Pilkada 2024: Menyikapi Fenomena Kotak Kosong di Beberapa Daerah
Oleh: Arif Afandi
Akhir pekan lalu, saya diundang Gereja Kristen Indonesia (GKI) Citraland, Surabaya. Bukan bicara tentang kehidupan antar umat beragama atau masalah keagamaan. Tapi terkait dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024.
Ini bukan kali pertama. Salah satu organisasi sosial kemasyarakat umat Kristen ini telah berulangkali menyelenggarakan sosialisasi terhadap jemaatnya dengan program Gerakan Safari Pilkada Serentak. Saat Pilpres juga telah melakukan kegiatan serupa.
Saya senang berdialog dengan mereka. Sebab, punya kesempatan untuk berjumpa kembali dengan kawan-kawan lama. Para pendeta maupun aktivis yang dulu sering bersua dalam berbagai kegiatan. Juga punya kesempatan mendengarkan aspirasi politik mereka.
Saya kebagian tema tentang “Memilih Pemimpin yang Berakhlak, Semanak dan Bertindak Bijak”. Pembicara lainnya Wakil Rektor Universitas Kristen Darma Cendika Victor Nalle. Diskusi dipimpin Pdt Nathanel Sigit dari GKI Krian, Sidoarjo.
Dalam tanya jawab ada yang menarik perhatian mereka dalam pilkada kali ini. Apa itu? Tentang fenonema kotak kosong di beberapa daerah. Ini adalah pemilihan kepala daerah yang hanya diikuti oleh pasangan calon tunggal. Secara aturan, mereka tetap harus melawan kota kosong.
Memang fenomena kotak kosong dalam Pilkada serentak kali ini cukup banyak. Menurut data yang dilansir KPU, ada 37 provinsi dan kabupaten/kota yang hanya memunculkan pasangan calon tunggal. Satu propinsi itu di Papua Barat. Sedangkan selebihnya di kabupaten/kota. Salah satunya Kota Surabaya.
Tahun ini ada 37 provinsi yang menyelenggarakan Pilkada serentak. Ini artinya hanya 2,7 persen kotak kosong dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Sedangkan di tingkat kabupaten kota berarti ada 12,96 persen calon bupati atau walikota yang melawan kotak kosong.
Mengapa bisa muncul fenomena kotak kosong? Apakah ini merupakan indikator kemerosotan demokrasi politik kita? Lantas bagaimana kita harus menghadapi pilihan kotak kosong ini? Mana yang lebih baik, memilih kotak kosong atau pasangan calon yang ada meski tak sesuai dengan pilihan hati nurani?
Ditilik dari ekosistem demokrasi politik kita, fenomena kotak kosong merupakan petunjuk ada yang salah dalam sistem politik kita. Satu hal yang bisa dikemukakan adalah membuktikan kegagalan partai politik dalam kaderisasi kepemimpinan mereka. Partai yang seharusnya mampu mencetak pemimpin, gagal menyodorkan kadernya kepada pemilih.
Politik adalah kontestasi. Politik adalah seni berebut kekuasaan. Salah satu sumber kekuasaan bagi partai politik adalah dengan menguasai lembaga eksekutif dan legislatif. Menjadikan kadernya presiden, gubernur, dan bupati/walikota. Juga menempatkan para kadernya di parlemen.
Dengan adanya kotak kosong, berarti partai politik gagal menyodorkan kadernya untuk bisa dipilih oleh konstituennya maupun pemilih secara keseluruhan. Fenomena ini jelas akan semakin menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik.
Kemungkinan kedua adalah akibat semakin tingginya biaya politik. Fenomen ini menjadikan orang-orang ‘’baik’’ tanpa modal kuat sangat kecil kemungkinannya untuk ikut dalam kontestasi politik. Kecuali mereka mau menjadi pion dari ‘’bandar politik’’ atau kepentingan ekonomi yang lebih besar.
Pragmatisme partai politik pada akhirnya bertemu dengan perilaku pemilih yang semakin pragmatis. Di Surabaya, misalnya. Dua dekade lalu, di ibukota Jawa Timur ini, hanya 17 persen orang yang memilih kandidat karena menerima politik uang. Sementara saat ini, lebih dari 50 persen orang Surabaya memilih karena uang.
Pragmatisme pemilih ini telah membawa ‘’korban’’ dari para calon legislatif legendaris dari sejumlah partai politik. Orang seperti Bambang DH yang pernah menjadi Walikota Surabaya dua periode dan anggota DPR RI dua periode harus tersingkir dari parlemen hasil pemilu 2024. Banyak kader parpol senior yang berguguran karena makin pragmatisnya pemilih ini.
Kenyataan ini jelas tidak baik bagi perjalanan politik di Indonesia. Kecenderungan politik dinasti dan maraknya para politisi yang bekerja untuk oligarki ekonomi di negeri ini akan makin merajalela. Belum lagi perilaku parpol yang mematok ‘’harga tiket’’ tinggi untuk mengusung pasangan calon.
Dalam konteks ini, fenomena kotak kosong akan menjadi indikator bagi kesadaran politik warga. Ia menjadi semacam kontrol akan ekosistem politik yang kurang sehat. Semakin tinggi perolehan suara kotak kosong akan menunjukkan tingkat kesadaran politik warga dalam menghadapi pilkada serentak.
Karena itu, memilih kotak kosong merupakan tindakan sah. Ia juga bisa menjadi tolok ukur tingkat legitimasi pasangan calon tunggal. Jika sampai memang kotak kosong berarti masyarakat pemilih tidak menginginkan pasangan calon tersebut. Jika kotak kosong memperoleh suar besar, juga berarti tingkat legitimasi calon terpilih juga rendah.
Meski kotak kosong menjadi pilihan sah, namun fenomena dalam pilkada serentak tahun ini perlu menjadi bahan renungan berbagai pihak yang berkepentingan terhadap proses politik di negeri ini. Perlu menjadi pembelajaran partai politik untuk semakin meningkatkan perannya sebagai penyedia kader calon pemimpin.
Memang jika kotak kosong yang menang, maka secara peraturan daerah tersebut akan dipimpin pejabat sementara. Sampai dengan pilkada serentak berikutnya. Ini pernah terjadi dalam pemilihan Walikota Makasar. Akankah dalam Pilkada serentak 2024 ini akan ada lagi kotak kosong yang menang?
Kita tidak tahu pasti. Yang pasti marilah kita hadapi pilkada serentak ini dengan gembira dan damai. Apalagi kalau diikuti dengan semakin menurunnya fenomena money politik. Demi meningkatnya kualitas demokrasi kita. Saya kira ini harapan kita semua sebagai bangsa dana negara.