EMPAT tahun lalu seorang diplomat dari sebuah negara Eropa Barat mengungkapkan analisanya bahwa Titiek Soeharto atau Titiek Hediati Haryadi, bakal menjadi penerus Dinasti Cendana. “Bacaan saya, bukan kakaknya, Mbak Tutut atau adiknya Tommy yang akan jadi penerus Dinasti Cendana”, ujar diplomat itu serius. Mendengar analisa seperti itu, saya lebih banyak bersikap pasif atau menjadi pendengar yang baik. Lagi pula situasi politik di tahun 2013, belum memperlihatkan tanda-tanda adanya kebangkitan Dinasti Cendana lewat Mbak Titiek. Masyakarat justru lebih melihat Tommy atau kakak perempuannya, Mbak Tutut. Terutama karena Tommy dan Mbak Tutut, relatif lebih sering tampil di publik dan terkadang membuat politik Indonesia bergemuruh, manakala satu di antara mereka membuat pernyataan politik maupun bisnis. Kesan sekilas, Mbak Tutut dan Tommy lebih peduli pada masa depan Indonesia yang selama 32 tahun dikuasai oleh ayah mereka, Pak Harto. Analisa orang asing ini saya angkat kembali sebagai sebuah reminder. Terutama karena saat ini, sepertinya para pengamat dan politisi lebih tercurah pada usaha “come back” dari Dinasti Cikeas (SBY) ataupun Dinasti Kebagusan (Megawati Soekarnoputri). Sangat jarang orang menaruh perhatian pada aktifitas Titiek yang kini menjadi anggota DPR-RI serta anggota Dewan Penasehat DPP Partai Golkar. Pekan ini saja, Titiek membuat pernyataan yang cukup berani. Yaitu dia meminta agar Setya Novanto yang sudah dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK dalam skandal e-KTP, supaya mundur dari jabatan yang didudukinya. Yakni Ketua Umum DPP Golkar dan Ketua DPR-RI. Penilaian diplomat asing ini, masuk dalam nemori saya. Sebab pada tahun 2008, saat Sri Mulyani Indrawati sedang digadang-gadang oleh Rachman Tolleng untuk menjadi Presiden RI – entah itu di Pilpres 2009 ataupun 2014, diplomat yang sama secara tegas menyatakan, SMI (Sri Mulyani Indrawati) tidak akan mungkin menjadi Presiden RI. Atensi pada gerakan yang dilakukan Rachman Tolleng – yakni mempersiapkan SMI sebagai Presiden, saat itu, cukup besar. Sebab Tolleng dikenal sebagai salah seorang pendiri Golkar yang bertangan dingin. Artinya apa yang dikerjakannya di tahun 1966, terbukti berhasil. Paling tidak Golkar menjadi sebuah kekuatan politik yang mampu merubah politik Indonesia. Indonesia berada dalam genggaman Golkar selama 32 tahun. Dari politik yang mendasarkan pada ideologi Soekarno yang nasionalis marhaenis ke ideologi baru, yang dibawakan oleh non-marhaenis. “Usaha yang dbangun oleh Rachman Tolleng dan kawan-kawan, tidak akan berhasil”, ujar diplomat yang sama ketika itu. Kini sang diplomat itu sudah kembali ke negaranya. Dan beberapa waktu lalu menelpon saya, hanya untuk menegaskan, bahwa prediksinya, tidak meleset. Dan analisanya tentang Titiek Soeharto, mulai makin kelihatan wujudnya. Sementara itu Mbak Tutut dan Tommy pun seperti senyap dari kegiatan berpolitik. Lantas Mbak Titiek, tiba-tiba menjadi makin sering tampil sebagai politisi yang aktif. SMI pun kurang kebih sama.Sekalipun sudah kembali ke tanah air dan masuk dalam Kabinet Jokowi – JK, tapi dari bahasa tubuhnya, ia tidak pernah memperlihatkan sikap ambisius untuk menjadi Orang Nomor Satu di Indonesia. Bahkan Rachman Tolleng yang hampir 10 tahun lalu, tiba-tiba keluar dari persembunyian politiknya, kini kembali bersembunyi di hutan belantara politik. Akftifitas Mbak Titiek, mantan isteri Letjen (Purn) Prabowo Subianto dari waktu ke waktu semakin memperlihatkan keseriusannya untuk menjadi politisi yang diperhitungkan. Pekan ini misalnya, ketika tak satupun anggota Golkar yang berani mengusik Setya Novanto, tapi justru mbak Titiek, secara “bluntly” membuat pernyataan keras yang sekaligus cukup menohok. Otokritik yang selama ini hampir tak pernah terdengar di tubuh Golkar, kini dihidupkan oleh putri mendiang bekas pemimpin Orde Baru tersebut. Permintaan Titiek Soeharto agar Setya Novanto dengan ikhlas mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum DPP Partai Golkar dan Ketua DPR-RI, sesungguhnya mewakili aspirasi masyarakat luas. Tapi entah