Pertemuan Kim dengan Trump, Apa Dampaknya Bagi Indonesia?
Pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un menjadi pertemuan pertama antara pemimpin kedua negara setelah 70 tahun terlibat ketegangan.
Walau Indonesia tidak terlibat langsung dalam pertemuan, tetap saja bisa memiliki andil dalam mewujudkan denuklirisasi Semenanjung Korea, yang tampaknya tidak akan langsung tercapai hanya lewat satu pertemuan puncak.
Hal tersebut diungkapkan oleh Profesor Yang Seung Yoon, guru besar hubungan internasional di Hankook University, Korea Selatan, yang menjadi Dosen Tamu Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Yang Seung Yoon memandang hubungan yang membaik antara Korea Utara dan AS akan membuat Indonesia mendapat kesempatan untuk meningkatkan kekuatan diplomatiknya dengan berperan dalam menciptakan perdamaian di Semenanjung Korea.
Apalagi Indonesia memiliki hubungan baik dengan ketiga negara: Amerika Serikat, Korea Utara, dan Korea Selatan.
"Bagi Indonesia ada banyak kesempatan yang baik untuk mendekatkan, memajukan hubungan kedua negara, dan hubungan antara Korea Utara dan ASEAN." tuturnya seperti dikutip dari BBC.
"Jadi tidak hanya di Semenanjung Korea tapi di regional Asia Timur," imbuh Prof Yang.
Pandangan yang didukung oleh guru besar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Prof Tirta Mursitama, mengingat posisi Indonesia yang terpilih lagi menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
"Ini justru menjadi momentum yang bisa dimanfaatkan Indonesia untuk lebih berperan, khususnya di kawasan Asia, dalam menciptakan perdamaian," ujar Tirta.
Apalagi, imbuh Tirta, ditilik dari sejarah, Indonesia memiliki kedekatan dengan Korea Utara, yang dimulai pada masa era Presiden Soekarno.
"Tentu kalau kita juga mau mengkapitalisasi dari aspek sejarah, saya kira itu sangat baik dan justru karena praktis kita tidak punya masalah dengan Korea Utara. Mungkin Korea Utara semakin percaya dengan kita."
"Misalnya kalau kita lihat juga, perdagangan ekspor impor kita juga berjalan, meski dalam volume yang tidak terlalu besar, itu bisa ditingkatkan," tambah Tirta.
Pada tahun 1965, Kim Il-sung -pemimpin Korea Utara yang merupakan kakek Kim Jong Un- mengunjungi Indonesia dan diajak Presiden Soekarno untuk berkeliling Kebun Raya Bogor. Saat itu Kim tua tertarik dengan bunga anggrek dari Makassar.
Soekarno kemudian menamai bunga tersebut Kimilsungia dan menyebutnya sebagai simbol persahabatan abadi antar kedua negara.
Pada tahun 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri -yang juga putri dari Soekarno- melawat ke Korea Utara dan bertemu dengan pemimpin Kim Jong-Il, ayah dari Kim Jong Un, di Pyongyang.
Tiga tahun kemudian, Ketua Yayasan Pendidikan Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri, memberi penghargaan Soekarno Award kepada Kim Jong-un karena dianggap "konsisten melawan dominasi nekolim (neo-kolonialisme imperialisme) atau penjajahan dalam bentuk baru".
Namun jelas masih ditunggu apakah latar belakang sejarah itu memang bisa menjadi kekuatan dalam mewujudkan perdamaian di Semenanjung Korea, yang saat ini terfokus pada KTT Kim-Trump. (amr)
Advertisement