Pilih Jalan Damai Lewat Yayasan, Tetap Saja Dapat Cemohan
Perawakannya biasa saja. Tidak besar, tidak tinggi. Bahkan posturnya sedang saja untuk ukuran seorang pria. Orang itu adalah Saeful biasa dipanggil Abid 37 tahun.Dia pengurus Yayasan Lingkar Perdamaian mantan combatan yang pernah terlibat konflik di Ambon dan Poso.
Malam itu penulis ngobrol di kantor YLP dengan Abid. Dia hanya mengenakan sarung dan kaos lengan panjang. Nada bicaranya datar datar saja. Tapi, soal ketangguhan jangan ditanya lagi.
Abid bersama 12 rekannya pernah tidak makan berhari-hari di hutan belantara Poso. Selain persediaan makanan memang sudah habis, mereka lagi diburu Brimob dalam jumlah personal cukup besar. Satu kapal baru datang dari Aceh. Jadi, Abid dkk harus terus bergerak.
Mereka hanya minum tetesan air dari semacam rotan hutan. Batang rotan dipotong lalu ditunggu tetesan airnya. Lama keluarnya. Antara 30 menit sampai satu jam baru keluar. Manisnya luar biasa. Batang lalu dipotong potong. Panjangnya sekitar 16 cm. Batang dikupas disisakan tengahnya. Makan satu batang seukuran jempol sudah kenyang. Cukup menganjal perut seharian.
Yang tahu batang rotan hutan bisa dimakan ya warga lokal yang bergabung pasukan muslim. ‘’Jadi, kalau persediaan makan habis tinggal cari rotan hutan tadi, ‘’ aku Abid.
Sebelum ke Poso, Abid dengan bendera Kompak pernah terlibat konflik di Ambon. Antara tahun 2000 sampai 2001. Setelah terlibat konflik di beberapa wilayah Ambon, Abid bersama sebagaian pasukan muslim ditugaskan ke pulau Lehitu, sebuah pulau tak jauh dari kota Ambon.
Saat datang kali pertama di Lehitu, hati Abid teriris, nyaris menangis. Warga muslim di sana sebagaian besar belum bisa melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Karena itu Abit dkk perlu mengajari mereka mulai mengaji, salat, wudlu yang benar sampai soal pentingnya jihad saat diserang musuh.
Tujuan kaum muslimin ke Ambon saat konflik adalah dakwah wal jihad. ‘‘Kalau situasi damai digunakan berdakwah. Sebaliknya, kalau situasinya memanas ya harus siap perang alias jihad,’’ aku Abid.
Abid mengaku ikut jihad ke Ambon karena kesadaran sendiri sebagai seorang muslim untuk membela saudara saudaranya sesama muslim yang diserang, didlolimi kelompok lain.
Apalagi, sejak kecil Abid yang hidup di pesantren sebagai santri sudah akrab menonton berita TVRI kala itu yakni, Dunia Dalam Berita. Isinya didominasi perang dan penindasan Israel terhadap umat muslim Palestina maupun perlakuan tidak adil yang diterima kaum muslim dari negara-negara barat.
Dari situ muncul pemikiran, suatu saat nanti kalau ada kesempatan membela umat muslim yang teraniaya, Abid siap melakukan jihad. Apalagi, sebelum terjun ke wilayah konflik Ambon dan Poso, Abid juga diajari bagaimana cara penggunaan senjata, membaca peta, teknik perang gerilya, survival di hutan dan meracik bom oleh alumi pelatihan militer kamp Mindanao .
Setelah teori, lalu dipraktikan. Catatan dibuang untuk keamanan. Selain bekal agama yang mantap. ‘‘Jadi, saya jihad itu atas kesadaran sendiri dan panggilan agama,’’ akunya.
Setahun di Ambon, Abid balik ke Lamongan. Tak lama di Pulau Jawa, Abid berangkat lagi jihad ke Poso tahun 2001 karena di sana juga ada bentrok umat Islam dan kelompok lain.
Bekal jihad dan pengalaman perang di Ambon sangat membantu selama terlibat konflik di Poso. Abid yang veteran Ambon dipercaya mengkoodinasi pasukan berkuatan kecil sekitar 24 orang.
Abid dan anggotanya sering ‘’main’’ istilah perang bagi mereka. Baik dengan kelompok Kristen maupun Polisi yang suka memburu mereka. Beberapa kali Abid dan kelompoknya terlibat penyergapan dan penyerangan. Ada yang luka, atau mati itu hal biasa. Bahkan anggotanya bukanya cari selamat. Tapi, berharap ingin mati saat jihad.
‘’Kapan ya kita dipanggil. Kok..beberapa teman kita duluan yang mati. Padahal, posisinya berada di belakang saya saat bentrok,’’ ujar rekan Abid. ‘’Kami ikhlas dipanggil saat Jihad. Mati sahid itu yang kami cari,’’ aku Abid.
