Pertemuan Loya Jirga: Afghanistan, Riwayatmu Kini
Pengantar Redaksi
Pertemuan Loya Jirga mempunyai tempat khusus dalam sejarah Afghanistan. Sebagai bentuk dukungan terciptanya perdamaian di Afghanistan, Indonesia menghadiri pembukaan Konsultasi Loya Jirga yang merupakan sebuah majelis besar para sesepuh Afghanistan untuk memutuskan hal-hal yang terkait dengan kepentingan perdamaian Afghanistan.
Tercatat pada 9 Agustus 2020, dalam pertemuan itu, para peserta mendengarkan pidato Presiden Afghanistan Mohammad Ashraf Ghani menandai dibukanya musyawarah Konsultative Loya Jirga. Atas undangan Kemenlu Afghanistan, Duta Besar RI Dr. Arief Rachman, MD, bersama sejumlah Kepala Perwakilan negara lain dan Organisasi Internasional menyaksikan secara virtual Opening Session Consultative Peace of Loya Jirga yang berlangsung pada 7 Agustus 2020 di Char Chinar Palace, Presidential Palace-ARG, Kabul.
Berikut catatan DR KH As'ad Said Ali:
Pertemuan Loya Jirga (lembaga musyawarah tradisional) pada 30 Juni - 2 Juli 2022 di Afghanistan yang dihadiri sekitar 3 ribu ulama Afghanistan menghasilkan kesepakatan antara lain dukungan dan kesetiaan terhadap pemerintah Emirat Islam Afganistan (EIA) di bawah pimpinan Haibatullah Akhundzada, menolak tekanan atau campur tangan asing serta mendukung pemerintah dalam memberantas ISIS-Provinsi Khorasan dan kebijakan melarang penanaman opium.
Para ulama juga mendesak pemerintah untuk menegakkan keadilan, memajukan pendidikan agama dan modernisasi, hak hak etnis minoritas dan perempuan serta membuka lapangan kerja. Mereka juga mendukung rekonsiliasi nasional dengan ex pendukung rezim pemerintahan lama yang kini berada dalam pengasingan. Musyawarah disamping menolak campur tangan asing, juga menyerukan PBB dan dunia internasional untuk memberikan pengakuan terhadap EIA. Di samping itu mendesak segenap embargo ekonomi dicabut dan mencairkan aset pemerintah Afganistan yang dibekukan diluar negeri.
Pertemuan ulama melalui Loya Jirga yang merupakan sistem dialog / temu rembuk sesuai tradisi Afganistan mengindikasikan bahwa EIA memilih sistem perwakilan yang sesuai dengan tradisi seperti pernah dipraktekkan pada era Kesultanan Emirat Islam Afganistan yang dijatuhkan melalui kudeta pada 1970 an.
Sistem pemerintahan sosialis/komunis dan demokrasi ala Barat yang diterapkan sejak 1980 sampai 2021 di Afghanistan dijajah oleh Rusia dan Amerika tumbang secara bergantian karena tidak paralel dg tradisi Loya Jirga.
Dari Desa sampai ke level Nasional
Loya Jirga merupakan lembaga perwakilan berjenjang dari tingkat desa sampai ke level nasional yang telah ada sepanjang sejarah bangsa tersebut. Keputusan yang dihasilkan merupakan manivestasi kehendak dari mayoritas rakyat. Dalam kunjungan ke Indonesia atas undangan PBNU pada 2011, mantan Presiden
Burhanuddin Rabbani berpendapat bahwa sistem perwakilan - demokrasi ala Barat yg dilaksanakan di Afghanistan sejak 1991 termasuk dalam masa pemerintahannya tidak efektif dan elitis. Pendapatnya tsb disampaikan setelah mendapatkan penjelasan tentang makna sila ke-4 Pancasila dari dalam kunjungan ke Universitas Gadjah Mada.
Pertemuan Loya Yirga yang tidak pernah diselenggarakan lagi sejak pendudukan Rusia (Uni Soviet) pada 1980, menandai kesadaran baru partisipasi rakyat dalam pemerintahan dengan model demokrasi sesuai dengan tradisi. Pernyataan dukungan secara eksklusif terhadap Akhundzada menunjukkan semakin kuatnya pengaruhnya terhadap fraksi Hakkani yang selama dianggap cenderung radikal/keras anti-perubahan.
Sikap dunia internasional yang memaksakan perubahan radikal di Afghanistan misalnya soal kebebasan wanita dan membuka pintu pendidikan secara luas terhadap wanita, meskipun ideal tetapi tidak realistis secara politik ketika Akhundzada belum sepenuhnya mengendalikan fraksi radikal dalam tubuh Taliban.
Apalagi disertai tekanan dalam bentuk embargo ekonomi yang menyengsarakan rakyat yang tidak bersalah.
Saatnya dunia internasional mempertimbangkan beratnya aspek sosial - ekonomi yang diderita rakyat Afghanistan. Di samping itu, bukankah sejak tampil sebagai penguasa Afghanistan, EIA telah menunjukkan komitmen kuat dalam memerangi ISIS- provinsi Kurasan ?. Kebijakan moderasi tidak bisa dipaksakan pada saat secara sosial-ekonomi negara hancur akibat yang ditinggalkan oleh AS dalam keadaan kacau.
Sikap para ulama Afghanistan bisa memberikan gambaran yang jelas, yang dibutuhkan bagi Afghanistan sekarang ini adalah normalisasi kehidupan sosial ekonomi. Dan hal itu bisa terjadi, kalau dunia internasional mengendorkan sikap keras terhadap EIA. Taliban bukanlah organisasi teroris dan bukan bagian Al- Qaeda atau ISIS, seperti dipropagandakan oleh AS/Barat. Taliban selama ini memang melawan pemerintah Afghanistan yang didukung secara militer oleh AS/Barat dengan strategi gerilya dan taktik teror.
Tuduhan teror itu berawal ketika Usama Bin Ladin sejak 1996 menggunakan Afghanistan sebagai basis Al-Qaeda, tetapi pada mulanya tidak disadari oleh Pemerintah Afghanistan yang pada waktu itu dibawah Presiden Burhanudin Rabbani dukungan AS/Barat. Setelah terjadi peledakan WTC September 2001, AS dan negara lain baru sadar akan hal itu dan kemudian mengejar OBL di Afghanistan yang telah berobah rezim ke tangan Taliban, Mullah Omar. Mullah setuju menyerahkan OBl melalui proses pengadilan sebab OBL di bawah proteksi suku di perbatasan dengan Pakistan. Sesuai adat (Pastun Wali), pantang menyerahkan mereka yang minta perlindungan, kecuali jelas kesalahannya.
AS dan Taliban sepakat mengadili OBL di bumi Pakistan, sayang Pakistan menolak. Dan akhirnya AS menyerbu Afghanistan dan mengganti rezim baru Afghanistan yang berkuasa hingga 2021. Sejak itu Taliban dicap sebagai teroris. Hal itu sama dengan label ekstremis (teroris) yang disematkan oleh Inggris/Belanda terhadap Arek-arek Surabaya dalam perang Oktober - November 1945. Membela tanah air dari pendudukan asing bukanlah teroris , tetapi pejuang.
KH DR As'ad Said Ali
Pengamat Sosial-Politik, Wakil Ketua Badan Intelijen Negara tahun 2001, Mustasyar PBNU periode 2022-2027.
Advertisement