Pesan Penyintas COVID-19: Jalankan Prokes, Jangan Sampai Tertular
Sejak anggota keluarganya tertular COVID-19, Alita sudah berusaha agar sampai jangan tertular. Alita berusaha sekuat tenaga agar tak tertular karena dia paham akan menjadi orang yang paling sibuk mengurusi anggota keluarganya yang sakit.
Apalagi, yang terinfeksi COVID-19 hampir semua anggota keluarganya. Mulai ibu, kakak dan sepupunya semuanya sakit. Ibu dan sepupunya saat itu menjalani isolasi mandiri di rumah. Sedangkan kakaknya harus menjalani perawatan di rumah sakit karena mengalami sesak napas.
Alita sadar, dia tak boleh sampai tertular karena akan menjadi tulang punggung untuk mencukupi semua kebutuhan mereka. Mulai menyediakan makanan hingga membelikan vitamin dan obat-obatan.
Begitu tahu anggota keluarganya ada yang tertular, sebenarnya Alita sudah berusaha untuk tak tertular dengan cara mencari tempat tinggal yang agak berjauhan. Alita kemudian memutuskan untuk kost yang jaraknya hanya beberapa rumah dari tempat tinggalnya. Dengan begitu, dia masih tetap bisa memantau keluarganya yang menjalani isolasi mandiri di rumah.
Namun, di saat anggota keluarganya sudah sembuh giliran Alita yang tertular COVID-19. Gejalanya sebenarnya sepele. Alita hanya batuk-batuk. Dia kemudian memeriksakan batuknya di puskesmas terdekat. Setelah dilakukan swab test dengan menggunakan PCR, Alita ternyata tertular COVID-19.
Beda dengan sebelumnya, Alita ternyata tak disarankan untuk menjalani isolasi mandiri di rumah. Dokter puskesmas minta Alita untuk menjalani karantina di Asrama Haji Sukolilo Surabaya yang dikelola oleh pemkot. Akhirnya Alita pun berangkat ke Asrama Haji Sukolilo pada 18 Juli yang lalu.
"Saat akan masuk ke Asrama Haji, disuruh datang ke puskesmas. Aku pikir akan diangkut dengan ambulans. Ternyata dinaikkan ke mobil patroli Satpol PP. Duduk di belakang bersama petugas," kata Alita sambil tertawa.
Sepanjang perjalanan, Alita merasa para pengguna jalan yang lain selalu melihat ke arahnya. Apalagi dia perempuan sendiri di belakang. Sedangkan penumpang lainnya adalah petugas Satpol PP pria.
"Sepanjang perjalanan diliatin orang-orang. Mereka mungkin mengira ada Pekerja Seks Komersial (PSK) yang lagi kena garuk petugas," kata Alita sambil tertawa renyah.
Alita akhirnya harus menjalani karantina di Asrama Haji Sukolilo selama sembilan hari. Menjalani karantina tentu tak senyaman berada di rumah sendiri apalagi dalam kondisi sehat. Tapi beruntung, banyak teman dan saudara yang banyak memberikan dukungan. Apalagi keinginan untuk cepat sembuh menjadi penguat Alita.
"Banyak teman dan saudara yang kirim-kirim makanan selama karantina. Kadang merasa aneh dengan menu nasi kotak yang disediakan. Menunya tak matching," ujar Alita yang juga sarjana boga ini.
Oleh karena itu, Alita berpesan agar tetap menjaga protokol kesehatan dengan cara menjalankan 5M dan mau divaksin.
"Jangan sampai tertular, karena tertular itu tak enak dan merepotkan banyak orang," ujarnya.
***
Menjalani karantina di rumah atau isolasi mandiri sebenarnya juga tak enak. Sebut saja Ary berbagi cerita saat terinfeksi COVID-19.
Awal bulan Juli, suaminya dideteksi tertular COVID-19. Beruntung suaminya hanya mengalami gejala ringan seperti demam dan sakit kepala. Kehilangan indera penciuman apalagi sampai sesak napas tak dialami suaminya.
Namun, meski suaminya hanya gejala ringan, Ary tak ingin menyepelekan kondisi suaminya itu. Dia ingin tetap memantau kondisi suaminya.
Karena alasan itu, dia enggan untuk "menjauh" dari suaminya agar tak tertular. Bisa diduga, Ary pun kemudian tertular. Akhirnya mereka berdua menjalani isolasi mandiri bersama di rumah.
Selama menjalani isolasi mandiri itu, Ary merasa mobilitasnya sangat terbatasi. Dia tak bisa keluar rumah untuk membeli kebutuhan. Padahal dia merasa sehat-sehat saja.
"Pesan makanan di aplikasi menunya juga itu-itu saja. Belum lagi harganya mahal," ujarnya.
Tak heran jika kemudian selama menjalani isolasi mandiri di rumah pengeluaran bulanan menjadi membengkak. Padahal, mereka hanya menjalani isolasi mandiri sekitar 14 hari saja.
"Jadi kasihan kalau yang isolasi mandiri adalah keluarga kurang mampu. Butuh dukungan dari orang-orang sekitar untuk menjalani isolasi mandiri," ujarnya.
Namun, kini warga Surabaya beruntung. Walikota Surabaya Eri Cahyadi tak menyarankan warganya untuk isolasi mandiri di rumah. Tujuannya utamanya agar jangan sampai ada pasien yang tidak tertangani dengan tepat karena menjalani isolasi mandiri di rumah. Alhasil, tak sedikit kasus kematian yang terjadi ketika isolasi mandiri.
"Saya berharap warga Surabaya kalau ada sakit sedikit, flu, batuk, pilek langsung ke Puskesmas untuk swab, karena Covid-19 bukan aib tapi penyakit yang bisa disembuhkan. Kalau takut tidak mau diswab karena malu positif Covid-19, akhirnya Surabaya kasusnya nambah terus. Kalau nambah terus, kapan ekonominya Surabaya akan bergerak," ungkap Eri saat ditemui di Balai Kota, Surabaya, Rabu 21 Juli 2021 lalu.
Kebijakan ini setidaknya akan membantu keluarga yang tertular COVID-19. Di saat rumah sakit penuh, mereka tak perlu lagi isolasi mandiri di rumah. Pemerintah Kota Surabaya menyediakan tempat karantina di sekitar warga seperti kantor kelurahan atau sekolahan.
Tapi bagaimana pun, meski tempat karantina banyak tersedia di Surabaya, tak tertular COVID-19 dan tetap sehat tetap paling utama. Makanya, jalankan prokes agar tak tertular.