Sekitar tahun 2003, Abid dan 24 anggota pasukannya ‘’main’’. Setelah itu balik ke posko atau markas. Dalam perjalanan pulang mereka dibagi dua. Dua belas pasukan lokal pulang ke kampung halamannya. Sedangkan Abid dan 12 rekannya menuju markas.
Dalam perjalanan mereka diendus pasukan Brimob dengan jumlah personal cukup banyak. Satu kapal penuh, baru datang dari Aceh. Mereka terlibat bentrok berkali kali selama diburu Brimob. Saat menjelang sore atau Magrib mereka tiba di suatu lembah. Pasukan menggunakan istirahat untuk salat. Sebagaian mendirikan semacam tenda atau bivak. Dua pasukan diminta siaga di atas bukit.
Tiba tiba, dua anggota penjaga di atas bukit tadi ikut turun. Mereka beralasan situasi aman terkendali kerena hari menjelang petang. Eh..tidak lama kemudian saat sedang salat, Abid dkk diberondong pasukan Brimob dari atas bukit.
Tiga tewas di tempat, tiga tewas dari pengejaran Brimob, empat luka-luka. Termasuk Abid tertembak pada kaki kanannya. Akhirnya, dua jari kaki Abid diamputasi karena dikhawatirkan membusuk. ‘’Jangankan dipotong dua jari, diamputasi sampai dengkul pun saya ikhlas. Ini resiko jihad,’’ aku Abid.
Dalam persidangan Abid divonis 3 tahun dengan dakwaan melakukan penyerangan terhadap aparat, menyembunyikan buronan teroris dan penggunanan senjata illegal. Abid menjalani hukuman di LP Palu, Sulteng. Dapat remisi setengah tahun. Tahun 2006 bebas dan balik ke Lamongan.
Kerja serabutan sampai akhirnya bergabung Ali Fauzi lalu membentuk Yayasan Lingkar Perdamaian. ‘’Saat memutuskan jihad itu pilihan hidup. Saat bergabung YLP karena kesadaran sendiri dan ingin membantu nasib sesama napiter (narapidana teroris) yang kurang beruntung,’’ aku Abid.
Alasan lainnya, dia sudah lama kenal Ali Fauzi. Selain sama sama berasal dari Lamongan bahkan sekampung, Ibad dan Ali Fauzi sama sama terlibat konflik di Ambon dan Poso. Ali Fauzi juga mengajari Abid dkk berlatih perang, merakit bom, menggunakan senjata dan lainya ‘’Perhatian Pak Ali terhadap anak buah dan teman sesama napiter sangat besar. Karena itu saya tidak ragu bergabung YLP,’’
Tapi, keputusan bapak empat anak ini bergabung YLP dan memilih jalan damai itu tak luput dicemoh rekan rekannya yang tetap perpendirian keras.
Apakah mereka sampai mengancam akan membunuh? Abid katakan, tidak sejauh itu. Mereka pasti mikir kalau berniat membunuh. Tapi, Abid memilih tidak menagggapi cemohan. ‘’Mereka mereka yang mencemooh tidak lebih baik dari kita kok,’’ ujar Abid enteng. Akhirnya, tak lama kemudian beberapa mereka yang mengecam malah bergabung dengan YLP. ‘’Kita dengan tangan terbuka menerima mereka,’’ katanya.
Lain halnya Hasan alias Agus Martin , 36, veteran konflik Ambon ini ditangkap terkait penyerangan polisi di Bintaro Sektor IX. Sebenarnya, Hasan tidak terlihat langsung penyerangan. Hanya saja senjata temannya yang dibawa dipinjam lalu dipakai menyerang petugas.
Temannya tadi tertangkap lalu menyebut nama Hasan. Tak lama petugas pun meringkus Hasan di rumahnya Jakarta Timur. Dalam persidangan Hasan divonis 4 tahun penjara. Hasan mendapat remisi 6 bulan. Tahun 2016 lalu Hasan bebas. ‘’Saya kini bergabung YLP bersama Ustad Ali Fauzi,’’ aku Hasan di kantor YLP.
Untuk menghidupi ketiga anaknya, sehari hari Hasan bekerja di CV At Taubah milik keluarga besar Ali Fauzi yang bergerak di bidang jasa dan kontraktor.Hendra, anak terpidana mati Amrozi tercatat sebagai General Manager(GM) CV At –Taubah. ‘’Sekarang saya fokus pada keluarga. Hidup tenang untuk membesarkan anak anak,’’ aku Hasan.
Hasan sendiri beberapa kali ke Ambon. Terakhir sekitar tahun 2012 silam. Saat itu Hasan dan teman-teman sedang berjaga di kampung pedalaman Ambon. Isunya akan ada RMS bangkit dan menyerang perkampungan muslim. Eh..nggak tahunya mereka malah menyusup di Lapangan kota Ambon saat digelar upacara 17 Agustus yang dihadiri Presiden SBY kala itu.
