Pesan Imam Al-Ghazali, Penguatan Ketakwaan dalam Suasana Fitri
Idul Fitri merupakan momen penting bagi umat Islam. Seluruh umat Islam merayakan kemenangannya setelah satu bulan penuh berperang melawan hawa nafsu. Perang, yang menurut Rasulullah, lebih berat daripada melawan batalion musuh Allah yang kasat mata.
Tapi, Ramadhan usai, bukan berarti selesai sudah tugas kita sebagai seorang Muslim. Ada hal penting yang harus kita renungi bersama. Berikut catatan Muhamad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon, yang membahas soal pesan-pesan Imam Al-Ghazali:
Imam Al-Ghazali dalam masterpiece-nya, Ihya ‘Ulumiddin berpesan,
أن يكون قلبه بعد الإفطار معلقاً مضطرباً بين الخوف والرجاء إذ ليس يدري أيقبل صومه فهو من المقربين أو يرد عليه فهو من الممقوتين؟ وليكن كذلك في آخر كل عبادة يفرغ منها
Artinya,
“Setelah selesai berpuasa, tanamkanlah dalam hati antara rasa takut (khauf) dan harap (raja’). Karena seseorang tidak tahu, apakah puasanya diterima, sehingga termasuk hamba yang dekat dengan Allah. Atau sebaliknya, puasanya ditolak, sehingga termasuk orang yang mendapat murka dari-Nya. Hendaklah setiap selesai beribadah tanamkan rasa seperti itu.” (lihat Ihya ‘Ulumiddin, cetakan al-Haramain, juz 1, hal. 236)
Rasa Takut dan Berharap
Rasa takut (khauf) dan harap (raja’) bagaikan dua sayap seekor burung. Jika hanya satu sayap saja, seekor burung tidak mungkin terbang dengan sempurna. Jika tidak memiliki keduanya, sayap kanan dan sayap kiri, maka burung itu akan jatuh dan tidak bisa terbang lagi.
Demikian juga seorang Mukmin ketika telah melakukan ibadah. Usai ibadah itu dilaksanakan, dalam hati harus ditanamkan rasa takut dan harap. Takut, jikalau ibadahnya tidak diterima.
Juga harus berharap agar ibadahnya diterima dan mendapat balasan surga dari-Nya. Antara khauf dan raja’ harus imbang.
Jika rasa khauf (takut) berlebih, akan terlalu takut terhadap dosa dan menganggap kesalahan tidak bisa diampuni, sementara sejatinya Allah maha pemurah dan maha pengampun. Sehingga bisa timbul rasa putus asa atas ampunan dan rahmat (kasih sayang Allah). Pun sebaliknya, tidak boleh raja’ (berharap) berlebih, karena bisa berakibat berharap berlebih akan diterimanya suatu amal perbuatan dan diampuninya dosa. Sehingga dikhawatirkan akan meremehkan dosa itu sendiri.
Setelah satu bulan berpuasa dengan segala amal ibadah di dalamnya, kita juga harus tanamkan rasa takut dan harap. Tentu, selama satu bulan itu tidak sedikit kemaksiatan yang telah kita lakukan. Kita harus takut; jangan-jangan puasa kita tidak diterima.
Tapi, di sisi lain juga harus diimbangi rasa harap; mengharapkan akan diterimanya segala amal ibadah yang kita lakukan selama bulan puasa dan berharap diampuninya semua kesalahan yang telah dilakukan.
Gambaran khauf dan raja’ adalah sebagaimana hadis berikut, لَوْ يَعْلَمُ اْلمُؤْمِنُ مَا عِنْدَ اللهِ مِنَ الْعُقُوْبَةِ، مَا طَمِعَ بِجَنَّتِهِ أَحَدٌ، وَلَوْ يَعْلَمُ الْكَافِرُ مَا عِنْدَ اللهِ مِنَ الرَّحْمَةِ، مَا قَنَطَ مِنْ جَنَّتِهِ أَحَدٌ
Artinya, “Seandainya seorang mukmin mengetahui siksa yang ada di si Allah, niscaya tidak ada seorang mukmin pun yang menginginkan surga-Nya. Dan seandainya orang kafir itu mengetahui rahmat Allah, maka niscaya tidak ada seorang kafir pun yang berputus asa untuk mengharapkan surga-Nya.” (HR. Abu Hurairah)
Syekh Utsman bin Hasan bin Ahmad al-Khuwayri dalam Durratun Nashihin menceritakan kisah seorang laki-laki yang bernama Shalih bin Abdullah ketika bertemu dengan hari raya Idul Fitri. Berikut kisahnya.
