Pesan Politik NU
NU bukan partai politik. Tapi sikap politiknya selalu menjadi variabel dalam setiap momen politik yang menentukan masa depan bangsa ini. Itu terjadi sejak NU berdiri sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbentuk.
Jumlah warganya yang besar menjadi salah satu faktor. Ikatan pemimpin NU dengan jamaahnya menjadi faktor lain. Ikatan yang bersifat kultural itulah yang menjadikan NU eksis hingga sekarang. Pandangan agamanya cocok dengan sosiografis bangsa Indonesia.
Kekuatan kultural NU yang melebihi kekuatan organisasinya itu menjadi kelebihan sekaligus kekurangan. Kelebihan yang disebut diatas tak sekaligus mewujud ke dalam kekuatan politik. Persepsi tokoh politik bahwa NU gampang dipecahbelah masih sangat kuat.
Akibatnya, kekuatan politik dan ekonomi NU dianggap tak sebanding dengan besarnya anggota dan kekuatan kultural lainnya. Setiap momen politik, NU selalu menjadi obyek kelompok politik strategis untuk dipecahbelah demi kepentingan masing-masing. Akibatnya, bargaining power secara kelembagaan menjadi rendah.
Gus Yahya –demikian ia biasa dipanggil– sejak awal menyadarinya. Karena itu, ia menyodorkan perlunya menjamiyahkan jamaah NU. Dengan membentuk Govern NU, pemerintahan NU. Melakukan transformasi kekuatan jamaah menjadi kekuatan jamiyah. Mandat jamaah harus dianggap sebagai amanah untuk menjadikan maslahat jamiyah kepada jamaah.
Cara pandang lama yang menjadikan kebesaran NU sebagai semata-mata aset harus digeser. Aset itu diserahkan kepada Jamiyah untuk dikelola. Maslahatnya harus kembali kepada jamaah. Gus Yahya tidak ingin aset itu hanya dimanfaatkan atau dimonetisasi alias sumber keuangan pribadi-pribadi.
Ini yang tampaknya sedang diubah oleh kepemimpinan PBNU sekarang. Ada rule dan fatsoen baru yang dibangun untuk menjaga marwah politik NU. Jika sejak terbentuknya PBNU hasil Muktamar Lampung banyak surat peringatan (SP) dilayangkan ke PWNU dan PCNU yang tidak disiplin, itu adalah bagian dari perubahan besar tersebut.
Sekarang ini adalah momen ujian bagi kepemimpinan baru PBNU. Namun, jika melihat soliditas yang dibangun dalam setahun kepemimpinannya, arah menuju perubahan tersebut telah menampakan hasil. Hal itu terlihat dari solidnya Gus Yahya sebagai Ketua Umum dan KH Miftahul Ahyar sebagai Rais Aam PBNU hasil Muktamar Lampung.
Kedua pimpinan puncak itu selalu searah dan sejalan dalam setiap kebijakan organisasi. Bahkan, keduanya saling mendukung satu sama lain. Boleh dibilang, keduanya bisa disebut sebagai dwi tunggal kepemimpinan NU dalam memasuki abad kedua keberadaan ormas Islam terbesar di dunia ini.
Lihatlah pidato Rais Aam dan Ketua Umum PBNU dalam Halal Bi Halal yang diikuti PWNU seluruh Indonesia di Semarang, Ahad 14 Mei 2023, kemarin. Baik Rais Aam maupun Ketum PBNU saling melengkapi dan menggarisbawahi arah baru NU dalam menghadapi momentum penting pergantian kepemimpinan nasional 2024.
“Sebetulnya sudah cukup paparan yang disampaikan Ketua Umum kita. Karena memang kendali program dan teknis kita serahkan kepada Ketum Tanfidziyah dan semua jajarannya. Syuriah hanya tukang ngincengi (mengintip, red) saja,” kata Kiai Mif –demikian ia biasa dipanggil– dalam sambutannya setelah Gus Yahya.
Toh demikian, ada pesan tegas yang ditekankan. Ia minta seluruh jajaran NU berada dalam satu komando. “Nantikan komando dan instruksi dari PBNU. Jangan bergerak bila tak ada instruksi. Jangan buka lapak sendiri-sendiri. Kita punya komitmen hanya untuk membangun dunia. Bukan ingin ikut-ikutan dalam pileg, pilpres, dan sebagainya,” tegasnya.
