Pertumbuhan Ekonomi: Prediksi Pejabat vs Dukun Gelatik
Oleh: Erros Djarot
Badan Pusat Statistik (BPS), secara meyakinkan telah melaporkan bahwa Pertumbuhan ekonomi Indonesia, di kuartal II-2021, telah berhasil melejit hingga menembus angka lebih dari 7% (7,07%). Menteri keuangan dunia terbaik versi lembaga penilai Internasional, Sri Mulyani, yang kebetulan adalah Menkeu kebanggaan pemerintahan Jokowi, secara meyakinkan turut pula memperkuat kebenaran atas angka pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sangat fantastis ini. Bahkan Presiden Jokowi pun, walau bukan seorang ekonom, menjadi begitu sangat fasih menjelaskan kepada rakyat bahwa angka pertumbuhan ekonomi 7,07%, bukanlah suatu rekayasa atau khayalan, tapi sudah menjadi kenyataan. Presiden secara meyakinkan menyampaikan hal ini kepada seluruh rakyat Indonesia.
Nah, dengan pemahaman bahwa angka pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih tinggi dari Vietnam (the rising star country in Asia), juga Korea selatan (5,9%), rakyat awam pun kontan berkomentar; kita pasti bakal lebih hebat dan makmur dari Vietnam dan Korea Selatan! Apalagi berita segar ini datang ketika suasana batin rakyat tengah begitu haus merindukan terjadinya kebangkitan ekonomi yang dapat mengangkat kualitas hidup mereka yang sekarang ini terpuruk, menjadi lebih baik. Akan menjadi bumerang bagi pemerintah ketika dalam realita hidup kesehariannya rakyat berada dalam kondisi yang sangat jauh dari harapan.
Kekhawatiran saya muncul ketika suara sumbang yang menganggap bahwa angka pertumbuhan ekonomi 7,07% hanyalah sebuah ilusi, dilontarkan oleh sejumlah pengamat maupun para aktivis yang dekat dengan rakyat. Sejumlah pendapat menyatakan bahwa angka 7,07% sengaja digelontorkan pemerintah, di masa pandemi yang telah menyengsarakan rakyat kebanyakan ini, agar rakyat tergiring untuk meyakini masih adanya harapan bahwa secara ekonomi kehidupan ke depan akan lebih baik.
Situasi pro kontra pun terjadi dan terasa kian meruncing. Tarik menarik pendapat para pengamat sosial ekonomi yang saling berseberangan secara tajam ini, telah menyeret pikiran saya sebagai awam ekonomi ke sebuah peristiwa masa lalu yang serupa walau tak sepenuhnya sama. Persisnya di saat-saat Indonesia berada dalam situasi menjelang kejatuhan rezim Orde Baru.
Masih hangat dalam ingatan saya bagaimana saat itu para ekonom pro pemerintah Orde Baru sibuk menangkis serangan para ekonom di barisan oposisi yang menganggap ekonomi Indonesia tengah berada dalam kondisi lampu kuning. Bahkan sejumlah ekonom oposan secara ekstrim menegaskan bahwa telah terjadi salah kelola yang mendasar yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Setidaknya seorang ekonom pro rakyat, Doktor Sritua Arif, secara sangat aktif mengontak dan meyakinkan saya sebagai pemimpin redaksi tabloid DeTik bahwa perekonomian nasional menuju jurang kehancuran karena berjalan jauh dari relnya amanat UUD’45.
Menangkis serangan aktif yang dilakukan Sritua Arif ini, para ekonom pemerintah Orde Baru pun menggunakan mulut Harmoko sebagai Menteri Penerangan dan Pak Harto yang setiap ucapannya merupakan ‘sabdo pandito ratu’ bagi rakyat kebanyakan saat itu. Ucapan penangkal serangan para oposan yang sangat efektif dilontarkan oleh Pak Harto saat itu adalah rangkaian tiga kalimat sakti…."Perekonomian kita berada di jalan yang benar; Fundamental ekonomi kita sangat kuat; Segalanya aman terkendali..!’’
Tentunya tiga kalimat sakti dari Pak Harto ini langsung dicarikan legitimasi akademisnya oleh sejumlah besar ekonom dan para guru besar pro Orde Baru. Intensitas para pakar ekonomi pro Orde Baru yang penyebaran suaranya didukung oleh media yang saat itu hampir semuanya berada dalam kontrol penguasa, dengan sendirinya menjelma menjadi pemahaman yang diterima umum sebagai kebenaran. Sementara saya yang sudah sangat merasa lebih dekat dengan amatan seorang Sritua Arif dan Kwik Kian Gie cs, menjadi gamang dan memutuskan untuk berakhir pekan sebentar mengistirahatkan kerja otak dengan mengunjungi Kota Gudeg untuk rileks mengendorkan ketegangan.
