Pesantren di Probolinggo Bahas Ijtihad NU di Bidang Sospol
Kalangan pesantren yang selama berkutat pada kitab-kitab kuning (turots) ternyata juga mulai melakukan kajian (halaqah) di bidang sosial politik seperti di Kota Probolinggo. Sekitar 50 gus dan ning dari kalangan pesantren mengikuti Halaqah Fikih Peradaban II bertajuk Ijtihad Ulama NU dalam Bidang Sosial Politik di Auditorium PP. Putri Raudlatul Muta’allimien, Wonoasih, Kota Probolinggo, Jumat, 22 Desember 2023.
Dua nara sumber, Dr H. Hasanuddin Ali (Wakil Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia/Lakspesdam PB NU, Jakarta) dan KH. Ulun Nuha (Pengurus Pusat Rabitatul Ma’hadid Islamiyah/RMI NU, Jakarta) pun memaparkan bagaimana ijtihad ulama NU di bidang sosial politik. Sebab diakui selama ini kalangan Nahdliyin (warga NU) masih tertinggal jauh di bidang sosial politik dibandingkan bidang agama.
“Bagaimana kita warga NU bisa menghadirkan orang-orang yang fasih di bidang teknokrat, sefasih kalangan pesantren di bidang agama,” kata KH Ulun. Sebab NU hadir untuk membersamai umat, yang tentu saja tidak hanya butuh masalah-masalah agama tetapi juga masalah-masalah lain seperti, sosial budaya hingga urusan politik praktis.
Dalam “diskusi melingkar” (halaqah), KH Ulun menceritakan kiprah NU yang berdiri pasca-runtuhnya Turki Utsmani pada 1923. “Setelah itu muncul Ibnu Saud dengan Wahabisme-nya di semenanjung Arab sebagai representasi Islam pada 1924. Untuk penyeimbang, ulama-ulama nusantara yang tergabung dalam Komite Hijaz mendatangi Ibnu Saud,” katanya.
NU yang berdiri pada 1926, kata KH Ulum, ingin menawarkan kepada dunia wajah Islam yang wasathiyah (moderat). “Bahkan pada Muktamar NU di Banjarmasin pada 1935, NU berfatwa Indonesia merupakan darul Islam (negeri Islam, damai) sebagai pembeda dengan darul harb (negara perang). Sebab umat Islam di Indonesia bisa menjalankan syariat Islam dengan baik,” paparnya.
Selain masalah-masalah agama yang biasa dibahas NU dalam Bahtsul Masa’il, Dr Hasanuddin Ali mengatakan, sudah saatnya NU juga memikirkan fikih peradaban. Hal itu sekaligus untuk menanggapi pertanyaan peserta halaqah yang menanyakan, apakah berpolitik praktis termasuk ibadah.
Dikatakan, sepanjang tujuan berpolitik untuk kemaslahatan umat tentu bernilai ibadah. Kaum muslimin sebaiknya juga sadar bahwa sendi-sendi kehidupan diatur oleh pemegang kuasa (politik).
Masih terkait pertanyaan peserta halaqah, perlunya pesantren mendapat bantuan operasional dari pemerintah terkait kesejahteraan santri, KH Uun sependapat. “Kemenkes pernah mengadakan penelitian khusus santri putri, ternyata 50-80 persen mereka kurang gizi,” katanya.
Terkait politik, Hasanuddin menganjurkan, kaum muslimin melek (mengerti) politik. “Sebab, banyak hal dalam kehidupan ini diputuskan melalui politik kekuasaan,” katanya menjawab wartawan usai halaqah.
Senada dengan Hasanuddin, KH Abdul Aziz, panitia halaqah mengatakan, kalangan pesantren perlu memahami politik praktis. Bahkan ia mendorong agar santri terjun sebagai politisi.
“Karena banyak keputusan penting dihasilkan oleh pemegang kekuasaan politik mulai, bagaimana jalan dibangun, harga-harga sembako, semuanya atas keputusan politik,” kata Dosen Komunikasi Politik Universitas Nurul Jadid Paiton itu.
Advertisement