PIlkada DKI 2017, Berebut Suara Pemilih NU
PRESIDEN Jokowi baru saja meresmikan Masjid Raya Jakarta, Sabtu (15/4). Peresmian masjid yang diberi nama KH Hasyim Asy’ari ini sempat mengundang kontroversi. Tak kurang mantan Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin meminta dengan sangat agar Jokowi menunda peresmian masjid yang rencananya dilaksanakan hari ini, Minggu (16/4).
Ada alasan yang cukup kuat mengapa Din meminta penundaan. Tanggal 16 April adalah hari pertama Ahok kembali aktif sebagai gubernur, setelah masa cutinya berakhir. Dengan begitu ketika Jokowi meresmikan masjid tersebut, maka Ahok sebagai gubernur DKI pasti mendampingi Jokowi.
Sebuah acara kenegaraan yang dihadiri oleh seorang presiden, pasti akan mendapat peliputan media yang cukup luas. Jadi wajar bila acara ini dicurigai sebagai kampanye terselubung, tapi terang-terangan menggunakan fasilitas negara.
Apa saja keuntungan Ahok dengan peresmian masjid tersebut? Setidaknya ada tiga keuntungan yang bersama timnya akan dia kapitalisasi.
Pertama, Ahok bisa tetap berkampanye di hari tenang, sementara Anies-Sandi bersama timnya tidak bisa lagi melakukannya. Kehadiran presiden bersama Ahok yang diliput media secara besar-besaran, apalagi evennya di sebuah masjid, akan di-broadcast secara massif, bahwa Ahok sangat memikirkan kesejahteraan umat Islam, terutama aspek ibadah.
Kedua, Ahok bisa memanfaatkan dana APBD, bahkan APBN sekaligus untuk kampanye gratis. Seremoni besar ini dibiayai oleh pemerintah daerah (APBD). Sedangkan kehadiran presiden beserta seluruh perangkat protokol dan pengamanannya menggunakan dana negara (APBN). Masjid senilai Rp 170 miliar itu didanai oleh APBD, bukan kantong pribadi Ahok.
Masih ingat bagaimana Ahok mengkapitalisasi pembangunan RPTRA Kalijodo dengan melakukan kunjungan ke lokasi bersama anaknya saat kampanye putaran pertama? Pesan yang ingin disampaikan sangat terang benderang. “ Ini lho kerjaan gua. Kereen khan?”
Ketiga, ini yang kelihatannya sangat penting dan tampaknya menjadi taget utama Ahok bersama timnya, merebut suara kaum nahdliyin. Perhatikan nama masjid yang dipilih, KH Hasyim Asy’ari atau dikalangan nahdliyin sering disebut sebagai Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU yang nota bene kakek dari mantan Presiden Abdurahman Wahid.
Nama besar itu memang seharusnya tidak perlu diperdebatkan. Ketokohan mbah Hasyim Asy’ari yang juga pahlawan nasional juga tak perlu diragukan. Namun dalam konteks Pilkada DKI bahkan bila ditarik ke konteks politik nasional dan kaitannya dengan Jokowi, pemilihan nama itu bisa jadi sarat dengan kepentingan politik.
Namanya juga sedikit curiga, sedikit lho. Boleh-boleh saja kan kita bertanya, mengapa tidak memakai nama lokal Betawi, supaya matching dengan desain dan arsitektur bangunan yang mengadopsi unsur budaya Betawi. Kalau mau tetap mengambil nama dari kalangan NU, banyak nama tokoh NU Betawi yang bisa dipilih. Sebutlah misalnya KH. Abdullah Syafi’i pendiri pesantren Assyafi’iyah, atau KH Muhammad Thohir Rohili pendiri pesantren Atthohiriyah.
Kedua nama itu juga tidak kalah mencorong namanya dan selalu lekat di hati warga Betawi. Melalui putrinya almarhumah Tutty Alawiyah sebagai pegiat majelis ta’lim sekaligus Ketua Badan Kontak Majelis Ta’lim (BKMT) jaringannya sangat luas. Putra lainnya KH Abdul Rasyid Abdullah Syafi’i juga memiliki massa yang sangat besar. Begitu juga dengan putra-putri dari KH Muhmmad Thohir Rohili yang kesemuanya aktif dalam kegiatan dakwah di Jakarta.
Salah satu dari kedua nama itu sebenarnya bisa dipilih dan secara kultural lebih pas dengan kaum nahdliyin di Jakarta. Sayangnya dalam Pilkada DKI kali ini keturunan kedua kyai besar itu, tampaknya tidak menjadi pendukung Ahok, malah berada di posisi berseberangan.
Mengapa pemilih NU sangat penting diperebutkan? Sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, termasuk di Jakarta, suara mereka sangat menentukan keterpilihan seorang kandidat. Itulah sebabnya mengapa setiap Pilkada dan Pilpres –ini menjelaskan dalam konteks kepentingan politik Jokowi—suara pemilih NU selalu diperebutkan.
Dengan memilih nama Hasyim Asy’ari, seperti bunyi pepatah “sekali tepuk, dua lalat mati’ atau “sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui”. Ahok diuntungkan dalam politisasi simbol keagamaan dan kultural di Pilkada DKI. Dalam jangka panjang, Jokowi juga akan diuntungkan pada Pilpres 2019 karena telah menanam down payment terlebih dahulu di kalangan NU.
