Petunjuk Bagi Orang Bertakwa, Tafsir Ibn Katsir Al-Baqarah Ayat 2
Orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang dapat petunjuk dari Allah Subhanahu wa-ta'ala (SWT). Hal itu termaktub dalam Al-Quran.
Berikut adalah Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 2. (Surat Al-Baqarah merupakan Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 terdiri dari 286 ayat).
Artinya:
“Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,” (QS.Al-Baqarah [2] : 2)
Ibnu Juraij menceritakan, Ibnu Abbas mengatakan, “dzaalikal kitaabu” berarti kitab ini. Hal yang sama juga dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, Said bin jubair, as-Suddi, Muqatil bin Hayyan, Zaid bin Aslam, Ibnu Juraij, bahwa “dzaalika'” (itu) berarti “Haadzaa” (ini). Bangsa Arab berbeda pendapat mengenai kedua ismul isyarah (kata petunjuk) tersebut. Mereka sering memakai keduanya secara tumpang tindih. Dalam percakapan yang demikian itu sudah menjadi sesuatu yang dimaklumi. Dan hal itu juga telah diceritakan Imam al-Bukhari dari Mu’ammar bin Mutsanna, dari Abu Ubaidah.
“al kitaabu” yang dimaksudkan dalam ayat di atas adalah Al-Qur’an. Dan ar-Raib maknanya: asy-syakku artinya keragu-raguan. Laa raiba fiiHi berarti tidak ada keraguan di dalamnya. Artinya, bahwa al-Qur’an ini sama sekali tidak mengandung keraguan di dalamnya, bahwa ia diturunkan dari sisi Allah, sebagimana yang difirmankan-Nya dalam surat as-Sajdah:
Alif laam miim. Tanziilul kitaabi laa raiba fiiHi mir rabbil ‘aalamiin
(“Alif Laam Miim. Turunnya al-Qur’an yang tidak ada keraguan terhadapnya adalah dari Rabb semesta alam. “) (QS. As-Sajdah: 1).
Sebagian mereka mengatakan, yang demikian itu merupakan berita yang berarti larangan. Artinya, janganlah kalian meragukannya. Di antara qurra’ ada yang menghentikan bacaanya ketika sampai pada kata “laa raiba fiiHi” dan memulainya kembali dengan firman-Nya, yaitu: “fiiHi Hudal lil muttaqiin”.
Dan ada juga yang menghentikan bacaan pada kata “laa raiba fiiHi. Bacaan yang (terakhir ini) lebih tepat. Karena dengan bacaan seperti itu firman-Nya, yaitu “Hudan” yang menjadi sifat bagi al-Qur’an itu sendiri. Dan yang demikian itu lebih baik dan mendalam dari sekadar pengertian yang menyatakan adanya petunjuk di dalamnya.
Huda = Petunjuk
“Hudan” ditinjau dari segi bahasa Arab bisa berkedudukan Marfu’ sebagai naat (sifat), dan bisa juga Manshub sebagai hal (keterangan keadaan). Dan hudan (petunjuk) itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang bertakwa, sebagai- mana yang difirmankan Allah swt: yaa ayyuHannaasu qad jaa-atkum mau’idhatum mir rabbikum wa syifaaul liman fish-shuduur wa Hudaw wa rahmatul lil mu’miniin (“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya telah datang kepada klain pelajaran dan Rabb kalian dan penyembuh bagi berbagai penyakit [yang ada] di dalam dada serta petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. ” (QS. Yunus: 57)
As-Suddi menceritakan, dari Abu Malik dan dari Abu Shalih, dari Ibnu Abbas dan dari Murrah al-Hamadani, dari Ibnu Mas’ud, dari beberapa sahabat Rasulullah , bahwa makna “Hudal lil muttaqiin”, berarti cahaya bagi orang-orang yang bertakwa.
Abu Rauq menceritakan, dari adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan bahwa “almuttaqiin” adalah orang-orang mukmin yang sangat takut berbuat syirik kepada Allah dan senantiasa berbuat taat kepada-Nya.
