Pesantren dan Tugas Keulamaan, Ini Wejangan Ketua Umum MUI Pusat
Surabaya: Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Dr (HC) KH Ma’ruf Amin berkesempatan memberikan penjelasan soal eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang telah lama membumi di wilayah Nusantara. Selain itu, juga soal tugas keulamaan yang harus diemban pada kiai dan ulama yang telah mengiringi kehidupan dan perjalanan bangsa ini.
Kiai Ma'ruf Amin cukup konsisten sikapnya dalam peduli terhadap masalah keumatan secara nyata. Ketika ada aksi demo umat Islam di Jakarta pada 29 September 2017, cicit Syaikh Nawawi Al-Bantani ini justru lebih memilih pada kegiatan yang berkait dengan pemberdayaan ekonomi umat di Lamongan. Aksi-aksi massa yang bersifat politis secara pelahan ditinggalkan agar energi umat tidak tercurah untuk kepentingan sesaat dan lebih mementingkan kebutuhan nyata umat dalam kehidupan sehari-hari.
Berikut poin penting dari pidato KH Ma’ruf Amin, yang juga Rais Am PBNU.
1. Tugas utama pesantren adalah i’dad-ul mutafaqqihina fid-din (menyiapkan generasi ulama yang memiliki kedalaman ilmu agama). Sebab, ilmu agama kelak akan diangkat oleh Allah dengan wafatnya para ulama. Ketika para ulama telah wafat dan tidak tersisa seorang pun dari mereka, maka masyarakat akan mengulama’kan orang-orang bodoh (juhhal) yang pada akhirnya akan sesat menyesatkan.
2. Tugas utama ulama adalah himayat-ud din, yaitu melindungi agama dari pengaruh-pengaruh al-‘aqaid al-fasidah (akidah sesat) dan al-afkar al-munharifah (pemikiran-pemikiran menyimpang, esktrem, dan radikal) yang membahayakan agama.
3. Pemikiran radikal yang harus diwaspadai ada dua macam, yaitu radikalisme agama dan radikalisme sekuler. Radikalisme agama adalah kelompok-kelompok yang memahami agama secara radikal. Mereka terbagi menjadi dua golongan, yaitu ithbatiyyun (ekstrem kanan) dan mutaghayyirun (ekstrem kiri). Yang pertama adalah golongan tekstualis yang rigid (kaku) dalam memahami agama sehingga mengabaikan subtansi (maqashid al-shari’ah) dari agama itu sendiri. Mereka menutup mata, sama sekali tidak mau berkompromi dengan problematika masyarakat yang terus berkembang (al-umur al-mustajaddah). Kebalikan dari yang pertama, golongan kedua (mutaghayyirun) memahami agama secara liberal, melampaui batasan-batasan yang ditentukan oleh syara’. Lantas, di mana posisi kita? Posisi kita harus ada di tengah (mutawassitun). La tekstualiyyun wa laa librariyyun, tidak tekstualis dan tidak pula liberal.
4. Tugas ulama lainnya adalah himayat-ud daulah (melindungi negara). Saat ini negara tidak hanya menghadapi ancaman dari kelompok-kelompok radikalis agama yang anti Pancasila, tapi juga kelompok-kelompok radikalis sekuler yang kehilangan semangat religiusitas (al-ruh al-diniyah) dalam bernegara. Mengutip pidato Hadratus Syaikh M. Hasyim Asy’ari, “ laqad dha’ufat al-ruh al-diniyyah fi al-‘alam al-siyasi fi al-ayyam al-akhirah”, sungguh telah melemah semangat keagamaan di dunia politik dewasa ini. Kita patut bersyukur, Indonesia memiliki UU Penodaan Agama. Sebagian kalangan menghendaki dihapusnya UU tersebut, karena rawan kriminalisasi. Seharusnya tidak demikian, karena yang kriminal bukanlah undang-undangnya, tapi orangnya. Selama kita tidak berbuat kriminal, maka tidak perlu takut dengan undang-undang tersebut. Kita juga patut bersyukur dengan disahkannya Perppu Ormasy yang berimplikasi pada dibubarkannya kelompok anti-Pancasila (HTI) yang dapat mengancam keutuhan bangsa dan negara.
5. Untuk menghidupkan kembali semangat keagamaan (al-ruh al-diniyah) dan kebangsaan, Rais Am bersama Presiden akan membentuk Majlis Dzikir Hubbul Wathon yang secara rutin akan digelar di Istana Negara.
6. Tugas ulama yang berikutnya adalah islah al-ummah (melakukan perbaikan umat). Sebagai rijal al-islah (aktor-aktor perbaikan), ulama seyogyanya tidak hanya berpedoman pada kaidah al-muhafadhah ala al-qadim al-salih wa al-akhdzu bi al-jadid al-aslah (memelihara tradisi lama yang baik dan mengadopsi tradisi baru yang lebih baik), tapi juga islahu ma huwa al-aslah fa al-aslah tsumma al-aslah (memperbaiki apa yang sudah baik agar menjadi lebih baik, lalu menjadi lebih baik lagi, dan seterusnya).
Semoga kita, orang-orang pesantren, mampu mengemban amanah sebagaimana ditegaskan Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin, yang Ketua Umum Majelis Ulama Indonesiaz (MUI) Pusat. Pidato ini dielaborasi dari kegiatan di Lamongan itu,diperkasa dari sambutan pada acara al-Haflatul Kubro (23/7/2017) di Ponpes Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, dihadiri KH Maimun Zubair (Mustasyar PBNU), Tuan Guru Zainul Majdi (Gubernur NTB, doktor lulusan al Azhar Mesir) dan banyak Kiai lainnya. Semoga bermanfaat. Wallahu ‘alam. (adi)