Pilkada Kabupaten Malang, MCW Temukan Dana Kampanye Tak Wajar
Malang Corruption Watch (MCW) melakukan pemantauan dana kampanye dari tiga pasangan peserta Pilkada Kabupaten Malang 2020. Hasilnya, dana kampanye dari tiga pasangan dilaporkan tak wajar lantaran jumlahnya jauh dari rerata perkiraan kebutuhan kampanye.
Berdasarkan Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) yang dilaporkan sejak 23 September sampai 24 September, MCW menemukan pasangan Sanusi- Didik Gatot Subroto nihil, pasangan Lathifah Shohib-Didik Budi Muljono melaporkan sebesar Rp1 juta, dan pasangan Heri Cahyono-Gunadi Handoko sebesar Rp1 juta.
Dilansir dari siaran pers MCW, tiga calon juga melaporkan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK), sejak 25 September hingga 30 Oktober 2020. Hasilnya, pasangan pertama melaporkan LPSDK sebesar Rp1,4 miliar, pasangan kedua sebesar Rp532 juta, dan pasangan ketiga sebesar Rp 370.551.800.
Pantauan Ngopibareng.id di laman KPU per 7 Desember 2020, diketahui jika Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) tiga pasangan calon telah bertambah. Pasangan pertama menerima total Rp4,1 miliar, pasangan kedua sebanyak Rp3,8 miliar, dan pasangan ketiga menerima sebanyak Rp 2,6 miliar.
Angka itu, menurut MCW tak wajar. Berdasarkan penelitian Mendagri tahun 2015, dibutuhkan biaya politik mencapai Rp 20 miliar-Rp 30 miliar untuk bupati dan walikota, atau sebesar Rp 20 miliar hingga Rp 100 miliar, untuk gubernur. Penelitian tersebut dibuat pada Pilkada 2015.
Temuan Kemendagri tersebut diperkuat oleh survei yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada sejumlah paslon kepala dan wakil kepala daerah.
Survei dilakukan kepada pasangan calon yang kalah dalam kontestasi Pilkada 2017 dan 2018 menunjukkan bahwa Pada Pilkada 2017, sebanyak 82,3 persen paslon menyatakan dibantu oleh pemodal.
Sedangkan pada Pilkada 2018, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dibantu pemodal sebanyak 70,3 persen. Hanya sedikit pasangan calon yang membiayai proses pilkada dari uangnya sendiri dan sumber-sumber pendanaan yang legal.
MCW menilai, besarnya dana kampanye dan keterlibatan pemodal berdampak pada tindakan korupsi yang dilakukan pemimpin daerah. Data dari KPK, terdapat 122 bupati/walikota, 21 gubernur dan 274 anggota DPR/DPRD ditindak oleh KPK, sepanjang 2020.
Pun kasus yang menjerat kepala daerah tersebut mayoritas merupakan kasus penyuapan, 65,8 persen dan kasus pengadaan barang dan jasa sebesar 20,8 persen.
MCW menyebut hal ini terjadi dikarenakan kongkalikong antara pasangan calon dengan penguasa lokal/oligark/cukong, dalam penyelenggaraan pilkada yang kemudian terjadi korupsi politik.
Modusnya, cukong memberikan dana kampanye pemenangan, sedangkan pasangan calon apabila menang akan membuat kebijakan yang mendukung penguasa lokal. Bentuknya di antaranya memberikan proyek pengadaan barang dan jasa, mempermudah proses perizinan, membuat peraturan daerah yang memihak cukong.
Sehingga, terkait transparansi dana kampanye, MCW memberikan sejumlah rekomendasi. Antara lain, penguatan regulasi untuk memaksa pasangan calon melaporkan dana kampanye secara patuh dan jujur. Kemudian, memperkuat pengawasan Bawaslu dengan melibatkan pihak lain, seperti PPATK, Dirjen Pajak,atau KPK.
Selain itu, dibutuhkan publikasi yang rinci mengenai laporan dana kampanye untuk membuka ruang gelap dana kampanye. Terakhir, adanya audit dana kampanye yang detail dan dibuka kepada publik.