Petualangan Kebenaran Antar Pemeluk Eks-Syiah Kembali ke Aswaja
Tajul Muluk tergopoh masuk. Payung berwarna abu-abu yang dibawanya itu diletakkan di tempat khusus. Maklum malam itu, sedang hujan rintik-rintik. Di ruangan berukuran 5x6 meter itu, sambil merapikan sarungnya dia duduk bersila. Tajul baru datang dari masjid yang tak jauh dari kediamannya.
Seusai menunaikan ibadah salat isya, berpeci hijau, berbaju putih, dan bersarung hitam pemimpin jemaah eks-Syiah itu terlihat sumringah. Dengan menyuguhkan secangkir teh panas dan sebungkus nasi goreng, Tajul menyambut Ngopibareng.id di Rusunawa Puspa Agro, Jemundo, Sidoarjo pada Selasa, 2 Maret 2021.
“Sambil diminum dan dimakan Mbak nasinya,” kata Tajul memulai percakapan sembari tersenyum kecil.
Raut wajahnya memancarkan ketenangan, seolah tak ada beban. Terhitung sudah tujuh belas minggu lebih Tajul dibaiat menjadi Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). Bapak enam anak ini menuturkan, butuh bertahun-tahun untuk menemukan kebenaran. Prosesnya pun tak mudah. Berbekal rasa penasaran tinggi, Tajul memulai pencariannya.
“Sebenarnya dalam hidup saya berusaha mencari yang paling pas. Saya masih mengingat ajaran guru saya untuk bisa mempersatukan dan tidak menyalahkan orang lain yang berbeda pendapat,” katanya.
Proses ini dianggap Tajul sebagai petualangan pencarian kebenaran. Tekadnya semakin bulat selepas dia bebas dari penjara pada tahun 2015. Pria yang fasih berbahasa Arab itu menginginkan dialog terbuka antara Syiah dengan Majelis Ulama Indonesuia (MUI). Tajul ingin mengupas kebenaran fatwa yang dikeluarkan MUI tentang Syiah.
“Saat keluar dari penjara pada 2015, saya mengajak tokoh Syiah untuk berdialog dengan MUI. Jika memang fatwa MUI tentang fitnah, kita berdiskusi saja. Jangan sampai umat dikorbankan. Bahaya negara kalau umatnya hancur,” kata Tajul dengan nada mendesak.
Sayangnya, Tajul menemukan jalan buntu. Tokoh Syiah yang diajaknya berdiskusi berkelit dengan beribu alasan. Sedangkan pihak MUI yang diharapkan memberi pencerahan menolak berdialog. Mau tak mau pria lulusan pesantren ini dipaksa mencari jawabannya sendiri. Tak hilang akal, pada 2017 Tajul mulai aktif menonton video di Youtube tentang perdebatan Syiah-Suni di Timur Tengah. Setelah menyimak ratusan video, perlahan, satu demi satu pertanyaan Tajul mulai terjawab.
“Saya mendengarkan perdebatan tokoh Syiah-Suni di YouTube. Saya catat lengkap sumber kitab yang disebut beserta halamannya, setelah itu saya cek sendiri. Ternyata fatwa MUI benar tentang Syiah dan bukan merupakan fitnah,” katanya.
Sebenarnya sudah sejak 2011 Tajul menemukan kejanggalan di Syiah, namun saat itu dia belum begitu yakin lantaran kurangnya data valid. Keyakinannya akan keanehan demi keanehan semakin menguat setelah tokoh Syiah menolak berdiskusi dengan MUI. Yang tak kalah mengejutkan, dalam penemuannya Syiah mengkafirkan kelompok lain. Selain itu, kitab sucinya bukan bersumber pada Quran dan hadist.
“Kitab suci mereka bukan Quran, tetapi masih ghaib. Mereka juga menganggap Quran tidak otentik. Sahabat dan istri nabi dianggap kafir. Ini Islam yang bagaimana kok Quran tidak dipercayai,” katanya.
