntung para capres menyadari bahaya akan hal ini.
Bila dulu isu kristenisasi pernah diluncurkan agar terjadi perpecahan antar umat beragama dan gagal berkembang, dikarenakan jumlah pemeluk agama Nasrani terlalu kecil untuk diperhadapkan dengan mayoritas masyarakat Islam yang jumlahnya sangat jauh lebih besar.
Sehingga isu ini dengan cepat dapat padam ketika kelompok mayoritas (Islam) cukup dengan hanya menggeliat sedikit saja. Berbeda ketika yang digoyang justru kelompok mayoritas lewat pertajaman perbedaan aliran-mashab dalam tubuh komunitas pemeluk agama Islam di negeri ini.
Dengan sendirinya terhadap kelompok yang beda agama otomatis terbangun garis pemisah yang sangat tajam. Perpecahan dalam komunitas bangsa dengan menggunakan agama sebagai alat pemicu, terbukti dan telah terasakan berjalan sangat efektif.
Itulah sebabnya mengapa dalam Pemilu-Pilpres yang bersifat mendangkalkan dan yang memperhadapkan dua kubu rakyat massa pendukung untuk saling serang dan secara intensif digiring tumbuh dalam permusuhan dan kebencian, diperlukan hadirnya gerbong ketiga sebagai kelompok penengah.
Gerbong ketiga ini idealnya diisi oleh para budayawan, cendekia, para tokoh masyarakat, dan para pinisepuh, yang orientasinya dalam Pemilu-Pilpres kali ini adalah: memilih berdiri di tengah dalam upaya mempertahankan persatuan rakyat dan kemenangan Indonesian sebagai negara bangsa sebagaimana cita-cita kemerdekaan '45!
Para individu yang ada dalam gerbong ketiga ini bukan berarti memilih sikap untuk Golput. Boleh saja mempunyai pilihan pasangan capres-cawapres, namun pemihakan kepada gerakan mengutamakan persatuan dan kemenangan rakyat Indonesia, lebih menjadi pilihan utamanya.
Sehingga pilihan terhadap salah satu pasangan capres-cawapres hanya dimunculkan di saat berada dalam ruang pencoblosan pada hari H Pemilu-Pilpres digelar.
Sayangnya figur sekelas Pak Try Sutrisno dan Habibie, telah memilih ikut larut dalam hingar bingar dukung mendukung yang tidak sehat ini. Bagi yang sadar, cepat hadirkan "gerbong ketiga" sebelum semuanya sudah terlambat!
*) Erros Djarot - Dikutip sepenuhnya dari laman watyutink.com