Pesantren Dolly Disamping Dentum Karaoke
SAYA lagi asyik menulis sore itu. ’’Ada tamu dari Gang Dolly,’’ ujar istri saya sambil berbisik.
Gang Dolly?
Terbayang oleh saya kompleks pelacuran terbesar di Surabaya itu. Yang sudah ditutup oleh Wali Kota Surabaya Bu Risma pada 2014 lalu. Saya pun bergegas keluar rumah. Ada tiga anak muda di pintu depan. Semua mengenakan kopiah. Satu orang lagi berambut pendek.
Alhamdulilah, Di Kota Ini Guru Ngaji Dapat Gaji Bulanan
’’Kami dari Taman Pendidikan Alquran Gang Dolly,’’ kata salah seorang yang benama Muhammad Nasih. ’’Ingin diskusi sebentar,’’ tambahnya.
Saya memang tertarik pada program apa saja yang dilakukan di Gang Dolly pasca penutupan perdagangan kelamin di sana. Saya sudah bertemu aktivis LSM yang bergerak di situ. Saya juga ditemui wartawan yang sedang menulis buku bertema Gang Dolly. Misi buku itu: Surabaya tetap perlu lokalisasi pelacuran.
Alasannya sederhana: banyak pelaku kriminal yang bersembunyi di kompleks pelacuran. Terutama pelaku pencurian dan perampokan. Sambil membuang uang hasil rampokannya. Bersama nafsunya. Lalu... hap...! tertangkap.
Sang wartawan minta saya menuliskan kata pengantar buku itu. Mungkin itulah kata pengantar tersulit yang harus saya tulis. Saya kan pro penutupan. Polisi tentu punya ilmu yang tinggi untuk tetap bisa menangkap perampok. Ada atau tidak ada tempat persembunyian.
Diskusi dengan aktivis Gang Dolly sore itu ternyata asyik sekali. Hampir dua jam. Saya relakan jatah waktu penulisan buku saya. Agar diskusi bisa lebih lama. Saya bisa meneruskan penulisan buku lain waktu. Toh, buku itu kalaupun selesai ditulis belum tentu saya terbitkan sekarang. Isinya menyangkut orang-orang yang masih hidup yang mungkin kurang suka membaca isinya.
Tiga anak muda berkopiah itu ternyata kompak. Urunan kumpul-kumpul uang. Untuk membeli salah satu rumah bordil di Gang IV B Putat Jaya Timur. Itulah salah satu gang yang dulunya padat dengan perdagangan pantat. Rumah ’’akuarium’’ wanita tersebut mereka ubah menjadi tempat belajar membaca Quran. Khusus untuk anak-anak.
Satu di antara tiga pemuda itu, Muhammad Rofiuddin, menjadi pengajar tetap. Rofi lulusan pesantren Al Amin Prenduan, Madura, yang terkenal itu. S-1-nya dia peroleh dari Unej, Jember. Rofi juga hafal Alquran.
Mohamad Nasih adalah ketuanya. Dia anak pedagang yang juga menjadi pedagang. Nasih punya toko pakaian di Jalan Jarak, sekitar 200 meter dari rumah bordil yang dibeli. Toko itu sendiri berdwifungsi. Waktu sore dan malam, sebagian dagangannya disisihkan. Untuk tempat anak-anak belajar membaca Quran. Istri Nasih yang menjadi pengajarnya.
Abdullah Izzin, yang paling muda di antara tiga pemuda itu, bekerja di bank. Merangkap bisnis online. Dia juga keluarga pedagang. Abdullah yang kelahiran Sumenep itu adalah lulusan Pondok Modern Gontor, Ponorogo. Lalu melanjutkan S-1 di UIN Sunan Ampel Surabaya.
Tiga pemuda tersebut ternyata sudah membuka pesantren Dolly sejak Dolly masih jaya. Mereka berjuang dengan diam. Tidak pernah bikin provokasi. Atau bikin penentangan dengan kekerasan. Mereka berbuat melalui apa yang bisa diperbuat. Dengan diam. Tapi gigih. Gigih, tapi diam.