Muhammad bin Ishak, dari Muhammad bin Abi Muhammad, dari Ikrimah atau Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, al-Muttaqin adalah orang-orang yang senantiasa menghindari siksaan Allah Ta’ala dengan tidak meninggalkan petunjuk yang diketahuinya dan mengharapkan rahmat-Nya dalam mempercayai apa yang terkandung di dalam petunjuk tersebut.
Sufyan ats-Tsauri menceritakan, dari seseorang, dari al-Hasan al-Bashri, ia mengatakan, firman-Nya “lil muttaqiin” berarti mereka yang benar-benar takut mengerjakan apa yang telah diharamkan Allah swt bagi mereka serta menunaikan apa yang telah diwajibkan kepada mereka.
Sedangkan Qatadah mengatakan “lil muttaqiin” adalah mereka yang disifati Allah dalam firman-Nya: alladziina yu’minuuna bil ghaibi wa yuqiimuunash-shalaata” (“Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang ghaib serta mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka. “) (QS. Al- Baqarah: 3).
Dan pendapat yang dipilih Ibnu Jarir adalah bahwa ayat ini mencakup kesemuanya itu, dan itulah yang benar.
Telah diriwayatkan dari Imam at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Athiyyah as-Suddi, ia menceritakan, Rasulullah bersabda:
“Tidaklah seorang hamba mencapai derajat muttaqin (orang yang bertakwa) hingga ia meninggalkan apa yang boleh dilakukannya untuk menghindari apa yang tidak boleh dikerjakannya.” (Imam at-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib. Didlaifkan oleh syaikh al-Albani dalam Dla’iiful jami’ [6320])
Yang dimaksud dengan “Hudan” petunjuk, adalah keimanan yang tertanam di dalam hati. Dan tiada yang dapat meletakkannya di dalam hati manusia kecuali Allah swt. Dalam hal ini Allah berfirman yang artinya: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberikan petunjuk kepada orang yang ngkau cintai. ” (QS. Al-Qashash: 56)
Dia juga berfirman yang artinya: “Barangsiapa yang diberi petunjuk oleb Allah, maka dialah yang mendapatkan petunjuk. Dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapat- kan orang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. ” (QS. Al- 17)
Selain itu, Hudan dimaksudkan juga sebagai penjelasan mengenai kebenaran, pemberian dalil terhadapnya, serta bimbingan menuju kepadanya. Allah swt telah berfirman yang artinya: “Dan sesungguhnya engkau benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (asy-Syuura: 57)
Juga firman-Nya berikut ini: “Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk.” (QS. Ar-Ra’ad: 7).
Dan firman Allah: “Dan Adapun kaum Tsamud, Maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk,” (QS. Fushshilat: 17)
Ketahuilah bahwa taqwa pada dasarnya berarti menjaga diri dari hal-hal dibenci, karena kata takwa berasal dari kata “al wiqaayatu” (penjagaan).
An-Nabighah bersyair:
Penutup kepalanya terjatuh padahal ia tidak bermaksud menjatuhkannya.
Lalu ia mengambilnya sambil menutupi wajahnya -dari pandangan kami- dengan tangannya.
Kisah Umar bin al-Khaththab RA
Diceritakan, Umar bin al-Khaththab ra. pernah bertanya kepada Ubay bin Ka’ab mengenai takwa, maka Ubay bertanya kepadanya: “Tidakkah engkau pernah melewati jalan yang berduri?” Umar menjawab: “Ya.” Ia bertanya lagi: “Lalu apa yang engkau kerjakan?” Ia menjawab: “Aku berusaha keras dan bekerja sungguh-sungguh untuk menghindarinya.” Kemudian ia menuturkan: “Yang demikian itu adalah takwa.”
Ibnul Mu’taz telah mengambil pengertian itu seraya mengatakan:
Tinggalkanlah dosa kecil maupun besar dan yang demikian itu adalah takwa.
Jadilah seperti orang yang berjalan di atas tanah berduri, berhati-hati terhadap apa yang dilihatnya.
Dan janganlah engkau meremehkan suatu hal yang kecil, sesungguhnya gunung itu berasal dari batu kerikil.
Pada suatu hari, Abud Darda’ pernah membacakan sebuah sya’ir:
Seseorang menginginkan agar harapannya dipenuhi, namun Allah menolaknya kecuali apa yang dikehendaki-Nya.