Hati Tajul semakin merasa mantap meninggalkan Syiah setelah mengetahui berbagai perangai yang tidak bisa diterimanya. Setelah mengamati sejak 2015, Tajul mendapati kesimpulan apa yang ada di lisan dan tulisan Syiah semuanya berbeda. Ajaran pokok taqiyyah atau kepura-puraan pun tak dapat dia toleransi.
“Mereka ini pintar berkamuflase, yaitu bertaqiyyah atau berpura-pura. Yang mereka ucapkan dan apa yang di kitab mereka sangat berbeda. Orang awam yang tidak tahu kitab mereka akan terpedaya. Salah satunya sahabat dan istri nabi dianggap laknat dan kafir,” jelasnya.
Mengetahui hal ini Tajul mulai melantangkan dakwah kebenaran atas penemuannya sejak 2017. Dakwah ini semakin gencar dia lakukan pada 2018. Kendati awalnya banyak penolakan dan ancaman pembunuhan, Tajul pantang mundur. Perjuangannya berbuah manis, pada 5 November 2020 sebanyak 274 orang dibaiat kembali ke Aswaja.
Tajul menekankan, baiat ini bukan semata untuk bisa kembali kampung halaman. Baginya hutangnya kepada Allah sudah lunas. Tajul pun tak khawatir jika masih banyak pihak yang meragukan baiatnya. Bukti keseriusannya saat dia berani dibaiat. Tak hanya itu, Tajul pun menjelaskan penemuannya yang menyebabkannya meninggalkan Syiah. Kegiatan Syiah di rusunawa pun dihentikan.
“Saya dibaiat bukan semata untuk kembali ke Madura, saya terbiasa merantau dan hidup susah. Bagi saya ini hutang kepada Allah dan masyarakat. Saya takut dituntut di akhirat. Mulai Juni 2020, Saya juga memindahkan 35 santri dari pesantren Syiah ke Lirboyo dan 15 santri ke Tebuireng yang notabene pusat NU,” katanya.
Di sisi lain, Tajul tak menampik, dirinya berharap bisa segera kembali ke kampung halamannya. Meskipun tidak mudah, namun dia meyakini dengan sepenuh hati. Sementara, senada dengan Tajul, Nurkholis mantan pemeluk Syiah mengatakan hal serupa. Pria kelahiran 1992 itu memilih kembali ke Aswaja setelah perenungan panjang.
Kendati sempat berbeda pendapat dengan sang istri, Susi Ernawati setelah enam bulan lamanya berdiskusi akhirnya Susi Ernawati menyetujui keputusannya. Kholis, begitu sapaannya menegaskan jika baiatnya bukan disebabkan rasa tertekan akibat bertahun-tahun hidup di rusunawa. Melainkan murni untuk menemukan kebenaran.
“Saya mondok di YAPI selama enam tahun dan bisa berbahasa Arab. Saya mengecek sendiri isi kitab yang dijelaskan Kiai Tajul. Ternyata di situ benar tentang fatwa MUI tentang Syiah. Dalam kitabnya salah satunya melaknat sahabat dan istri nabi. Selama ini saya kurang begitu tahu karena keterbatasan teknologi,” ungkap Kholis.
Setelah mengetahui kebenarannya atas fakta Syiah, Kholis memutuskan dibaiat. Pria bertubuh tambun ini pun merasa bersyukur dan lega setelah dibaiat. Pencarian akan kebenaran sudah menemukan titik terang. Terlebih, keluarga besar yang sempat menjaga jarak mulai terbuka dan menyambut kedatangannya. Kholis pun berharap dia bisa segera berkumpul dengan keluarganya yang ada di kampung.
“Ya saya berharap bisa segera kembali untuk berkumpul dengan kedua orang tua saya. Bagaimanapun juga masih enak hidup di kampung, meskipun di sini tinggalnya di gedung. Masalah pekerjaan dan lain-lain itu urusan nanti,” tutup pria alumnus sarjana Hukum UNTAG Surabaya ini sambil menyedot sebatang rokok.