Pilkada oleh DPRD, Sesuai Konstitusi?
Oleh: H. Yunus Supanto
Ongkos besar Pilkada bisa menjadi penyebab suburnya KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme) pasca Pilkada. Berujung penangkapan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota), karena melakukan tindak pidana korupsi. Walau selama ini Bawaslu belum pernah menghukum coret pasangan palon (Paslon). Karena money politics dilakukan secara “senyap.” KPK juga belum pernah melakukan OTT berkait pilkada. Namun seperti kata-kata joke, “no free lunch,” tidak ada makan siang gratis (dalam rekrutmen politik)?!
Ongkos besar pilkada, bisa berupa “mahar” rekom partai politik (parpol) yang diberikan oleh paslon. Konon, harga parpol ditimbang sesuai perolehan suara pada pemilu legislatif (Pileg). Setiap kursi di DPRD kabupaten dan kota, dihargai Rp500 juta. Parpol yang gagal meraih kursi di DPRD, akan dihargai sekitar Rp 50 ribu tiap suara. Bahkan parpol gurem (yang tidak memiliki DPR-RI), serta yang gagal memperoleh kursi DPRD provinsi, DPRD kabupaten, dan DPRD kota, juga bisa dibeli.
Padahal terdapat larangan UU Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perppu Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU. Pasal 47 ayat (1), dinyatakan, “Partai Politik atau gabungan Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur, Bupati, dan Walikota.”
Karena sangat penting, larangan politik uang diulang lagi. Tercantum pada pasal yang sama dalam ayat (4), dinyatakan, “Setiap orang atau lembaga dilarang memberi imbalan kepada Partai Politik atau gabungan Partai Politik dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan Gubernur, Bupati, dan Walikota.”
Sanksi politik uang bukan sekedar pembatalan sebagai paslon. Melainkan juga pidana kurungan penjara, dan denda. Tercantum dalam pasal 187A ayat (1), berupa penjara paling singkat 36 bulan, dan paling lama 72 bulan. Serta denda maksimal Rp1 milyar. Sedangkan penerima, rakyat pemilik hak suara yang menerima suap, juga memperoleh sanksi pidana, dan denda. Andai hukum Pilkada ditegakkan, dipastikan penjara akan penuh dengan Paslon, dan masyarakat yang menerima suap.
Pilkada serentak (kelima) 2024, menjadi pemilu paling seru di Indonesia. Sekaligus disebut-sebut (bersama pemilu legislatif 2024) sebagai yang paling “brutal.” Kalkulasi pengeluaran paslon, semakin besar. Ironis, politik uang menjadi dianggap lazim. Sehingga Presiden Prabowo Subianto, menggagas pilkada dipilih oleh DPRD. Sebenarnya bukan gagasan baru.
Sidang Paripurna DRI-RI pada tanggal 24 September 2014, dilakukan voting tentang opsi Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan secara tidak langsung, dipilih oleh DPRD. Hasilnya, diperoleh dukungan sebanyak 226 anggota DPR-RI, terdiri Fraksi Partai Golkar berjumlah 73 orang, Fraksi PKS (55 orang), Fraksi PAN (44 orang), dan Fraksi Partai Gerindra (32 orang). Kalah, karena tidak mencapai separuh jumlah seluruh anggota DPR-RI (560 orang).
Namun sebenarnya, opsi pemilihan kepala daerah dikembalikan secara tidak langsung (dipilih oleh DPRD), tidak menerabas Konstitusi. Terdapat perbedaan amanat dalam UUD pemilihan presiden, dengan pilkada. Pilpres diatur dalam UUD pasal 6A, ayat (1), dinyatakan, ”Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.” Nyata-nyata terdapat frasa kata “oleh rakyat.”
Sedangkan Pilkada, diatur oleh UUD dalam pasal 18 ayat (4), dinyatakan, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Terdapat frasa kata “kota dipilih secara demokratis.”
Sehingga bisa jadi, pemilihan gubernur, bupati, dan walikota “dipilih secara demokratis,” oleh DPRD. Sebagai jalan demokrasi memilih kepemimpinan daerah. Sekaligus mencegah keterbelahan sosial, dan politik uang, yang merusak martabat kemanusiaan. Walau harus diakui, pilkada oleh DPRD, tak kalah pragmatis, tak kalah transaksional dibanding rakyat jelata.*
*H. Yunus Supanto, wartawan senior, tinggal di Surabaya
Advertisement