Pilkada Serentak 2024, Benarkah Kurang Greget?
Tiga hari jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak, ternyata masih ada yang belum menentukan pilihannya. Ia masih bingung siapa yang akan dicoblos untuk memimpin daerah yang menjadi tempat tinggalnya.
Kebingungan itu menimpa seorang ibu-ibu penjual makanan. Pemilik warung yang setiap hari menjadi jujugan para pedagang pasar untuk menghalau rasa laparnya. Pemilik warung makan yang ada di Pasar Sawahan, Nganjuk.
Ya. Hari minggu kemarin saya memang sengaja hendak ke Sedudo, tempat wisata air terjun di salah satu kabupaten daerah Mataraman, Jawa Timur itu. Ingin melihat potensi wisata alam yang sebetulnya tak jauh dari Bandara Internasional Doho, Kediri.
Saya mampir warung itu karena harus menunggu kawan yang seorang kiai. Ia sedang mengisi pengajian di desa tersebut. Namun, sebelumnya, ia telah mengirim alamat pasar sebagai titik ketemu sebelum secara bersama–sama ke Sedudo.
Kebetulan, sampai tempat tersebut sudah saatnya makan siang. Maka, saya pun bertanya kepada tukang parkir mana warung di pasar yang paling ramai. Ia pun menunjuk warung yang tak jauh dari tempat kami berhenti.
Rumus mencarui makan enak di pasar itu memang paling gampang. Jika warung itu ramai menjadi jujugan orang pasar, maka warung itu pasti enak. Sebab, umumnya pedagang pasar adalah pemegang uang. Karena itu, mereka selalu menikmati makan enak di warung pasar juga.
Benar saja, saya menemukan makan rumahan yang mengingatkan masa kecil saya. Menu utamanya ada lodeh, rawon, soto, dendeng ragi dan sebagainya. Lodeh adalah pilihan yang paling saya suka. Namun karena sudah siang hari menjelang tutup, menu tersisa tidak banyak.
‘’Nyobi bobor daun singkong? Ndamel sambel terasi eco (Mau mencoba makan bobor daun singkong? Pakai sambal terasi pasti enak,’’ kata si ibu penjualnya. Bobor salah satu resep makanan yang kurang lebih seperti gulai. Masakan dengan menggunakan santan.
Saya pun lahap dengan bobor daun singkong ini. Tak lama, sepiring nasi dengan bobor singkong ludes. Mengingatkan masakan almarhum ibu saya di waktu kecil. Makan berdua di warung itu hanya menghabiskan Rp 26 ribu.
Karena pengajiannya kawan saya belum selesai, saya ijin berlama-lama di warungnya. ‘’Rasan-rasanya orang pasar, siapa Bu calon bupati yang akan dipilih warga sini?,’’ tanya saya. Dengan serius, ia menjawab tidak tahu. Ia juga tidak hapal nama pasangan yang akan bertarung di coblosan 27 Nopember 2024 mendatang.
Suasana yang sama juga terjadi di Blitar. Di hari terakhir masa kampanye saya memang sedang berkunjung di kota tempat jasad Bung Karno itu dimakamkan. Greget Pilkada terasa kurang di daerah itu. Apalagi ketika ditanyakan kepada sebagian warga di pedesaan.
Kariuhan dan greget seakan hanya terjadi di daerah yang menjadi pertarungan para elit politik nasional. Seperti Medan, Jawa Tengah dan Jakarta. Di ketiga daerah itu seperti menjadi batle ground pertarungan antar mantan presiden dan atau kelompok penguasa dan non penguasa.
Tapi betulkan greget Pilkada tahun ini berkurang? Tentu kelak akan bisa dilihat dari tingkat partisipasi pemilih untuk menggunakan hal pilihnya di tempat coblosan. Apakah masih tinggi atau justru merosot tajam. Apakah warga masih peduli dengan calon pemimpinnya atau tidak?
Yang pasti, menjadi pasangan calon dalam pemilu dalam derkade belakangan memang lebih berat. Kandidat maupun tim suksesnya harus berjuang keras dalam setiap tahapan dalam pemilihan. Mulai dari mencari suara, mendatangkan suara, dan menjaga suara.
Bahkan, semua tahapan itu selalu membutuhkan biaya. Untuk kampanye agar pemilih tertarik dengan pasangan, jelas perlu biaya. Tapi, setelah mereka tertarik dengan pasangan, mereka belum tentu bisa datang ke tempat coblosan karena pekerjaan atau lainnya. Di sini biasanya juga perlu biaya untuk mendatangkan mereka ke TPS (Tempat Pemungutan Suara).
Setelah suara di kotak suara, masih juga perlu dijaga dalam setiap tahap penghitungannya. Apalagi dalam pemilihan legislatif yang calonnya banyak. Kandidat dan tim suksesnya perlu menjaga dalam tahapan perhitungan agar suaranya tidak hilang atau pindah ke kandidat lainnya.
Inilah yang membuat ‘’biaya produksi’’ untuk menjadi seorang pemimpin politik di Indonesia sekarang sangat mahal. Hanya orang-orang yang beruang atau yang punya bandar uang yang akan bisa tampil menjadi pemimpin politik di era yang cenderung transaksional ini.
Barangkali kecenderungan ini yang membuat greget pilkada menjadi berkurang. Politik hanyalah gawe kaum elit yang beruang. Bukan menjadi bagian dari pesta rakyat yang ingin mendapatkan pemimpin yang bisa diharapkan bisa memperjuangkan nasib atau memajukan daerahnya.
Oligarki politik yang bercumbu dengan transaksionalisme pemilih bisa membuat ruang politik menjadi hanya permainan kelompok terbatas. Apalagi, semakin hari, partai politik cenderung kehilangan platform yang menjadi identitas dirinya. Tak ada ‘’ideologi’’ atau ‘’jenis kelamin’’ yang jelas yang bisa menjadi panduan pemilih serius.
Ekosistem politik yang demikian jelas tidak baik-baik saja untuk masa depan bangsa. Diperlukan upaya serius untuk secara bersama memutus mata rantai transaksionalisme politik yang telah merambah ke mana-mana. Diperlukan ‘’reinventing’’ alias menemukan kembali jati diri politik. Untuk apa kita berpolitik dan untuk apa kita perlu menggelar pemilu?
Tentu ini adalah menjadi ranah partai politik. Lembaga politik yang memang didesain untuk bergerak di ranah itu. Pilar yang seharusnya menjadi penjaga demokrasi. Sebuah sistem politik yang menjadi pilar bagi jalannya tat kenegaraan dan pemerintahan. Parpol yang memang bertugas menjadi pencetak pemimpin politik dan penyalur aspirasi rakyat.
Saya tak pernah ingin menyalahkan rakyat sebagai sumber dari kecenderungan transaksionalisme politik ini. Sebab, di dalam masyarakat yang paternalistik seperti kita, keteladanan kepemimpinan adalah segalanya. Maka elit politik yang harus menginisiasi atau memulai.
Dulu ketika reformasi politik terjadi, saya membayangkan tatanan politik baru yang lebih maju akan terwujud dalam tiga kali pemilu. Tapi ternyata masih butuh waktu lebih lama lagi untuk itu. Rupanya, masih perlu dirumuskan kembali paradigma berpolitik kita. Bukan hanyaa berebut kuasa, tapi membangun peradaban politik yang lebih berbudaya.
Jadi, ke depan bukan hanya menggregetkan kembali pilkada, tapi lebih memperadabkan berbagai proses politik kita. Agar keberadaan negara bangsa ini tetap terjaga. Ayo kita bisa!