Peruri 500 Miliar
TIBA-tiba Peruri diserang BTP. Videonya beredar luas. Itu karena Peruri minta uang ke Pertamina sampai Rp 500 miliar.
Kesannya, Pertamina dalam keadaan sulit karena semua pihak mengganggu Pertamina: Kementerian BUMN, kementerian lain, sistem jabatan-gaji Pertamina sendiri dan itu tadi: perusahaan BUMN lain seperti perusahaan Percetakan Uang Negara Republik Indonesia, Peruri.
Saya tidak bisa langsung paham apa hubungannya Peruri minta uang ke Pertamina. Kok kesannya, dari nada suara BTP, seperti Peruri memeras Pertamina.
Tapi kok disebut di video itu bahwa Rp 500 miliar tersebut terkait dengan program paperless di Pertamina.
Paperless –tanpa kertas? Apanya yang tanpa kertas? Dokumen tanpa kertas atau transaksi tanpa kertas? Ada transaksi apa antara Pertamina dan Peruri?
Bahwa BTP mengatakan –di video itu– seharusnya Kementerian BUMN dibubarkan, itu bukan pemikiran baru. Sejak Tanri Abeng menjadi menteri BUMN yang pertama, pemikiran itu sudah ada. Tanri sudah mengemukakan itu.
Yang baru adalah BTP menyebutkan timeline-nya: sebelum Pak Jokowi turun, pola seperti Temasek-nya Singapura sudah terbentuk. Artinya Kementerian BUMN sudah bubar?
Selama ini pemikiran pembentukan superholding seperti itu –seperti Temasek– tidak pernah mati. Tapi jalannya sangat lambat. Yakni melalui pembentukan holding-holding usaha sejenis dulu. Itulah jalan yang dianggap realistis –yang hebohnya bisa dikendalikan.
Maka setiap periode kepresidenan selalu terbentuk holding baru. Di periode kedua Presiden SBY terbentuklah holding Pupuk Indonesia dan Semen Indonesia. Di periode pertama Presiden Jokowi terbentuk holding Perkebunan dan Pertambangan.
Pembentulan holding pertambangan itu sangat strategis ketika pemerintah mengalihkan Freeport dari perusahaan asing menjadi perusahaan nasional di bawah BUMN. Tanpa pembentukan holding pertambangan pengambilalihan Freeport akan terbentur ke soal teknis legalitas korporasi.
Mungkin di periode kedua Presiden Jokowi ini akan terbentuk holding Energi. PT Pertamina menjadi satu holding dengan PT Gas Negara. Pun itu belum bisa sepenuhnya disebut holding energi. PLN kelihatannya masih di luar holding energi itu.
Kalau satu masa jabatan presiden bisa melahirkan dua holding, mungkin diperlukan 10 periode kepresidenan. Untuk bisa sampai ke terbentuknya superholding seperti Temasek. Itu pun kalau gelombang politik tidak berubah.
Selama ini setiap kali dirancang pembentukan holding selalu saja ribut. Selalu terjadi penentangan yang keras dari masing-masing internal perusahaan. Terutama dari serikat buruhnya.
Tapi holding demi holding terbentuk. Lambat tapi tidak bisa dikatakan jalan di tempat.
Saya tidak tahu jalan mana yang akan ditempuh, kok BTP sudah bisa mengatakan sebelum Pak Jokowi turun yang seperti Temasek tersebut sudah bisa terbentuk.
Mungkinkah itu bisa terwujud? Mungkin saja. Siapa tahu ada langkah sapu jagad.
Sulitnya pembentukan holding di BUMN selama ini, antara lain, karena harus lewat persetujuan DPR. Setidaknya perlu proses politik yang sangat panjang. DPR belum tentu setuju.
Nah, siapa tahu pemerintah sekarang sudah sangat yakin bahwa DPR yang sekarang bukan masalah lagi.
Awalnya saya termasuk yang setuju dengan pembentukan superholding secepatnya. Sekaligus sebagai tanda berakhirnya Kementerian BUMN.
Tapi akhirnya saya tahu: begitu banyak UU yang harus diubah. Terutama UU Perbankan. Apakah realistis memaksakannya?
Tapi siapa tahu BTP memang bisa. Siapa tahu segera ada omnibus law untuk pembentukan superholding itu.
Kalau itu benar-benar terjadi –seperti di video BTP– Presiden Jokowi pun dan BTP akan tercatat abadi dalam sejarah BUMN.
Tapi yang paperless tadi seperti apa? Yang Pertamina dimintai uang Rp 500 miliar oleh PT Peruri tadi?
Saya jadi ingat. Peruri itu punya anak perusahaan yang memegang izin digital security. Siapa saja yang akan mengamankan digital code-nya harus berhubungan dengan Peruri.
Misalnya di zaman Covid-19 ini. Semua orang harus kerja dari rumah. Padahal perusahaan seperti Pertamina harus tetap jalan.
Bagaimana perusahaan bisa jalan kalau tidak ada yang tanda tangan. Padahal untuk kelas Pertamina pasti diperlukan ratusan tanda tangan sehari. Di semua level.
Maka dibicarakanlah bagaimana semua tanda tangan bisa diganti dengan tanda tangan digital. Yang tetap dianggap sah.
Itu berarti harus ada lembaga yang melegalisasinya. Atau yang umum dikenal dengan istilah otentifikasi.
Peruri memiliki software otentifikasi itu. Sekaligus punya izin sebagai lembaga yang memegang digital security.
Dalam otentifikasi itu Peruri memberikan password kepada setiap pejabat yang terkait dengan tandatangan itu. Tinggal klik di HP.
Tentu hak Peruri untuk menawarkan berapa miliar pun. Pinter-pinternya Peruri berbisnis. Yang penting tidak memaksa. Dan tidak ada hak bagi Peruri untuk memaksa Pertamina.
Semuanya terserah Pertamina. Mau menerima tawaran atau menawar. Atau bahkan menolak.
Tentu Peruri merasa punya hak untuk minta harga tinggi. Hanya Peruri yang mendapat izin untuk itu. Lebih tepatnya, anak perusahaan Peruri. Sedang Peruri sendiri, sebagai induk, memiliki izin untuk security printing.
Berarti ini transaksi bisnis biasa. Hanya saja karena Peruri adalah satu-satunya pemilik izin digital security mungkin menaruh harga yang tinggi.
Tentu Pertamina bisa menawar. Atau menolak penawaran itu. Biasa saja. Bisnis biasa.
Maka sebenarnya ada jalan lain yang lebih tidak heboh: BTP membisiki Presiden Jokowi. Atau menteri Kominfo. Agar mengatur ulang perizinan digital security.
Toh izin untuk Peruri itu dikeluarkan oleh menteri Kominfo di periode kemarin.
Itu sepenuhnya wewenang pemerintah.
Atau Pertamina bisa cari cara yang lebih murah. Bahkan gratis. Kan sudah ada aplikasi tanda tangan digital di HP. Banyak pilihan. Bisa DocuSign. Bisa juga SignEasy.
Tapi baik juga heboh-heboh. Banyak juga yang senang heboh.(Dahlan Iskan)