Dalam Pilkada DKI kali ini posisi politik NU memang cenderung agak membingungkan. Apakah mendukung atau menentang Ahok. Kebingungan itu setidaknya bisa terlihat dari sikap Ketua Umum Tanfidziah Pengurus Besar (PB) NU KH Said Agil Siradj (SAS).
Ketika kasus penistaan agama oleh Ahok, Kyai SAS berada dalam kubu yang menyatakan itu bukan bentuk penistaan.
Namun ketika Rais Aam PBNU KH Ma’ruf Amin dihina oleh Ahok dalam persidangan, Kyai SAS sangat marah dan menyatakan Ahok akan rugi, karena warga NU pasti tidak akan mendukungnya. Tapi pada kesempatan lain menyatakan silakan warga NU memilih pemimpin tanpa melihat latar belakang agamanya. Sebaliknya sikap KH Ma’ruf Amin tegas menentang Ahok.
Kebingungan lain adalah ketika Pengurus Pusat Gerakan Pemuda (GP) Anshor, salahsatu organisasi onderbouw NU mendukung Ahok bahkan kemudian memberi julukan Ahok sebagai Sunan Kalijodo. He he ini serius lho, bukan becanda. Kelihatannya Anshor melihat Ahok sejajar dengan para wali penyebar agama seperti Sunan Kalijogo. Mirip khan? Gawaaat!. Untunglah beberapa pengurus Anshor memprotesnya dan beberapa orang malah mengundurkan diri.
Secara politik, bila melihat parpol representasi NU seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan PPP yang punya irisan besar dengan pemilih NU, semuanya juga kompak mendukung Ahok. PKB pada putaran pertama mendukung Agus-Slivy. Pada putaran kedua, mereka segera beralih ke Ahok.
Ini kelihatan tidak jauh-jauh urusannya dengan posisi mereka di kabinet Jokowi. Dengan perolehan suara hanya 9.04 persen, PKB mendapat jatah empat kursi, Menpora, Menteri Transmigrasi dan Tenaga Kerja, Menteri Urusan desa dan PDT. Bila ditambah dengan Menristekdikti, total lima menteri. Wajar kalau mereka membebek apa saja pilihan politik Jokowi.
PPP, nah ini yang lucu, tragis, ironis, menyedihkan, menyebalkan atau kata apalagi yang bisa anda sebutkan. Di putaran pertama PPP kubu Djan Faridz langsung mendukung Ahok. Bisa diduga kartu apa yang tengah dimainkan mantan Ketua Pengurus Wilayah NU Jakarta ini. Djan membuat langkah kuda, agar mereka didukung pemerintah dalam sengketa dengan Romi.
Sebaliknya PPP kubu Romi kelihatannya agak lumayan berani melawan arus. Pada putaran pertama mereka mendukung pasangan Agus-Silvy. Sikap ini sesungguhnya membahayakan posisi mereka sebagai partai pendukung Jokowi. Mereka mendapat jatah satu kursi, menteri agama.
Ketika putaran kedua tiba, dua-duanya kompak mendukung Ahok. Urusannya ya pasti tidak jauh-jauh dari soal berebut legalitas kepengurusan PPP. Kubu Djan posisinya di atas angin, karena pengadilan memenangkan sengketanya dengan Romi. Tinggal pengesahan dari Kemenkumham. Nah tombol sepenuhnya di tangan Jokowi atau jangan-jangan malah di tangan Megawati. Menkumham kan petugas partai.
Posisi ini membuat kubu Romi ketakutan dan langsung balik kucing, ke bawah ketiak Jokowi. Jadilah kedua pengurus partai berlambang ka’bah ini bersatu padu mendukung Ahok. Kalau meminjam judul novel karya ulama terkenal Buya Hamka, maka posisi Ahok saat ini bisa diberi judul “Ahok di bawah lindungan Ka’bah.” Semoga saja menjadi penyebab hidayah. Amiin.
Jadi bagaimana sebenarnya posisi kaum santri nahdliyin ini? Bila melihat akar rumput, dipastikan suara terbanyak akan mendukung Anies-Sandi. Gerbong pemilih PPP adalah gerbong kosong yang ditinggalkan penumpangnya. Dampaknya diprediksi bisa jangka panjang, sampai Pileg 2019. Sementara PKB di Jakarta tidak cukup kuat, mereka hanya memperoleh 6 kursi dari total 106 kursi yang diperebutkan dalam Pileg 2014.
Secara organisatoris NU DKI melalui Pengurus Wilayah (PW) sudah menyatakan dengan tegas mendukung Anies-Sandi. Mereka bahkan melakukan sosialisasi fatwa haramnya memilih pemimpin non muslim, sebagaimana keputusan Muktamar NU ke-30 di Pesantren Lirboyo, Kediri tahun 1999. Jadi massa NU dikembalikan ke jalan yang lurus. Jalan yang Insya Allah diridhoi para kyai sepuh.
Karena itulah bisa dipahami bila Ahok dan para pendukungnya dengan bantuan pemeritah melakukan berbagai akrobat meraih dukungan suara pemilih NU. Keberhasilan meraih dukungan NU akan menjadi kunci kemenangan Ahok secara legal dalam Pilkada. Kalau tidak berhasil secara legal masih ada cara lain yang bisa ditempuh, money politics dan kecurangan. Dua-duanya boleh ditempuh asal tidak ketahuan. ***
*) Hersubeno Arief adalah wartawan senior yang kini menjadi konsultan media dan politik.
Advertisement