Ada Keganjilan Shalil bin Abdullah
Saat Idul Fitri tiba, Shalih bin Abdullah akan pergi ke mushala untuk melaksanakan salat. Usai shalat, Shalih langsung pulang ke rumahnya. Lalu ia kumpulkan seluruh keluarganya. Di hadapan keluarganya itu, ia mengikat lehernya dengan rantai besi dan menaburkan abu di kepala serta sekujur tubuh.
Kemudian ia menangis dengan begitu keras. Melihat keganjilan itu, keluarganya heran dan bertanya, “Wahai Shalih, bukankah ini hari raya, hari bersuka cita. Kenapa engkau bersedih seperti ini?”
Shalih menjawab, “Aku tahu ini adalah hari raya Idul Fitri. Tapi, selama ini aku telah melaksanakan perintah-perintah Allah, dan aku tidak tahu, apakah amalku diterima atau tidak?!”
Lalu Shalih duduk di emperan mushola. Lagi-lagi, keganjilan Shalih itu memancing perhatian warga. “Mengapa engkau tidak duduk di tengah mushola saja?” tanya warga.
Shalih menjawab, “Aku datang untuk meminta belas kasih (rahmat) Allah, maka di sini lah tempat yang layak untuk seorang peminta.” (lihat Durratun Nashihin, hal 277)
Kisah Shalilh di atas memiliki pesan moral yang sangat mendalam. Saat Idul Fitri tiba, kebanyakan orang memaknai hari itu sebagai hari bersuka cita. Sampai kadang terlalu larut dalam kesenangan dunia. Itulah mengapa pada malam Idul Fitri, Rasulullah menganjurkan kita untuk menghidupkankannya dengan beribadah dan memperbanyak mengingat Allah.
Rasulullah saw pernah bersabda, مَنْ قَامَ لَيْلَتَىِ الْعِيدَيْنِ لِلهِ مُحْتَسِبًا لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ الْقُلُوبُ. (رواه الشافعي وابن ماجه) Artinya, “Siapa saja yang qiyamul lail pada dua malam Id (Idul Fitri dan Idul Adha) karena Allah demi mengharap ridha-Nya, maka hatinya tidak akan mati pada hari di mana hati manusia menjadi mati,” (HR. As-Syafi’i dan Ibn Majah).
Tetap Sederhana di Hari Kemenangan
Idul Fitri bukanlah momen berfoya-foya dengan kesenangan duniawi. Apalagi sampai lupa kepada Allah swt. Justru, menurut Syekh Utsman bin Hasan bin Ahmad al-Khuwayri, hikmah adanya Idul Fitri di dunia adalah sebagai pengingat akan akhirat. Saat Idul Fitri, kita akan menyaksikan begitu banyak orang keluar rumah dengan segala macam rupanya, sebagaimana nanti di akhirat kelak.
Sebagian mereka ada yang berjalan kaki, ada berkendara, ada yang memakai baju dan tidak, ada yang busananya begitu mewah, ada yang berbusana biasa saja, ada yang tertawa gembira, dan ada pula yang berduka (liat Durratun Nashihin, hal 277-278)
Terakhir, penulis tutup dengan syair berikut, لَيْسِ السَّعِيدُ الَّذِي دُنْيَاهُ تُسْعِدُهُ ... إِنَّ السَّعِيدَ الَّذِي يَنْجُو مِن النَّارِ أَصْبَحْتُ مِنْ سَيِّئَاتِي خَائِفًا وَجِلًا ... وَاللهُ يَعْلَمُ إِعْلَانِي وَإِسْرَارِي إِذَا تَعَاظَمَنِي ذَنْبِي وَآيَسَنِي ... رَجَوْتُ عَفْوَ عَظِيمِ العَفْوِ غَفَّارِ
Artinya, “Hari ‘Ied bukanlah orang yang bersuka ria di dunia, tetapi orang yang berbahagia karena diselamatkan dari siksa neraka.”
“Betapa aku takut atas dosa-dosa, sementara Allah adalah Zat Yang Maha Mengetahui yang nampak dan tersembunyi.”
“Jika dosa-dosa hamba begitu besar, hamba menyesal dan mengharap ampun dari Zat Yang Maha Pengampun”.
Demikian semoga bermanfaat.
Sumber: