Pesantren Benteng Islam-Patriotisme
Oleh: Akhmad Zaini
Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) adalah perang terdahsyat yang dihadapi pemerintah Belanda selama menjajah Indonesia. Gara-gara perang ini, kas keuangan negara Belanda babak belur. Hampir kosong!
Diponegoro adalah seorang pangeran, bangsawan keraton yang menjadi santri. Beliau adalah santri dari Kiai Hasan Basari Tegalsari, Jetis, Ponorogo. Perang yang dipimpinnya adalah perang suci. Perang untuk melawan penjajah yang kafir.
Islam menjadi energi yang luar besar bagi Diponegoro dan pasukannya. Belanda yang memiliki persenjataan modern kalang kabut dibuatnya. Diponegoro akhirnya terkalahkan dengan tipu daya Belanda yang licik.
Perang Jawa yang begitu dahsyat dan berlangsung selama 5 tahun itu padam. Sang pemimpin (Pangeran Diponegoro), ditangkap dan diasingkan. Pasukan yang mayoritas didominasi para kiai, bagai ayam kehilangan induk. Mereka semburat menyelamatkan diri ke hutan-hutan dan pelosok-pelosok kampung yang jauh dari perkotaan.
Di daerah-daerah terpencil tempat mereka menyelamatkan diri dari kejaran Belanda, mereka tetap bergerak mengobarkan api perlawanan. Rakyat pun dididik di pesantren-pesantren yang mereka dirikan. Selain materi agama, materi tentang patriotisme (anti penjajah yang kafir) terus dikembangkan.
Meski tersebar di berbagai pelosok yang terpisah, para kiai eks combatan pasukan Diponegoro itu masih mengikat diri dalam jaringan rahasia. Mereka membuat sandi yang berupa pohon sawo. Rumah atau pesantren yang mereka dirikan, di depannya ditanami pohon sawo. Sebagai penanda bahwa mereka adalah eks pasukan Diponegoro.
Pohon sawo ini adalah “media group” yang menjadikan mereka tetap terhubung satu dan lainnya. Puluhan tahun, gerakan rahasia ini berjalan efektif. Mereka terus menjalin komunikasi satu dan lainnya. Api perlawanan terhadap penjajah yang kafir terus mereka kobarkan. Semangat itu, juga diwariskan kepada para santri yang mereka didik.
Strategi mereka berhasil. Belanda tidak bisa mendeteksi gerakan mereka. Di pelosok-pelosok, para kiai itu menjaga Islam sebagai agama peninggalan walisanga dari gempuran kristenisasi yang dilakukan Belanda dan budaya barat yang mulai diusung ke Indonesia pada awal abad 20.
Namun sayang, gerakan mereka menjaga Islam dan api patriotisme di pedalaman itu, tidak dipahami, bahkan disalahpahami oleh para pembaharu Islam (modernis) yang mulai muncul pada awal abad 20. Keterputusan mereka dari dunia luar dan medernitas yang dikenalkan pemerintah Belanda, menjadikan mereka disemati label “tradisional”.
Kaum modernis kurang menyadari, bahwa kondisi itu adalah konsekuensi yang harus dibayar kalangan tradisionalis ketika mereka harus menyelamatkan Islam dan api patriotisme.
Sebutan tradisional disandangkan sebagai label yang berkonotasi negatif. Kurang empati. Praktek keagamaan mereka pun dianggap penuh khurafat, bi’ah dan kemusyrikan yang harus diperangi. Dalam percaturan politik melawan penjajah, mereka selalu disepelekan.
Keputusan-keputusan penting yang mengatasnamakan umat Islam, sering mengabaikan aspirasi dari kelompok ini. Mereka hanya dieksploitasi ketika kondisi benar-benar genting. Setelah situasi membaik, “kaum tradisional” itu kembali ditinggalkan.
Ironis! Daliar Noer, yang menulis buku, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, kian mengabadikan persepsi yang kurang baik itu. Daliar Noer yang memang tidak berlatar belakang santri, lebih fokus kepada gerakan pembaharuan dan hambatan yang dihadapinya. Dan, kaum tradisionalis diposisikan sebagai pihak tertuduh.
Daliar Noer tidak mampu memotret bahwa “kekolotan, ketertinggalan dan ketradisionalan” kalangan pesantren itu, adalah buah dari pilihan mereka untuk menjaga Islam dan merawat api perlawanan. Namun demikian, lumayan, di bagian akhir Bab Pendahuluan, Daliar mengakui kalau pesantren, masjid dan surau tradisonal adalah benteng pertahanan bangsa Indonesia dalam menghadapi penjajahan. Hanya, bersamaan itu, dia menyampaikan keraguannya soal kemampuan kaum tradisionalis menghadapi kolonialisme. Dari sinilah, dia melirik kaum pembaharu (modernis) yang dianggap lebih memiliki kemampuan.
