Pilkada Serentak 2018: Langkah Jokowi Menuju Periode Kedua Tak Terbendung?
Selama partai oposisi tidak berhasil membangun konsolidasi, maka optimisme Eko bahwa peta dan rute Jokowi menuju dua periode menjadi jelas, sangat benar. Jokowi sudah memenangkan pertempuran di Pilkada Serentak 2018, dan tinggal menunggu waktu memenangkan peperangan di 2019.
Peta dan rute Jokowi menuju Pilpres 2019 pasca Pilkada Serentak 2018 makin jelas. Analisis dan kesimpulan tertulis Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Eko Sulistyo yang disebar ke media tersebut sangat logis dan cukup beralasan. Dalam bahasa yang lebih tegas, Eko tampaknya ingin menyampaikan pesan, langkah Jokowi menuju periode kedua tidak terbendung
Setidaknya ada tiga hal yang mendasari mengapa bos Ali Muchtar Ngabalin tersebut sampai kepada kesimpulan seperti itu. Pertama, dari konteks teritorial pulau Jawa yang memiliki pemilih terbesar, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, serta kombinasi antara aktor dan parpol pendukung, semua dimenangkan oleh Jokowi.
Pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Haq yang memenangkan Pilkada Jabar, dari kombinasi partai pengusung dan kandidatnya merupakan pendukung Jokowi. Mereka diusung oleh Nasdem, PKB, PPP, dan Hanura. Kecuali PKB yang sikapnya masih belum jelas, semua partai tersebut adalah pendukung Jokowi.
Ridwan Kamil sejak awal juga sudah menerima syarat Nasdem, apabila dia terpilih sebagai gubernur akan mendukung Jokowi. Pilihan politik tersebut ditegaskan kembali tak lama setelah dinyatakan menang dalam hitung cepat (quick count).
Di Jateng pasangan Ganjar Pranowo-Taj Yasin yang diusung oleh PDIP, PPP, Nasdem, dan Demokrat juga menang. Ganjar adalah kader PDIP, dan Taj Yasin kader PPP. Keduanya merupakan pendukung Jokowi. Sementara dari partai pendukung, hanya Demokrat yang posisinya belum jelas.
Di Jatim boleh dibilang merupakan pertarungan the all Jokowi’s men/women. Kendati pasangan Gus Ipul-Puti calon yang diusung PDIP-PKB, Gerindra, dan PKS kalah, namun pasangan Khofifah-Emil yang memenangkan Pilkada, 100% adalah orang Jokowi. Tak lama setelah diumumkan sebagai pemenang, Khofifah langsung menyatakan “sumpah setia” kepada Jokowi. Padahal selain Golkar, Nasdem, PPP, dan Hanura, Khofifah juga diusung Demokrat, dan PAN.
Kedua, penggunaan politik SARA maupun politik identitas sudah ditinggalkan pemilih. Jelas yang dimaksudkan oleh Eko adalah fenomena yang terjadi di Jabar. Setelah kekalahan Ahok-Djarot di Pilkada DKI, Jokowi dan PDIP berusaha mati-matian mencegah kejadian serupa terulang di Jabar. Mereka melihat Jabar sangat potensial menjadi front kedua setelah DKI. Kekalahan Ahok, jagoan yang didukung Jokowi sangat meyakitkan, dan dia tak mau terulang.
Jokowi bekerja keras mendorong agar di Jabar tidak sampai terjadi hanya dua kandidat yang bertarung. Bila itu yang terjadi polarisasi antara kelompok umat vs nasionalis bakal terulang. Jokowi berkali-kali menawari Deddy Mizwar (Demiz) untuk mencarikan kendaraan politik, dan tentu saja logistiknya. Demiz saat itu dinilai sebagai kandidat paling potensial mewakili aspirasi umat Islam.
Selain Jokowi, PDIP juga secara intens mendekati Netty Prasetyani istri Gubernur Jabar Ahmad Heryawan. Mereka menawari kader PKS itu sebagai kandidat yang akan diusung PDIP. PDIP juga secara terbuka membuka peluang dengan PKS untuk mengusung Netty.
Skenario mendekati Demiz maupun Netty gagal. Namun mereka diuntungkan dengan pecah kongsinya PKS dengan Gerindra dan Demiz kemudian menyeberang ke Demokrat. Secara dramatis Demiz kemudian ditinggalkan PKS, yang CLBK ke Gerindra dengan mengusung Sudrajat-Syaikhu. Pendukung koalisi keumatan di Jabar pecah. Sebagian berada di gerbong Demiz, sebagian besar di gerbong Asyik, dan sebagian kecil menjadi pendukung Ridwan Kamil-Uu.
Ketiga, tidak signifikannya gerakan #2019GantiPresiden sebagai instrumen politik. Untuk kesimpulan yang terakhir ini analisis Eko kurang tepat. Itu bukan fakta, tapi bisa disebut sebagai harapan. Melonjaknya suara pasangan Asyik di Jabar, dan perolehan suara pasangan Sudirman Said-Ida Fauziah yang sangat impresif menunjukkan fakta isu #2019GantiPresiden masih sangat kuat dan signifikan.
Sampai sepekan menjelang pencoblosan semua lembaga survei menyimpulkan perolehan suara pasangan Asyik antara 3-7%. Pasangan ini dengan tegas mengusung #2018AsyikMenang, #2019GantiPresiden. Namun hasilnya sungguh mengejutkan. Pasangan ini meraih dukungan lebih dari 28%. Ada peningkatan suara lebih dari 20%.