Sebagai anak-anak muda, mereka bersikap profesional. Guru-guru ngajinya mereka bayar lebih tinggi dari gaji umumnya guru ngaji. Agar bisa menerapkan disiplin tinggi kepada para pengajar: gajinya dipotong setiap menit keterlambatan. Dikalikan berapa menit dia terlambat datang.
Meski awalnya sulit mendapatkan anak yang mau mengaji di situ, mereka justru meningkatkan kedisiplinan. Mereka belajar dari pengalaman: sekolah yang maju adalah yang disiplinnya tinggi. Mereka pun berani menerapkan aturan: murid yang sekian kali tidak masuk tanpa alasan langsung dikeluarkan. Hasilnya justru baik. Saat ini 150 anak belajar mengaji di situ. Sepulang mereka dari sekolah secara bergantian. Setiap kelompok mengaji selama satu jam. Mulai pukul 4 sore sampai pukul 8 malam.
Rabu sore lalu saya ke sana. Melewati jalan-jalan dan gang-gang yang dulu padat dengan toko kelamin. Di beberapa gang masih terdengar dentum musik yang keras. Dari rumah-rumah di kanan-kiri gang yang sempit. Itu pertanda rumah tersebut masih dipergunakan untuk usaha karaoke.
Bangunan sebelah dinding kiri pesantren Dolly ini juga masih mendentumkan musik. Demikian juga bangunan sebelah dinding kanan. Pesantren Dolly ini praktis dijepit oleh dua bangunan karaoke. Mereka bisa bertetangga dengan misi masing-masing.
Menjelang magrib, sirene dari pos penjagaan berbunyi. Itu pertanda semua karaoke harus mematikan musiknya. Selama orang salat magrib. Saya ikut berjamaah di taman pendidikan Alquran itu. Bersama anak-anak usia TK dan SD. Setelah magrib, musik didentamkan lagi dengan kerasnya. Sirene seperti itu sudah ada sejak zaman kejayaan Dolly. Dan masih eksis meski Dolly sudah ditutup.
Saat menelusuri gang-gang sempit dengan penduduk yang padat itu, saya sering diminta mampir ke rumah warga. Salah satunya rumah yang dihuni mucikari yang sudah alih kerja. Setelah tidak mengelola pelacur, dia mengelola taman bacaan untuk anak-anak. Dapat uang pembinaan dari Dinas Perpustakaan Kota Surabaya. Istrinya berjualan sosis goreng yang wajannya berada di pinggir gang.
Saya juga mampir ke rumah Pak Ridwan Tanro yang dulu menjadi salah satu ketua RT. Waktu Dolly masih jaya, Pak RT punya penghasilan besar. Dari setoran pengusaha kelamin. Dan dari usaha sampingannya: dagang cairan pembersih lantai. Sebagai ketua RT, dia bisa memasarkan pembersih lantai buatannya sendiri dengan mudah: ke rumah-rumah bordil di wilayah RT-nya. Pakai teknik pemasaran injek kaki? Dia hanya tersenyum.
Setelah Dolly ditutup, Ridwan punya bisnis menarik: industri pembuatan meja biliar. Sore itu saat ke rumahnya, saya melihat kesibukan yang tinggi. Tujuh karyawannya sibuk menyelesaikan beberapa meja biliar. Ridwan tidak pernah kekurangan pesanan. Termasuk dari luar negeri. Di situ saya baru tahu: lantai meja biliar itu ternyata terbuat dari marmer.
Dulu Ridwan pernah bekerja sebagai buruh pabrik industri meja biliar. Setelah Dolly ditutup, dia justru jadi juragan industri rumahan meja biliar. Ridwan ini termasuk manusia unik. Sukunya Makassar. Belajarnya justru di sekolah karawitan Jawa. Di SMKI. Lalu jadi buruh. Lalu jadi pemungut setoran merangkap injek kaki. Kini jadi juragan. Merangkap guru karawitan. Dia sudah mau untuk sesekali mengajar karawitan di rumah saya. Saya memang lagi membangun gasebo. Untuk gamelan pelok slendro yang sudah lama kurang terurus.
Gang Dolly, kata para pedagang di sana, kini tidak lagi ramai dan tidak sibuk dan tidak bising dan tidak riuh seperti dulu. Masih perlu banyak inisiatif. Agar Dolly tidak kembali. (*)