Sejak memilih hidup damai, diakui Hasan memang banyak cemohan dari rekan mereka yang sama sama pernah berjuang di Ambon. Tapi, Hasan memilih tidak menangapi terlalu keras. Hasan sebatas menepis, menjelaskan bahwa tundingan mereka tidak benar. ‘’Mereka ini keras. Kalau dilawan tambah jadi. Makanya, harus kita sikapi lembut,’’ aku Hasan. ‘’Saya berharap suatu saat mereka juga bergabung YLP untuk menjalani hidup secara damai,’’ harap Hasan.
Hasan juga taat beribadah. Setiap waktunya salat, Hasan selalu berjamaah di masjid Baitul Muttaqin. Penulis melihat Hasan selalu salat berjamaah di masjid. Baik Ashar, Magrib dan Isya.
Sedangkan Sumarno , 42, pengurus pengurus YLP masih tergolong keponakan Ali Fauzi maupun Amrozi. Anak kakak perempuan trio bom Bali (Ali Imron-Amrozi-Ali Gufron) itu pernah berjihad di Ambon setelah kerusuhan meledak tahun 1999 akhir.
Sumarno setahun diu Ambon lalu balik ke Lamongan. Setelah bom Bali meledak 12 Oktober 2002 lalu pamannya Amrozi tertangkap, suasana Desa Tenggulun, Solokuro, Lamongan sepi. Semua pamannya kabur. Ali Imron ke daerah pertambakan di Samarida, Kaltim. Ali Gufron alias Mukhlas memilih bersembunyi di Klaten. Sedangkan Ali Fauzi yanga masuk 250 DPO sebagai peracik bom alumni kamp militer MILF ikut diburu memilih balik ke Mindanao, Philipina.
Yang di Tenggulun hanya tersisa Sumarmo. Laki laki dan keponakan trio bomber Bali paling besar. Maka, Sumarno ditugasi pamannya menyembunyikan senjata, sisa bahan bom ke hutan jati Solokuro.
Tapi, akhirnya polisi berhasil membongkar dan menemukan senjata dan sisa bom yang ditanam di hutan Solokuro. Sumarno pun dicokok. Dalam persidangan Sumarno divonis 6 tahun penjara. Tak hanya itu Sumarno juga menjadi saksi penting di berbagai persidangan. Baik Jakarta, Serabaya , maupun Bali. ‘’Termasuk menjadi saksi Ustad Abu Bakar Ba’asyir.’’
Sumarno juga menjalani hukuman berpindah pindah. Polda Metro Jaya, Polda Jatim, terakhir di Lapas Lamongan sampai hari pembebasan tahun 2008. ‘’Sekarang saya membantu Mas Ali Fauzi di YLP,’’ aku Sumarno.
Tak hanya membantu di YLP, Sumarno yang cukup cekatan itu juga terlibat aktif mengelola bisnis keluarga. Mulai biro travel dan bisnis lainnya yang dijalankan pamannya Ustad Ali Fauzi. ‘’Sumarno orangnya cekatan dan sabar. Hampir semua yang mengerjakan dia (Sumarno). Saya hanya menyemangati dan tunjuk ini itu saja ha..ha ha,’’ aku Ali Fauzi.
Sumarno benar benar menjadi tangan kanan Ali Fauzi. Semua urusan YLP dan bisnis yang ditangani Ali Fauzi yang mengurusi Sumarno. Termasuk mengurus segala keperluan napiter yang baru bergabung YLP. Seperti Salman.
Selain itu, Sumarno juga membangun lobi dengan para pengusaha agar mau menampung napiter binaan YLP untuk dipekerjakan. Tapi, itu tidak mudah. Begitu tahu yang dibawa Sumarno mantan napiter, mereka takut memperkerjakan. ‘’Tapi, tidak semua pengusaha menolak. Ada juga yag mau menerima napiter menjadi pekerja,’’ akunya.
Karena itu, Sumarno berharap pemeritah kabupaten dan provinsi membantu soal dana pembinaan bagi para napiter. Misalnya, memberikan proyek kecil kecilan pada CV At Taubah milik YLP. Sebab, hasilnya nati juga untuk keperluan mantan napiter dan anak anak mereka yang dibina YLP.
‘’Selama ini kami memeras otak bagaimana caranya bisa mencukupi kebutuhan yayasan. Jarang ada bantuan dari pemkab,’’ aku Nastain bendahara YLP.
Ditambahkan oleh Ali Fauzi, keberadaan YLP, para mantan napiter, istri dan anak anak mereka bisa diterima masayarakat. Mereka tidak mempersoalkan. Itu karena Ali Fauzi yang asli Desa Tenggulun ringan tangan terhadap berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat.
Kalau ada warga yang bermasalah dengan polisi, Ali Fauzi mencoba menyelesaikan secara kekeluargaan. Begitu juga ketka ada tawurann antar kampung, Ali Fauzi dkk mencoba mendamaikan. ‘’Akhirnya hubungan kita dengan warga sangat baik,’’ aku Ali.
Kini jika ada persoalan kecil saja misalnya, ada suami istri bertengkar mereka datang ke Ali Fauzi. ‘’Ya..mereka kita pertemukan akhirnya bisa rukun lagi,’’ akunya. (Bahari/bersambung)