Pilkada Daring
NU dan Muhammadiyah telah mengusulkan pemilihan kepala daerah ditunda. Pandemi Covid-19 penyebabnya. Sejumlah pakar dan perorangan juga melontarkan usul yang sama.
Mereka khawatir pilkada serentak di 9 provinsi serta 261 kabupaten dan kota melahirkan ledakan baru kasus Covid-19. Kedua lembaga itu menganggap berbahaya meneruskan pilkada serentak dalam kondisi seperti sekarang.
Tapi mungkinkah pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 yang rencananya berlangsung 5 Desember mendatang ini ditunda? Mungkin saja. Tapi harus mengubah tahapan pemilu dan pelaksanaan coblosannya.
"Mengubah tahapan sangat bisa. Dengan mengubah PKPU. Namun kalau mengubah hari pemungutan suara harus kesepakatan tiga pihak. Pemerintah, DPR dan KPU," kata Ketua KPU Arif Budiman melalui pesan WhatsApp.
Saya memang masih terus update kabar Ketua KPU yang minggu lalu mengumumkan positif Covid-19. Ia sekarang dalam perawatan intensif di RSPAD Jakarta. "Alhamdulillah, batuk dan panasnya sudah berkurang," katanya tiga hari lalu.
Tapi kayaknya pemerintah ngotot pilkada tetap berjalan sesuai jadwal. Tanggal 9 Desember 2020 nanti. Sekarang tahapan sudah sampai pengundian nomor. Masing-masing kandidat telah mendapat nomor peserta.
Lalu apa yang ditakutkan? Mereka yang kontra khawatir Pilkada ini menciptakan kluster penularan baru. Kluster pilkada, namanya. Penularan yang berlangsung saat tahapan maupun pemilihan.
Penularan terjadi saat terjadi kerumunan. Kerumunan memungkinkan masing-masing orang bersentuhan. Juga menularkan lewat doplet. Semburan dari batuk dan bersin orang pengidap virus.
Memang mereka yang terkena virus ini ada yang dengan gejala ada yang tanpa gejala. Yang dengan gejala gampang terdeteksi. Misalnya, panas tinggi, demam, batuk dan pilek. Sesak napas juga.
Tapi yang tanpa gejala ini yang tak bisa dikenali lainnya. Seperti hantu yang tak tampak. Yang begitu masuk ke dalam diri orang bisa bikin kesurupan. Bisa ndleming. Bikin kesetanan.
Kerumunan dalam pilkada juga selalu disertai euforia. Sehingga orang bisa lupa. Lupa jaga jarak. Lupa pakai masker. Juga lupa bersalaman. Apalagi berhadapan dengan sosok yang tinggi status sosialnya.
Bagi kandidat, euforia sebagai "pengemis" suara juga bisa tak terkendalikan. Sok intim terkadang ditunjukkan saat mereka ingin mendapat dukungan politik. Masih ada yang terlihat cipika-cipiki di musim pandemi.
Tapi memang begitulah harga dukungan politik. Saya pernah merasakan sendiri dua kali ikut Pilkada. Upaya mencari suara harus ekstra keras. Apalagi baru ikut pemilu sekali.
Bagi warga, pemilu seringkali dianggap sebagai pesta. Hajatan memilih pemimpin. Yang harus ada hura-hura. Makan-makan. Terkadang juga harus ada bagi-bagi uang. Lima tahun sekali.
Maka bagi sebagian pemilih, penundaan adalah menunda pesta. Penundaan bagi-bagi gift atau hadiah dari para kandidat. Penundaan peluang untuk bisa berdekat-dekat dengan calon pemimpinnya.
Maka, menunda pilkada bisa dianggap merugikan bagi warga maupun kandidat yang bertarung. Makin lama ditunda akan makin membengkak biaya pemenangan. Ini merugikan kandidat yang sudah diramal menang.
Karena itu, yang paling realistik adalah bukan menunda pilkada. Tapi bagaimana mengatur pelaksanaan tahapan pilkada dengan tanpa adanya kerumunan. Pilkada yang mengurangi pertemuan fisik antar banyak orang.
Sebetulnya pilkada daring bisa menjadi pilihan paling aman. Pemilu yang difasilitasi oleh teknologi informasi yang sudah tersedia saat ini. Seperti teknologi untuk berbagai transaksi yang nir sentuhan dan pertemuan antar orang.
Problemnya adalah kemerataan infrastruktur IT di seluruh negeri ini. Masih ada beberapa wilayah blankspot yang membuat akses warga menggunakan hak pilihnya menjadi terhambat. Namun ini bisa dipecahkan jika memang telah jadi keputusan.
Yang mungkin agak problematik adalah soal keterpercayaan lembaga penyelenggara pemilu. Persoalan ini masih saja selalu muncul meski sudah dua dekade lebih kita melampaui reformasi politik.
Isu-isu yang mendeligitimasi lembaga penyelenggara pemilu selalu dihembuskan setiap pemilu berbagai tingkatan diselenggarakan. Isu itu bahkan dihembuskan oleh masing-masing elit politik yang bertarung untuk menggaet keuntungan politik baginya.
Yang mungkin akan muncul jika pilkada daring adalah apakah kerahasiaan dan keamanan suara pemilih bisa dijamin? Apakah tidak gampang dimanipulasi perolehan suaranya? Apakah tidak mungkon dihack sehingga berubah hasilnya?
Sejumlah pertanyaan yang sebetulnya bisa dicari contoh nyatanya. Dunia perbankan sudah menggunakan digitalisasi berbasis IT. Padahal menyangkut uang yang banyak. Menyangkut nasabah jutaan orang.
Melalui IT, transaksi berjalan dengan aman. Pengiriman uang lewat M-banking maupun berbasis internet lainnya berjalan aman-aman saja. Tidak pernah ada salah kirim uang. Juga tidak pernah keliru menghitung saldo tabungan kita.
Sistem berbasis IT bisa diciptakan akurasinya. Bisa dijamin keamananya. Kita bisa percaya bahwa tidak akan salah orang ketika kita mengirim uang. Tidak akan nyasar ke orang yang tidak kita inginkan. Itu yang sudah terjadi dalam sistem perbankan kita.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena relasi antara bank dan nasabahnya berbasis kepercayaan. Percaya karena sistem regulasi yang memayunginya telah baku dan teruji lama. Dengan pengawasan ketat dan tanggungjawab pengelola institusi perbankan.
Karena itu, sebetulnya sistem pemilu daring bisa diciptakan. Dengan payung regulasi yang dibangun berdasarkan kepercayaan bersama. Dengan kepastian yang didukung legitimasi penyelenggara yang dibangun bersama.
Memang saling tidak percaya menjadi niscaya dalam dunia pertarungan politik. Karena politik hanya dimaknai semata berebut kekuasaaan. Bukan membangun kepemimpinan yang membawa bangsa ini dalam kemajuan bersama.
Orang bilang pakinh susah mengatur seniman. Karena mereka bekerja atas dasar ego kreatifitasnya. Tapi sebetulnya paling susah mengatur politisi. Sebab mereka pada dasarnya tak ingin diatur tapi malah mengatur.
Susah kan!
Advertisement