Pesantren Mandiri, Ikhtiar Cegah Dimanfaatkan Politik
Kemandirian pesantren tidak hanya soal ekonomi, tapi juga kemandirian segala aspek, termasuk sosial-politik. Kemandirian politik pesantren diperlukan karena rawan dimanfaatkan, biasanya setiap pemilu, termasuk Pemilu 2024 nanti.
“Isu kemandirian ini bisa luas sekali, bukan hanya ekonomi, tapi juga politik, sosial, budaya, terutama dalam konteks menjelang tahun polutik menjelang perhelatan demokrasi.
"Itu menjadi tahun yang sangat rawan, bisa dimanfaatkan oleh pihak tertentu yang hanya ingin mengais keuntungan jangka pendek dan bisa memanfaatkan pesantren dan para kiai dalam rangka kepentingan politik".
Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (UINSA) Masdar Hilmy mengungkapkan hal itu, dalam Sarasehan Nasional Pesantren bertema Pesantren Pasca Undang-undang Nomor 18 Tahun 2019; Quo Vadis Kemandirian Pesantren? di Hotel Mercure Grand Mirama Surabaya, Rabu lalu.
Isu Kemandirian Pesantren
Hadir pada sarasehan yang digelar UINSA itu perwakilan pesantren se Jawa Timur dan organisasi kemasyarakatan yang konsen di bidang itu.
Isu kemandirian pesantren, kata lulusan magister McGill, Montreal, Kanada, itu, menjadi titik utama tujuan daripada terbitnya UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Undang-undang itu menurutnya adalah bentuk dukungan negara terhadap pesantren, tanpa memberangus karakter pesantren.
“Isu kemandirian itu justru, menurut saya, yang paling urgent untuk disampaikan. Bahwa pesantren perlu di-support oleh negara; dunia pesantren perlu ditopang infrastruktur, salah satu pihak yang bisa menopang ini negara.
"Tetapi pesantren juga punya history, punya legacy, punya sejarah masa lalu, punya kemandirian tersendiri yang tidak boleh atau tabu bagi negara melakukan intervensi,” ujar Masdar.
“Dalam rangka menguji bahwa pesantren merupakan suatu institusi yang sejak dulu itu eksis kemudian dia tidak pernah diotonomi oleh negara, tidak pernah diatur sedemikian rupa, tapi kemudian ada undang-undang, ini menjadi suatu ujian bagi dunia pesantren untuk bisa menempatkan dirinya secara proporsional dalam rangka menjaga hubungan yang elegan dan mutualustik antara negara dengan pondok pesantren,” tutur Masdar Hilmy.