Lonjakan suara yang mengejutkan juga terjadi di Jateng. Sejumlah survei mengumumkan pasangan Ganjar-Taj Yasin perolehan suaranya selalu di atas 70%. Sedang Sudirman-Ida hanya belasan dan paling tinggi sekitar 22%. Hasilnya Sudirman meraih dukungan 41%.
Sama seperti halnya dengan Asyik, ada peningkatan suara lebih dari 20%. Kendati tidak secara terbuka mengusung #2019GantiPresiden, Sudirman dikenal sebagai penentang Jokowi. Mantan Menteri ESDM ini menjadi pendukung Anies-Sandi di Pilkada DKI 2017. Melonjaknya suara Sudirman-Ida sekaligus juga merupakan pukulan telak di jantung pertahanan PDIP terakhir di Pulau Jawa.
Koalisi tidak solid
Missleading dalam soal isu #2019GantiPresiden, bukan berarti analisis Eko salah. Benar bahwa Pilkada Serentak menunjukkan partai dan kandidat pendukungnya tampil perkasa. Ada satu faktor lagi yang tidak dikemukakan Eko, dan itu sesungguhnya jauh lebih penting, yakni kubu koalisi sejauh ini masih gagal membangun konsolidasi.
Gerindra, PKS,PAN yang selama ini digadang-gadang dapat membangun koalisi menentang Jokowi, belum berhasil membangun kesepakatan. Alih-alih mengerucut pada satu kandidat yang akan diusung, mereka sibuk dan bersikukuh dengan pencapresan kadernya masing-masing. Tanda-tanda bahwa mereka akan bersimpang jalan, kian besar.
Gerindra menjadikan pencapresan Prabowo sebagai harga mati. Sementara PKS yang sembilan orang bacapresnya tak satupun dilirik Prabowo, mulai berpikir untuk membentuk koalisi sendiri dan mengajukan pasangan Anies Baswedan-Ahmad Heryawan (Anies-Aher). PKS tampaknya tak mau lagi selalu hanya jadi ganjal pencapresan Prabowo. Apalagi berdasar sejumlah survei peluang Prabowo untuk menang melawan Jokowi juga sangat kecil.
PAN juga sudah mendeklarasikan empat orang capresnya yakni Amien Rais, Zulkifli Hasan, Sutrisno Bachir dan Hatta Rajasa. Hari ini Sabtu (30/6) sekelompok orang yang bergabung dalam Koalisi Ummat Madani mendeklarasikan Amien Rais sebagai capres.
Masalahnya, dengan batas presidential threshold 20% (kursi di DPR) atau 25% (jumlah perolehan suara), tak satupun dari ketiga partai itu yang bisa mengajukan kandidat sendiri. Gerindra minimal harus menggandeng salah satu diantara PAN, atau PKS. Apakah PKS dan PAN masih bersedia mengusung Prabowo? Hal itu saat ini menjadi pertanyaan besar. Elektabilitas Prabowo yang rendah, dan ketiadaan logistik menjadikan posisi tawarnya semakin rendah.
Pilihan lain yang mereka bisa lirik adalah Demokrat, dan PKB. Namun lagi-lagi tidak mudah menundukkan ego dan kepentingan partai. PKB dengan slogan “teh botol” menjadikan Cak Imin sebagai cawapres merupakan harga mati. “Siapapun capresnya, Cak Imin cawapresnya.” Sementara siapapun yang berniat koalisi dengan Demokrat harus mengakomodasi kepentingan “sang putra mahkota” Agus Harimurti.
Dengan hasil Pilkada di Jabar dan Jateng, sesungguhnya kelompok oposisi punya peluang besar mengalahkan Jokowi. Angka-angka tingginya elektabilitas Jokowi yang disampaikan oleh lembaga survei, saat ini banyak dipertanyakan. Berkaca dari Pilkada Serentak 2018, utamanya Pilkada Jabar, publik menjadi skeptis dengan data yang dipublish oleh lembaga-lembaga survei.
Seperti diungkap oleh SMRC, exit poll yang dilakukan pada saat pencoblosan mendapatkan temuan, bahwa Jokowi kembali kalah di Jabar. Sebelum pilkada sejumlah lembaga survei, termasuk SMRC mengungkap data bahwa Jokowi sudah unggul di Jabar. Hal itu merupakan hasil kerja keras Jokowi yang serius menggarap Jabar.
Di Jateng yang dikenal sebagai benteng pertahanan terkuat PDIP, melonjaknya suara Sudirman Said-Ida Fauziah juga merupakan alarm tanda bahaya. Jadi sebenarnya jalan Jokowi menuju periode kedua, tidaklah terlalu mulus. Bahaya besar masih mengintainya. Namun semuanya itu sangat bergantung pada kesadaran kelompok oposisi untuk melakukan konsolidasi dan membangun sinergi.
Selama partai oposisi tidak berhasil membangun konsolidasi, maka optimisme Eko bahwa peta dan rute Jokowi menuju dua periode menjadi jelas, sangat benar. Jokowi sudah memenangkan pertempuran di Pilkada Serentak 2018, dan tinggal menunggu waktu memenangkan peperangan di 2019. Dalam kondisi seperti ini analisis Eko bahwa gerakan #2019GantiPresiden tidak signifikan menjadi benar adanya. (dikutip utuh atas persetujuan penulisnya dari Hersubenoarief.com)
Advertisement