karena sikap kebanyakan rakyat Indonesia yang lebih suka memilih “tepo seliro”, maka gugatan terhadap Setya Novanto itu, tak pernah terdengar. Kalau melihat karakter Golkar, apa yang dikatakan oleh Mbak Titiek seakan-akan, melanggar disiplin kepartaian atau bertentangan dengan budaya Partai Pohon Beringin. Kalau dari sudut disipilin dan budaya, Mbak Titiek berpotensi dikenakan hukuman indispliner. Tetapi yang terjadi, tidak demikian. Reaksi berupa kontra atas tuntutannya, tidak atau belum terdengar. Boleh jadi pernyataan Titiek menjadi sebuah terobosan. Diakui atau tidak, disadari atau belum, dengan pernyataan tersebut, Mbak Titiek sudah mencetak sebuah kredit poin yang sangat berharga bagi eksistensi dan legitimasinya di dalam tubuh Golkar. Lalu pertanyaan berikutnya apakah pernyataan menohok untuk Setya Novanto itu murni sebagai suara hati nurani atau bagian dari agenda dan manuver politik menuju ke sebuah sasaran yang lebih tinggi ?. Saya lebih cenderung ke bagian yang terakhir. Boleh jadi Mbak Titiek sudah memperoleh persetujuan dari anggota keluarga Cendana untuk ikut bertarung dalam Pilpres 2019. Keluarga Cendana sudah berhitung, momen 2019 merupakan waktu yang sangat menentukan baik bagi Indonesia maupun masa depan keluarga atau Dinasti Cendana. Masa depan Indonesia harus dijaga. Sebab sebagaimana banyak tercermin dari suara-suara yang ada di akar rumput, kejayaan yang dicapai selama pemerintahan Soeharto, kini sudah banyak yang mulai tergerus. Sementara pemerintahan yang ada dan yang pernah ada, yang menggantikan Soeharto, belum atau tidak mampu menjaga hal-hal baik yang ditinggalkan oleh mendiang Pak Harto. Soal korupsi misalnya. Tuduhan bahwa Presiden Soeharto-lah yang menyebabkan meraja lelanya korupsi di Indonesia, mulai terbantahkan. Sebab korupsi pasca era Soeharto, justru lebih parah dan bersifat massive. Sementara itu, boleh jadi Keluarga Cendana melihat dan menilai, apakah Jokowi lagi yang menang di Pilpres 2019 ataupun Koalisi antara Prabowo Subianto dan putranya SBY yang tampil sebagai duet baru pemimpin Indonesia, semuanya tidak memberi jaminan. Bahwa keadaan Indonesia tidak akan menjadi lebih baik. Keluarga Cendana juga mungkin melihat, kalau SBY yang nota bene merupakan anak buah Pak Harto ingin membangun Dinasti Cikeas, justru bisa lebih berresiko. Lantas mengapa bukan Diinasti Cendana yang dibangun? Begitu pula jika Keluarga Soekarno, Megawati Soekarnoputri ingin melanggengkan kekuasaannya lewat PDIP atau mungkin dengan Puan Maharani, lantas mengapa tidak dengan Dinasti Cendana ? Jadi bertarung di Pilpres 2019 bagi Mbak Titiek atau keluarga Cendana, dengan tujuan untuk menang, dilandasi oleh sebuah pemikiran yang berdimensi luas dan alasan yang kuat. Pertanyaan berikutnya, apakah Mbak Titiek – jika dia bertarung di Pilpres 2019, bisa menang atau gagal? Jawaban atas pertanyaan ini, memang tida mudah. Jadi yang paling aman adalah semuanya tergantung usaha dan nasib. Sejarah telah membuktikan, sebuah kejutan dalam Pemilihan Presiden, bisa terjadi. Dan Keluarga Cendana sendiri, diam-diam mulai melakukan persiapan. Semalam saya coba buka website yang memberitakan tentang tuntutan mundur Mbak Titiek kepada Setya Novanto.Yang menarik, berita tersebut diposting di media Kelurga Cendana, bernama “Cendana News”. Pada kolom TV, juga ada rubrik yang meberitakan tentang “Jejak Orde Baru”. Mbak Titiek sendiri di akun Facebook menciptakan tiga buah “page” (halaman) yang khusus menjadi tempat pemostingan semua kegiatannya selama ini. Sekalipun media tersebut, sifatnya masih terbatas, tetapi dari segi konsep, di era digital, media on-line bisa menjadi infra-struktur untuk menyuarakan perjuangan politik Mbak Titiek maupun Keluarga Cendana. Kehadirannya pun bisa cukup efektif, jika melihat trend media sosial sebagai alat penyebar informasi secara viral. Itu sebabnya saya tak sungkan memprediksi, Pilpres 2019 bakal ramai dengan persaingan antar Dinasti : Cikeas, Kebagusan dan Cendana. *) Derek Manangka adalah wartawan senior yang tinggal di Jakarta Cendana Puan Maharani Agus Harimurti Yudhoyono