Tentu, Daliar Noer tidak sepenuhnya salah. Namun, terasa kurang fair. Seyogiyanyalah bila dia tetap memberi apresiasi kepada kaum tradisional. Paling tidak, melihat kelompok tradisionalis sebagai aset atau potensi besar yang bisa dioptimalkan perannya. Dengan segala kekurangannya, kelompok tradisional bisa menjelma menjadi kekuatan besar bila dipadukan (diajak kerjasama) oleh kaum pembaharu (modernis).
Dengan mengutip dari Notosoetardjo, peneliti NU, Laode Ida dalam bukunya “Anatomi Konflik (NU, Elit Islam dan Negara)” hal. 9 mengungkapkan, para ulama (pesantren) ini memang sejak awal mengambil lokasi di pedesaan, atau tempat yang jauh dari pusat-pusat perkotaan. Motivasi dari langkah itu, ada dua hal yang saling berkaitan.
Pertama, berdimensi agama. Yaitu berupaya membendung pengaruh peradaban Kristen yang dibawa sebagai misi tersembunyi (hidden mission) dari kalangan penjajah yang berdomisili di perkotaan. Apa yang disampaikan Laode ini, tentu dengan mudah dipahami. Sudah populer diketahui ketika melakukan penjajahan bangsa barat membawa tiga misi penting yang diistilahkan “3 G”. Yakni, Gold (mengeruk kekayaan), Glory (meraih kejayaan) dan Gospel (menyebarkan agama Kristen).
Dengan berada di kampung-kampung yang jauh dari kota, para kiai pesantren yang di kemudian hari mengihimpun diri dalam wadah NU bisa dengan tenang menjaga masyarakat agar tidak terkena pengaruh proses kristenisasi dan juga westernisasi. Di kampung-kampung, para kiai membentuk jamaah tahlilan, yasinan, dhibaan dan lain sebagainya. Juga jamaah-jamaah tarekat.
Melalui wadah-wadah itu, para kiai berhasil membuat sosial-sosial group yang solid. Di wadah-wadah itu pula, para kiai mengajarkan agama Islam, menanamkan semangat anti penjajah (anti orang kafir) dan anti budaya barat. Dari sini, warga desa memiliki imunitas dan daya tolak tinggi atas agama baru dan budaya baru yang dibawa kaum penjajah.
Daliar Noer mengakui bahwa jamaah-jamaah yang diasuh para kiai di kampung-kampung itu menjadi benteng pertahanan umat Islam. Belanda mengalami kesulitan luar untuk menembus mereka. Para kiai menjadi sosok yang sangat ditaati dan dihormati oleh jamaahnya. Khususnya, kiai yang juga sekaligus berposisi sebagai mursyid tarekat.
Daliar memperkuat tesisnya dengan mengutip pernyataan Snouck Hurgronje yang mengatakan, “….syaikh dan pengikut-pengikutnya itu merupakan musuh-musuh yang sangat berbahaya bagi kekuasaan Belanda…”
Dari fakta ini, saya berkeyakinan bahwa utuhnya agama Islam di nusantara sebagai agama mayoritas mesti mengalami penjajahan selama 3.5 abad, tidak lepas dari gerakan kultural para kiai pesantren itu. Jika asumsi saya ini benar, maka selayaknya umat Islam Indonesia—termasuk kelompok modernis-- melihat secara positif fakta sejarah itu. Ternyata, ada hikmah besar di balik “ketradisionalan” itu.
Kedua, berdimensi Pendidikan politik. Di mana, pondok-pondok pesantren dijadikan sebagai basis pertahanan terakhir. Di mana, di dalam pesantren itu, para santri dididik untuk memiliki sikap cinta tanah air dan anti penjajah yang kafir.
Lagu cinta tanah air yang sangat patriotik, “Ya Lal Wathon” (aslinya: Syair Syubbanul Wathon, Red) yang dikarang pada 1934, dibuat oleh pengarangnya (KH Wahab Hasbullah) dalam bentuk bahasa Arab. Ternyata, hal itu dimaksudkan untuk kepentingan penyamaran. Dengan menggunakan Bahasa Arab, syair lagu itu hanya akan dipahami oleh para santri. Sementara Belanda tidak memahaminya. (bersambung)
Akhmad Zaini
Mantan jurnalis, kini menjadi pendidik di IAINU Tuban.
Advertisement