Ia mengucapkan: “Keuntungan dan harta kekayaanku.” Padahal takwa kepada Allah-lah sebaik-baik apa yang diperoleh dan dimiliki.
Dalam Kitabnya, as-Sunan, Ibnu Majah meriwayatkan, dari Abu Umamah ra:
“Tidak ada sesuatu bagi seseorang setelah takwa yang lebih baik dari seorang isteri shalihah, yang jika sang suami melihatnya ia selalu membahagiakannya, jika suami menyuruhnya ia senantiasa menaatinya, jika suami bersumpah terhadap sesuatu kepadanya, maka dia penuhi sumpahnya. Dan jika suaminya tidak berada di sisinya, ia selalu setia menjaga dirinya dan harta suaminya.” (HR. Ibnu Majah. Dha’if, didha’ifkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Dha’iiful jaami’ (4999).-ed.)
Alladziina yu’minuuna bil ghaibi “(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib)” Abu Ja’far ar-Razi menceritakan, dari Abdullah, ia mengatakan: “Iman itu adalah kebenaran.”
Ali bin Abi Thalhah dan juga yang lainnya menceritakan,dari Ibnu Abbas , ia mengatakan: “Mereka beriman (maksudnya adalah) mereka membenarkan.”
Sedangkan Mu’ammar mengatakan, dari az-Zuhri, “Iman adalah amal.”
Ibnu Jarir mengatakan, yang lebih baik dan tepat adalah mereka harus mensifati diri dengan iman kepada yang ghaib baik melalui ucapan maupun perbuatan. Kata iman itu mencakup keimanan kepada Allah, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya sekaligus membenarkan pernyataan itu melalui amal perbuatan.
Demikian itulah pendapat yang menjadi pegangan mayoritas ulama. Bahkan telah menyatakan secara ijma’ (sepakat) Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Ubaidah, dan lain-lainnya, “Bahwa iman adalah pembenaran dengan ucapan dan amal perbuatan,bertambah dan berkurang.” Mengenai hal ini telah banyak hadits dan atsar yang membahasnya. Dan kami telah menyajikannya secara khusus dalam kitab Syarhu al-Bukhari.
Sebagian mereka mengatakan, beriman kepada yang ghaib sama seperti beriman. kepada yang nyata, dan bukan seperti yang difirmankan Allah mengenai orang-orang munafik: “dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: “Kami telah beriman”. dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: “Sesungguhnya Kami sependirian dengan kamu, Kami hanyalah berolok-olok.” (QS. Al-Baqarah: 14)
Dengan demikian, firman-Nya “kepada yang ghaib” berkedudukan sebagai haal (menerangkan keadaan), artinya pada saat keadaan mereka ghaib dari penglihatan manusia. Sedangkan mengenai makna ghaib yang dimaksud ini terdapat berbagai ungkapan ulama salaf yang beragam, semua benar maksudnya.
Mengenai firman Allah: yu’minuuna bilghaibi (“Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib,”) Abu Ja’far ar-Razi menceritakan, dari ar-Rabi’ bin Anas, dari Abu al-‘Aliyah, ia mengatakan: “Mereka beriman kepada Allah, malaikat- malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, surga dan neraka, serta pertemuan dengan Allah, dan juga beriman akan adanya kehidupan setelah kematian ini, serta adanya kebangkitan. Dan semuanya itu adalah hal yang ghaib.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Muhairiz, ia menceritakan, aku pernah mengatakan kepada Abu Jam’ah: “Beritahukan kepada kami sebuah hadits yang engkau dengar dari Rasulullah saw”. la pun berkata: “Baiklah, aku akan beritahukan sebuah hadits kepadamu. Kami pernah makan siang bersama Rasulullah , dan bersama kami terdapat Abu Ubaidah bin al Jarrah, lalu ia bertanya: ‘Ya Rasulullah, adakah seseorang yang lebih baik dari kami? Sedangkan kami telah masuk Islam bersamamu dan berjihad bersamamu pula?’ Beliau menjawab: “Ya ada. Yaitu suatu kaum setelah kalian, mereka beriman kepadaku padahal mereka tidak melihatku.”
Advertisement