Pesan tegas Rais Aam itu dipertegas lagi Gus Yahya saat berdialog dengan Ketua PWNU se Indonesia. Dikatakan bahwa kepentingan politik NU itu adalah keselamatan dan kesatuan bangsa. Ketika ditanya apa arahan PBNU tentang politik ke depan, ia menyatakan NU bukan parpol. Karena itu, jangan tanya calon presiden ke NU.
Ia mengatahui ada gerakan yang mendorong NU untuk turut serta dalam pencalonan presiden maupun wakil presiden. Bahkan sampai ada yang mendemo agar NU mencalonkan presiden atau wapres yang asli NU. “Lho ukurannya NU asli itu bagaimana? Apa yang asli itu harus Gus? …Kita tidak perlu mengukur NU asli atau tidak,” katanya serius.
Nah yang dilakukan NU sekarang, lanjut Gus Yahya, adalah melakukan konsolidasi jangan sampai warga NU khususnya dan masyarakat pada umumnya terpecah belah gara-gara politik. Ia tampaknya ingin agar pengalaman dalam setiap perhelatan politik nasional yang memecahbelah warga NU di masa lalu tidak terjadi lagi.
“Yang terpenting saat ini, kita menjaga keselamatan dan keutuhan bangsa Indonesia. Tentu saja, sambil waspada. Kalau pada suatu titik diperlukan, ya kita bertindak. Apa boleh buat. Saat diperlukan, siap bertindak, siap bertindak, siap bertindak. Itu NU,” katanya penuh semangat.
KONSTRUKSI BARU
Meski baru satu tahun memimpin NU, berbagai langkah konsolidasi PBNU telah menunjukkan pergeseran konstruksi politik NU yang baru. Ada mekanisme baru organisasi yang dibikin untuk mengkonsolidasikan jamiyah dari tingkat atas sampai kepada grassroot.
Perubahan ini seharusnya menjadi bacaan elit-elit partai politik yang memperebutkan suara demi kepentingan pemilihan presiden maupun legislatif. Secara politik, NU tegas tak akan ikut politik praktis. Iru diperkuat dengan larangan mandataris pemimpin NU –Rais Aam dan wakilnya serta Ketum dan Waketum– terlibat dalam partai politik.
Konstruksi baru tentang organisasi alias jamiyah NU ini terus diperkuat melalui mekanisme dan ketegasan sesuai dengan AD/ART. Langkah membangun kultur baru organisasi sesuai dengan kultur modern ini terus dilakukan. Tidak hanya dalam kaitannya menjaga keutuhan NU dari goncangan politik, tapi juga dalam rangka menjadikan maslahat jamiyah bagi seluruh jamaah.
Saya mengikuti berbagai generasi kepemimpinan NU sejak Muktamar ke 28 di Krapyak, Yogyakarta,1989. Di saat NU dalam posisi disingkirkan dari sumberdaya kekuasaan. Di saat NU dipimpin oleh para kiai muhlisin dan sosiografis warganya yang jauh tertinggal dari sekarang. Belum banyak lapis kelas menengah NU seperti sekarang.
Meski demikian, sejarah telah menbuktikan bahwa NU tidak pernah berhasil dipinggirkan. Bahkan, kini makin membesar dari sisi jamaah. Juga struktur sosial warga NU makin meluas. Tidak hanya mereka yang bersumber dari tradisi pesantren, tetapi juga dari basis sosial lainnya. Sejarah membuktikan NU bisa bertahan dalam posisi apa saja. Saat berada di lingkar kekuasaan maupun saat di luar.
Tampaknya perlu pendekatan baru dari kelompok politik strategis untuk mendapatkan dukungan politik NU. Tidak gampang untuk menkoyak-koyak NU dengan mengabaikan NU sebagai jamiyah. Konsolidasi pengurus NU yang dikemas dalam halal bi halal di Semarang adalah “kode keras” agar kelompok politik strategis di negeri ini tidak memandang enteng kepemimpinan NU sekarang.
Advertisement