Pesan Kartini, Perempuan Soko Guru Peradaban
Peringatan tanggal lahir Raden Ajeng Kartini (1879-1904) bukan sekadar mengenang Kartini sebagai manusia dan tokoh sejarah. Substansinya, sejauh mana kita memetik pelajaran dari cita-cita perjuangan Kartini.
Dalam kultur masyarakat bumi putera di masa kolonial yang diwarnai penindasan dari bangsa sendiri maupun bangsa asing, Kartini yang berasal dari kalangan bangsawan Jawa melakukan perlawanan terhadap feodalisme. Ia menentang kultur yang tidak membolehkan anak perempuan dari kalangan rakyat jelata bersekolah dan menduduki jabatan di dalam masyarakat.
Perjalanan hidup Kartini yang merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosrodiningrat, Bupati Jepara, cukup singkat. Kartini wafat tahun 1904 pada usia 25 tahun. Setahun sebelum tutup usia Kartini membuka Sekolah Gadis Jawa di Jepara.
Ia tidak sempat menyiapkan kader-kader penerus perjuangan secara langsung, tapi cita-cita emansipasi yang ditaburkan terus berkembang sepeninggalnya. Karenanya di mana-mana didirikan Sekolah Kartini untuk menghargai jasanya dan tanggal lahirnya diperingati sebagai Hari Kartini.
Dalam hidupnya yang merasa di dalam kurungan, Kartini merenungkan nasib kaumnya dengan membaca buku-buku, menulis, melakukan korespondensi dan menemukan pribadinya. Sebagaimana tercermin dari catatan pribadi dan surat-suratnya, ia mengecam pergaulan diskriminatif antara kaum bangsawan dan rakyat jelata.
Salah satu curahan hatinya yang memancarkan rasa putus asa sebagai pribadi yang ingin bebas dari kurungan tradisi, Kartini memandang lebih baik mati daripada harus hidup di dalam sangkar emas.
Renungan dan cita-cita yang bergelora dalam dirinya tertuang di dalam surat-surat pribadi Kartini kepada kenalan dan sahabat pena-nya, orang Belanda di luar negeri, seperti Tuan E.C. Abendanon, Ny. M.C.E. Ovink-Soer, Zeehandelaar, Prof. Dr. G.K. Anton dan Ny, Tuan H.H. von Kol, dan Ny. H.G. de Booij-Boissevain.
Kumpulan surat-surat Kartini diterbitkan di Negeri Belanda tahun 1911 oleh Mr. J.H. Abendanon berjudul Door Duisternis tot Licht. Kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia tahun 1922 oleh Armjn Pane, sastrawan pujangga baru, dengan judul: Habis Gelap Terbitlah Terang.
Kartini mendambakan bumi putera, khususnya kaum perempuan terbebas dari kebodohan, keterbelakangan dan kurungan tradisi yang berlawanan dengan semangat kemajuan. Kartini bahkan juga mengingatkan kesengsaraan negeri bila dilanda minuman keras dan candu.
Kartini pernah bertemu dan berdialog dengan K.H. Sholeh Darat dari Semarang, yang merupakan guru dari Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asyari dan K.H. Ahmad Dahlan, dua pemimpin-pendiri ormas Islam terbesar yaitu Nadhlatul Ulama (1926) dan Muhammadiyah (1912). Pengaruh Islam sebagai pendobrak tradisi dan kultur masyarakat feodal mewarnai reformasi pemikiran keagamaan di masa itu.
Prof. Dr. Hamka dalam kutipan Solichin Salam pada buku Kartini Dalam Sejarah Nasional Indonesia (1983) menulis, "Saya melihat dalam salah satu suratnya Kartini, dia mengatakan tetap senang dengan Islam, dan tidak akan pindah memeluk agama lain. Jadi meskipun di situ dalam karangannya jelas beliau itu tidak penuh pengetahuannya tentang Islam, tetapi menunjukkan bahwa beliau cinta kepada Islam".
Kartini bukan satu-satunya tokoh perempuan yang punya ide brilian dan mengisi tempat penting dalam sejarah perjuangan bangsa. Selain Kartini, terdapat sejumlah tokoh pejuang perempuan lainnya, seperti Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Laksamana Keumalahayati, Rohana Kudus, Siti Manggopoh, Nyi Ageng Serang, Nyai Ahmad Dahlan, Dewi Sartika, Ny. Walandouw Maramis, Christina Martha Tiahohu, Rahmah El Yunusiyyah, Rasuna Said, Rasimah Ismail, dan lain-lain.
Di antara tokoh pelopor kemajuan perempuan, Kartini diakui sebagai simbol emansipasi. Kartini dipandang istimewa karena latar belakangnya adalah bangsawan. Kepeloporannya ialah melawan tradisi dan kultur masyarakat di sangkar emas budaya ningrat Jawa.
Perjuangan emansipasi perempuan di Tanah Air tidak seradikal di negara-negara Barat yang menganut paham sekuler. Hal itu karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang agamis, di mana ajaran agama menjadi inspirasi pemuliaan martabat perempuan.
Pendidikan anak perempuan tidak pernah diharamkan dalam agama, kecuali adanya pemahaman kolot sebagian pemuka agama. Perempuan yang berpendidikan dan berkemajuan justru menentukan kualitas keluarga dan masyarakat. Ada sebuah ungkapan, "Perempuan tiang negara. Jika perempuannya baik, maka baiklah negara, dan jika perempuannya rusak, maka rusaklah negara".
Sejalan dengan ungkapan di atas, Sayid Muhammad Shadieq Hasan Khan, cendekiawan muslim asal Pakistan mengemukakan, pegangan paling kuat bagi emansipasi wanita atau perempuan ialah agama Islam dan pokok-pokok ajarannya termaktub di dalam Al Quran dan Hadis Nabi.
Seiring perubahan masyarakat di era keterbukaan informasi dan revolusi industri, yang perlu dijaga ialah keseimbangan peran perempuan yang tidak melemahkan ketahanan keluarga sebagai fondasi kehidupan masyarakat. Jika keluarga goyah dan rapuh, masyarakat dan bangsa akan ikut goyah dan rapuh pula.
Cita-cita perjuangan Kartini yang moderat (jalan tengah) tidak menginginkan perempuan meninggalkan keluarga atau urusan domestiknya karena mengejar karir di luar rumah, atau sebaliknya. Hak-hak perempuan haruslah seimbang dengan kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan.
Dalam surat Kartini kepada Ny. Abendanon tertanggal 21 Januari 1902 diungkapkan, "Perempuan itu jadi soko guru peradaban. Dari perempuanlah pertama-tama manusia itu menerima didikan. Di haribaan-nyalah anak itu belajar merasa dan berpikir, berkata-kata, dan makin lama makin tahulah saya bahwa didikan yang mula-mula itu besar pengaruhnya bagi kehidupan manusia di kemudian hari. Dan betapakah ibu bumi putera akan sanggup mendidik anaknya bila mereka sendiri tiada berpendidikan?"
Semoga akan lahir Kartini-kartini yang menginspirasi peradaban Indonesia di masa depan. Wallahu alam bis-shawab.