Petani Hutan Bojonegoro Demo Perhutani, Minta Lahan Dikembalikan
Ratusan massa dari Lidah Tani Cabang Bojonegoro, melakukan aksi demonstrasi di depan Kantor Perhutani KPH Padangan, Kamis 2 November 2023. Aksi mereka dipicu adanya perampasan lahan garapan petani di Desa Gamongan Kecamatan Tambakrejo.
Persoalan itu telah berlarut. Sejak 2017 hingga sekarang ini yang belum ada kejelasan. Didampingi LBH Kinasih serta dukungan dan solidaritas dari petani hutan dari wilayah lain. Lidah Tani Bojonegoro menyampaikan empat tuntutan dalam aksi tersebut.
Mereka menuntut lahan garapan yang dirampas oleh Perhutani dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Kemudian memberikan ganti rugi atas pendapatan petani hutan yang hilang dari adanya perkebunan tebu sesuai lamanya kontrak kerja sama.
Selanjutnya, memberikan ganti rugi atas tanaman yang dirusak paksa oleh Petugas Perhutani dan pihak PTPN. "Laksanakan Reforma Agraria Sejati dan Industrialisasi Nasional," Ketua Lidah Tani Cabang Bojonegoro Purnomo.
Untuk diketahui, sejak tahun 2017 yang tertera dalam kontrak kerjasama antara Perum Perhutani dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Dalam kontrak tersebut sebagai wujud swasembada pangan melalui pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan tebu.
Dalam kontrak, kata Purnomo, Perhutani yang kemudian dianggap memiliki Hak atas penguasaan lahan kawasan hutan di Kabupaten Bojonegoro menyediakan kurang lebih 20 hektar dan 200 hektare untuk pembukaan Perkebunan tebu.
Sementara lahan kawasan yang diajukan oleh Perhutani sesuai dengan kontrak dengan PTPN sudah di kelola dan dimanfaatkan oleh kaum tani di Desa Gamongan dan sekitarnya selama lebih dari 20 tahun lamanya.
Lebih dari 100 petani hutan di Desa Gamongan dan sekitarnya telah bergantung hidup dari lahan kawasan hutan tersebut.
Setelah izin perkebunan terbit, hingga perpanjangan kontrak tahun 2022 tidak ada sosialisasi oleh Perhutani KPH Padangan maupun oleh pihak yang bersangkutan kepada petani penggarap.
"Terlebih dalam proses awal pembuatan perkebunan tebu. Petani penggarap di usir paksa. Seluruh tanaman palawija dan tegakkan dirusak dengan alat berat tanpa ada proses rembuk dan ganti rugi yang sesuai," ujarnya.
Menurut dia, itu adalah wujud dari arogansi Perhutani. Pelibatan petani penggarap sebagai buruh tani untuk menjaga serta merawat tanaman tebu tidak ubahnya seperti sistem Tanam Paksa ala VOC. Mengusir kaum tani dari lahan garapannya, memperbudak petani sebagai tenaga kerja murah dan mengadu domba sesama petani penggarap.
Sementara itu, sejumlah perwakilan didampingi LBH Kinasih usai mediasi dengan pihak Perhutani KPH Padangan tidak membuahkan hasil. Mereka harus kembali dengan tangan kosong.
Direktur LBH Kinasih, Agus Susanto, menyampaikan, jika pertemuan hari ini belum ada hasil. Namun, tuntutan utama telah tersampaikan. "Dikembalikan lahan garapan dan tuntutan ganti rugi tanaman petani yang telah dirusak oleh PTPN," kata dia.
Setelah ini, kata dia, akan diadakan pertemuan kembali dengan beberapa pihak terkait. "Dari Perhutani, pendamping hukum, korban, termasuk dari PTPN 11," ujarnya.
Disampaikan, bahwa keraguan yang dialami petani hutan cukup banyak. Tanaman yang dirusak, adalah tanaman pangan. "Kerugian itu diakumulasi mulai tahun 2017 sampai 2023 ini. Ada 2 orang yang menjadi korban. Masing-masing korban menderita kerugian Rp80 juta," ungkapnya.
Menurut dia, tidak ada alasan dan sosialisasi dari PTPN. Tiba-tiba melakukan perusakan. "Jadi ketika PTPN itu fiks mendapatkan lahan, tanaman petani langsung dirusak. Petani sudah puluhan tahun menggarap lahan," ujarnya.
Terpisah, Waka Adm Perhutani KPH Padangan, Doni Supriyanto, menyampaikan bahwa tuntutan dari petani hutan tersebut akan disampaikan kepada pimpinan. Sebab, pimpinan KPH Padangan sedang menghadiri rapat di Surabaya.
"Kara ini melibatkan PTPN, kami akan mengadakan mediasi berikutnya. Juga akan mengundang dari PTPN," kata dia.
Dia menambahkan, baik yang sebelumnya dikerjakan oleh petani hutan maupun PTPN, tidak masuk dalam perhutanan sosial. Dia tidak memungkiri, jika petani hutan lebih dulu menggarap lahan. Meskipun hanya dengan perjanjian kerja sama.
Sementara PTPN mengerjakan lahan itu, berdasarkan pada program ketahanan pangan Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK). "Secara legalitas, PTPN lebih dulu. Permen KLHK nomor 81 tahun 2016 tentang pencanangan ketahanan pangan," ungkapnya.
Advertisement