Pesantren dan Sekolah, Apakah Sama? Ini Tiga Hal Kritik Kiai Muda
Di masa pandemi Covid-19 banyak hal berubah. Dunia pendidikan pun harus menyesuaikan diri agar tetap proses belajar mengajar berjalan. Dengan proses pendidikan daring atau virtual, setidaknya menjadi bagian penting dalam proses belajar mengajar di masa kini.
Dunia pendidikan di Indonesia, dalam sejarah dan faktanya, tak hanya di sekolah. Pesantren, misalnya, mempunyai sejarah panjang dalam dunia pendidikan di Nusantara. Lalu, bagaimana kita menyikapi sekolah dan pesantren?
Mohammad Nailur Rochman, kiai muda dari Pesantren Salafiyah Pasuruan dan Perguruan Bayt Al-Hikmah, Kota Pasuruan, menyampai kritiknya tentang "Pesantren dan Sekolah, Apakah Sama?"
Berikut pandangan Gus Amak, panggilan akrab Mohammad Nailur Rochman, yang juga Ketua PCNU Kota Pasuruan, dipetik dari akun facebooknya:
Ada beberapa hal yang mendasari tulisan ini:
Pertama, mewabahnya Corona memaksa lembaga pendidikan untuk merumuskan cara baru dalam menyelenggarakan proses pendidikan. Online learning mencuat karena dianggap sebagai solusi pendidikan yang paling memungkinkan di tengah pandemi seperti saat ini.
Maka kemudian muncul regulasi agar sekolah-sekolah menyelenggarakan pendidikan tanpa tatap muka (belajar dari rumah). Meski kita harus sadar, bahwa masih banyak dari kita yang belum terbiasa dengan budaya belajar secara daring. Baik itu gurunya, muridnya dan orangtuanya.
Kedua, ada persepsi sebagian orangtua yang menganggap bahwa pesantren itu sama saja dengan sekolah. Sebagian orangtua menganggap bahwa pesantren harusnya tidak memanggil santrinya untuk kembali.
Ketika kondisi wabah masih belum menurun atau berakhir, sebagian orangtua khawatir akan keselamatan putra-putrinya jika berangkat ke pondok dan lebih memilih adanya pembelajaran online, sekalipun di rumah juga tidak ada jaminan bahwa si anak akan disiplin belajar, tetap di rumah saja, tidak berinteraksi dengan orang lain, tidak pergi ke pusat wisata atau perbelanjaan (mall).
Ketiga, adanya anggapan bahwa pesantren tidak bisa memberi garansi bahwa para santri tidak akan terpapar virus Corona, meskipun pesantren sudah berupaya maksimal untuk mematuhi semua protokol yang ada. Mereka memilih menunda untuk kembali ke pondok pesantren dan mengutamakan pelayanan e-learning.
Di sekolah dan di tempat pendidikan yang lain pun sebenarnya sama, tidak ada garansi. Siapa yang bisa memberi garansi? Siapa yang bisa memprediksi kapan wabah ini berakhir? Belum ada yang berani memastikan.
Terlebih lagi setelah diberlakukannya New Normal, apakah masyarakat semakin patuh pada protokol, tetap di rumah atau semakin berkeliaran di luar rumah? Mengapa jumlah kasus meningkat drastis pasca-New Normal?
Pondok Pesantren itu memiliki beberapa hal yang berbeda, bahkan sangat berbeda dengan sekolah. Mondok bukan sekadar sekolah, mondok itu lebih daripada sekolah. Pondok Pesantren membina jiwa dan raga, menjaga kesehatan rohani tidak hanya jasmani.
Pondok Pesantren memiliki pola pengasuhan yang belum tentu bisa dilakukan oleh orangtua di rumah. Lihat saja sekarang, kemana anak-anak itu? Apa yang mereka lakukan selama di rumah? Apakah semakin positif dan produktif?
Bagi yang pernah merasakan mondok, menyamakan pondok pesantren dengan sekolah adalah tidak tepat, it's not apple to apple. Di pondok, tidak hanya akal yang diasah tapi juga mental dan tawakkal yang dipertebal. Tidak hanya pengetahuan yang diajarkan, tapi juga ilmu yang diamalkan dan akhlak baik sehari-hari yang dibiasakan.
Yang menarik, sebagian Pondok Pesantren juga memiliki kemampuan untuk mengkarantina lingkungannya agar tidak tercampur dengan pihak luar. Jadi jika ditanyakan, mana lembaga pendidikan yang bisa memberlakukan karantina? Jawabannya adalah pondok pesantren.
Karena sekali santri masuk dalam keadaan sehat dan dikawal dengan karantina mandiri di pesantren, maka jika tidak ditemukan gejala apa-apa selama 14 hari atau 1 bulan, mereka bisa dikatakan aman dan bisa hidup normal seperti sedia kala. Tinggal bagaimana membatasi interaksi yang datang dari luar area pesantren.
Itulah kenapa para pengasuh pondok pesantren tetap memanggil santrinya untuk kembali. Pemerintah pun juga memikirkan bagaimana keberlangsungan pendidikan di pesantren. Mereka sadar betul peran pesantren begitu besar dan penting. Anak yang pintar dan kaya belum tentu bermanfaat bagi orangtua, tapi anak yang sholeh pasti bermanfaat untuk orangtua, bahkan ketika orangtua sudah meninggal dunia.
Alhamdulillah, Gubernur Jawa Timur (Khofifah Indar Parawansa, Red) diikuti oleh para kepala daerah dan kemenag telah mempersilahkan pesantren untuk masuk kembali mulai tanggal 15 Juni 2020.
Jangan sampai karena efek pandemi kita menjadi lupa diri, menjadi tidak sadar bahwa hidup ada Sang Pengendali. Lebih bahaya lagi jika sampai menjadi frustasi dan buta mata hati.
Aturan dan protokol adalah bentuk ikhtiar (akal) yang harus kita patuhi, doa dan berharap kepada Allah wajib kita lakukan sebagai bentuk pasrah (tawakkal) seorang hamba kepada sang Pencipta yang Maha Melindungi dan Menyayangi.
Tulisan ini hanya untuk memberikan sedikit pertimbangan, agar kita tetap memiliki kesadaran dan keyakinan. Saya sangat menghormati rasa kekhawatiran orangtua, dan saya menghargai keputusan orangtua. Maturnuwun...
Advertisement