Petahana Bukan Lagi Segalanya
Ada secercah harapan dari pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara serentak 2020. Apa itu? Pemilih menjadi semakin rasional. Modal petahana dan uang tak jaminan untuk menang.
Di Jawa Timur, sejumlah calon petahana tumbang. Dari hasil penghitungan sementara, yang sudah pasti gagal mempertahankan keduduknya adalah Bupati Blitar Riyanto dan Bupati Ponorogo Ipong.
Di Blitar, pasangan Riyanto-Marheinis Urip Widodo yang diusung PDI Perjuangan tumbang oleh debutan baru. Mak-mak lagi. Pasangan yang sudah satu periode menjabat ini kalah dari pasangan Mak Rini-Makde Rahmat.
Di Ponorogo juga demikian. Pasangan Ipong Muhlisoni-Bambang Tri Wahono ditumbangkan pasangan Sugiri Sancoko-Lisdyarita. Padahal, selain petahana, Ipong dikenal sebagai pengusaha yang punya dukungan dana tak terbatas.
Jember petahana Farida juga keok dengan penantangnya. Namun, Farida yang selama menjabat selalu kisruh dengan DPRD itu maju dengan kendaraan independen. Basis sosialnya sebagai dokter yang mengantarkan menjadi bupati lima tahun lalu kini tak sakti lagi.
Agak berbeda dengan di Surabaya dan Banyuwangi. Di dua tempat ini petahana hanya menjadi endorser calon lain. Tapi sebagai endorser, baik Tri Risma Harini maupun Azwar Anas --keduanya PDI Perjuangan-- dikenal sebagai kepala daerah yang sukses.
Mengapa para petahana dan calon dengan modal besar tak bisa memenangkan pertarungan? Saya menduga lebih karena ada perubahan perilaku pemilih. Mereka tak lagi gampang dibeli.
Mereka mulai melihat prestasi petahana sebagai pengambilan keputusan dalam memilih. Apakah petahana sebagai calon maupu sebagai endorser calon lainnya. Bahkan terhadap calon yang belum diketahui kompetensinya.
Memang masih harus diteliti lebih mendalam tentang perubahan perilaku memilih ini. Tapi dalam kasus Blitar, Ponorogo dan Jember, hipotesis di atas bisa mendekati kenyataan. Ijin terungkap lewat pernyataan pemilih.
"Pak Riyanto tiyang sae. Nanging sae mawon mboten cekap kangge bupati. (Pak Riyanto orang baik. Tapi baik saja yidak cukup untuk menjadi bupati, red)," kata ibu-ibu tua di Blitar yang kali ini tak lagi memilih Riyanto.
Bupati Riyanto memang bukan orang baru di pemerintahan. Ia pernah menjadi wakil bupati, setelah sebelumnya menjabat Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar.
Karena bupati pasangannya sudah dua periode, maka ia pun maju menjadi calon bupati lima tahun lalu. Saat itu, ia menjadi calon tunggal. Melawan bumbung kosong. Di detik-detik terakhir pencalonan.
Kasus yang menimpa Bupati Riyanto ini mengulang kegagalan petahana Bupati Bantul Hj Sri Surya Widati. Ia adalah istri bupati sebelumnya yang sukses dua periode sebelumnya: Idham Samawi. Keduanya menjadi jago PDI Perjuangan.
Dalam Pilkada 2015 lalu, ia dikalahkan pasangan penantangnya yang polisi karena warganya ingin perubahan. Mereka menilai bupati perempuan pertama di Bantul itu sebagai orang baik.
Namun, rakyat memilih orang baru karena ingin pemimpin yang baru. Ia digantikan bupati yang berlakang polisi, Harsono. Namun, ia ternyata hanya memimpin Bantul satu periode. Kini, kabupaten itu memilih bupati baru lagi.
Sebetulnya bupati Riyanto bukan tak punya prestasi sama sekali. Ia punya jasa memindahkan ibukota Kabupaten Blitar ke Kecamatan Kanigoro. Kantor bupati yang tadinya di kota digeser ke kecamatan timur kota tempat Bung Karno dimakamkan.
Tapi pemindahan pusat pemerintahan tak berdampak langsung kepada warga. Kecuali warga di sekitar kantor-kantor pemerintahan yang baru. Tidak ada perubahan berarti selama pemerintahannya.
Saya tidak tahu persis kenapa Bupati Faida di Jember dan Bupati Ipong di Ponorogo gagal mempertahankan posisinya. Yang pasti memang tidak pernah muncul inovasi yang meletik atau menonjol dalam pemerintahannya.
Tampaknya akses terhadap informasi semakin membuat rakyat gampang membandingkan kemajuan daerahnya dengan daerah lain. Karena itu, diperlukan kepala daerah yang bisa membuat perubahan kasat mata selama periode pemerintahannya.
Jika kecenderungan pemilih dalam pilkada terus demikian, jelas ini menjadi harapan baru bagi kemajuan bangsa. Kita akan lebih gampang mendapatkan pemimpin-pemimpin yang teruji dan memiliki inovasi-inovasi berlian.
Bukan hanya pemimpin yang hanya tergantung kepada kekuatan partai pengusungnya. Tapi pemimpin yang punya kapasitas dan mau bekerja keras. Kepala daerah yang bisa meninggalkan kebaikan yang bisa dirasakan masyarakat luas.
Setidaknya ke depan, kepala daerah ke depan harus punya 4 tas. Ini seperti kara guru besar ahli kebijakan publik yang juga teman saya Riant Nugroho.
Apa 4 tas itu? Yakni, kapasitas, integritas, intelektualitas dan isi tas. Yang disebut terakhir ini yang belum bisa dihilangkan. Setidaknya karena partai politik masih cenderung jualan tiket untuk mengusung seseorang.
Untuk sementara, figur yang hanya punya kapasitas, integritas dan kualitas saja tampaknya belum tentu bisa jadi kepala daerah. Sepanjang parpol pengusung masih mengandalkan isi tas sebagai syarat untuk bisa memperoleh tiketnya.
Advertisement