Saat tengah bersantai bersama sejumlah kawan di kawasan Malioboro, saya tertarik oleh kerumunan orang yang tengah menyaksikan sesuatu. Ternyata mereka tengah menyaksikan aksi seorang dukun ramal yang menggunakan seekor burung gelatik sebagai medium. Tugas sang burung atas perintah dukun peramal mengambil satu lipatan dari sekian jumlah lipatan kertas yang tersusun rapih dalam sebuah kotak kecil. Ketika sebuah lipatan dipilih, dijepit dalam gigitan patuknya, kertas lipatan yang menyerupai amplop kecil itu pun diberikan gelatik kepada sang dukun. Sang dukun pun mulai membacakan tulisan yang terdapat dalam kertas kepada seseorang yang ingin mengetahui apa ramalan sang dukun terhadap masalah yang dihadapinya.
Saya yang menjadi penasaran ingin tahu bagaimana sang dukun melakukan praktiknya, sengaja memilih tempat lesehan tak jauh dari tempat sang dukun gelatik melakukan aksinya. Jelang tengah malam saat sang dukun baru berkemas untuk mengahiri prakteknya, saya pun segera menghampirinya. Kepadanya dengan jahil saya sengaja ajukan pertanyaan konyol; bagaimana kondisi ekonomi Indonesia ke depan?
Sang dukun pun tidak langsung menjawab, tapi malah bertanya kepada saya apakah saya intel atau orang pemerintah. Ketika saya yakinkan dia bahwa saya hanya seorang pedagang-pengusaha, barulah ia memulai aksinya.
Burung gelatik pun disuruhnya untuk mengambil salah satu lipatan kertas, dan ‘cluk’ satu kertas di patuk dan langsung diberikan kepada sang dukun. Dengan penuh penasaran saya menunggu ramalan apa yang akan dibacakan. Setelah menarik napas panjang sambil geleng-geleng kepala ia meminta saya mendekat agar dapat membisikkan sesuatu ke telinga saya. Sesaat kemudian ramalan pun meluncur dari mulutnya…"Mas, sampeyan harus hati-hati…usaha sampeyan bakal mengalami bangkrut. Bukan hanya sampeyan yang mengalami kebangkrutan, banyak yang lain. Pokoknya untuk usaha, tahun ini (1998 awal) nggak baik…bakal kacau..!”
Ajaibnya, beberapa bulan kemudian, krisis moneter pun terjadi. Bangunan perekonomian nasional yang konon digembar gemborkan fundamental ekonominya sangat kuat, luluh lantak seketika dihantam badai krisis moneter yang melanda Asia. Kemenangan pertarungan antara ramalan dukun gelatik versus prediksi para pejabat dan ekonom Orde Baru pun, berakhir dengan kemenangan sang dukun juru ramal burung gelatik Malioboro Yogyakarta. Sungguh tragis dan menyedihkan.
Atas kejadian ini, saya sengaja menyempatkan diri bertandang ke rumah begawan ekonomi Indonesia, Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo yang saya panggil dengan sapaan ‘Om Cum’. Kepada beliau saya ceritakan sebuah keajaiban betapa seorang dukun gelatik prediksinya lebih akurat dibanding seombyokan profesor dan doktor pendukung rezim Orde Baru. Om Cum pun yang sejak tahun 78 tidak lagi menjabat sebagai menteri dalam pemerintahan sang besan (Pak Harto) dengan senyum khasnya nyeletuk singkat…"yah terbukti gelatik lebih pinter dan lebih paham kondisi sosial-ekonomi bangsanya yaaa…!”
Celetukan sang begawan ini, belakangan terngiang kembali ke telinga saya saat pro dan kontra pertumbuhan ekonomi 7.07% semakin marak menyembul ke permukaan kehidupan berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini. Pertanyaannya; akankah peristiwa sejarah Malioboro dengan sang dukun gelatiknya bakal terulang? Untuk pertanyaan ini jawaban pastinya sudah ada. Di sepanjang jalan Malioboro hingga ujung pasar Beringharjo, sudah tidak ada lagi praktk sang dukun gelatik.
Jadi, Jeng Sri Mulyani dan Pak Jokowi bisa sedikit tenanglah. Tentunya akan lebih tenang bila pertumbuhan ekonomi 7,07% tercermin secara nyata dalam kehidupan sehari-hari rakyat kebanyakan. Bukan hanya tercermin dalam kehidupan para elite negara, para pemilik modal, dan para pejabat korup belaka!
*Dikutip sepenuhnya dari Watyutink.Com