Pertanian Tembakau Tak Pernah Berkembang Optimal, Iklim juga Tak KondusifÂ
Konsumsi rokok dunia cenderung menurun. Dampaknya, persaingan antarnegara produsen tembakau cenderung makin ketat.
Permodalan, manajemen pengelolaan, lemahnya jaringan usaha serta kemampuan penetrasi pasar, adalah masalah serius yang melilit dalam pertanian tembakau. Di Jawa Timur opo yo ngono? Ashhh... sama saja!
_______________
Rosyid, 46 tahun, di Jember, masih dengan lilitan kain sarung di lehernya, pagi itu, di sela pematang sawahnya, bersanding dengan ngopibareng.id dan menyulut sebatang rolok kesayangannya, mengatakan, dilema seperti di atas senyatanya tidak sesederhana itu.
Lilitan demi lilitan petani tembakau masih dipererat dengan iklim yang tidak kondusif, kurangnya adopsi teknologi maju, pasar bebas, dan terbatasnya akses pasar.
Modal adalah faktor utama. Kurang modal umumnya yang terjadi di pertanian. tembakau. Sementara, misalnya, pinjaman dari bank, sulit diperoleh karena persyaratan administratif dan teknis yang jarang bisa dipenuhi.
Pengaruh manajemen pengelolaan sangat besar sehingga pertanian tembakau sulit berkembang secara optimal. Selain itu dengan keterbatasan SDM-nya, jelas relatif sulit untuk mengadopsi perkembangan teknologi baru untuk meningkatkan daya saing produk yang dihasilkannya.
Kurangnya pengetahuan tentang pemasaran ikut ambil bagian dalam menjangkau produk yang sesuai dengan keinginan pasar.
Pertanian tembakau yang pada umumnya merupakan usaha keluarga, karenanya mempunyai jaringan usaha yang sangat terbatas dan kemampuan penetrasi pasar yang rendah. Sementara produk yang dihasilkannya pun jumlahnya terbatas dan mempunyai kualitas yang kurang kompetitif.
Kebijakan Pemerintah di bidang pertanian tembakau, meskipun dari tahun ke tahun terus disempurnakan, namun belum sepenuhnya kondusif. Ini bisa dilihat antara lain masih: terjadinya persaingan yang kurang sehat antara petani-petani kecil dengan pedagang-pedagang besar.
Kurangnya informasi yang berhubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, menyebabkan sarana dan prasarana yang mereka miliki juga tidak cepat berkembang dan kurang mendukung kemajuan usahanya sebagaimana yang diharapkan.
Persaingan telah bergeser dari skala lokal ke'skala nasional, bahkan internasional, sehingga setiap perusahaan yang siap bersaing dalam pasar global harus bernyanyi dalam lagu yang sama yaitu efisiensi.
Sebagian besar produk tembakau memiliki ciri atau karakteristik sebagai produk-produk rokok dengan lifetime yang pendek. Sebenarnya kelemahan ini tidak akan begitu mengganggu kehidupan petani tembakau asal dibarengi dengan inovasi yang tiada henti. Namun karena inovasi yang dilakukan sangat rendah, maka sifat produk ini bisa menjadi hambatan pengembangan pertanian tembakau ke depan.
Terbatasnya akses pasar akan menyebabkan produk yang dihasilkan tidak dapat dipasarkan secara kompetitif baik di pasar nasional maupun internasional.
Permasalahan yang bertalian dengan ekspor di antaranya adalah kurangnya informasi mengenai pasar ekspor yang dapat dimanfaatkan. Kurangnya lembaga yang dapat membantu mengembangkan ekspor. Sulitnya mendapatkan sumber dana untuk ekspor, serta pengurusan dokumen yang diperlukan untuk ekspor yang birokratis.
Menurut data Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Departemen Pertanian, jumlah petani tembakau meningkat dari 400.000 sampai lebih dari 900.000 tahun lalu.
Di pihak lain, saat ini konsumsi rokok dunia cenderung menurun, sehingga persaingan antar negara produsen cenderung makin ketat.
Persyaratan kualitas yang diminta oleh konsumen di luar negeri merupakan salah satu dampak tersebut. Konsentrasi pembeli dalam kelompok berdampak melemahkan posisi produsen dalam pembentukan harga pasar, sebaliknya komponen biaya produksi selalu meningkat.
Dari fakta-fakta ini, posisi paling lemah kembali berada di produsen utama, adalah petani. Tembakau sebagai produk pertanian yang bersifat monopsoni menempatkan petani sebagai produsen pada titik yang lemah. Tiga komponen utama dalam produk pertanian ini dikendalikan oleh beberapa kekuatan ekonomi kapital yaitu harga, pasar dan pengendalian produksi.
Ketidakberdayaan petani tembakau ternyata timbul mulai dari hilir sampai ke hulu. Pada sisi hilir ketidakberdayaan terutama disebabkan karena ketidakmampuan mereka untuk mengendalikan ketersediaan pupuk.
Kelangkaan pupuk yang hampir terjadi secara nasional membuat para petani menerima pupuk dengan harga mahal.
Untuk mengatasi kelangkaan seperti ini, pemerintah Kabupaten Bojonegoro misalnya, berusaha memberikan bantuan pupuk. Namun disayangkan, pupuk yang sampai ke tangan petani tidak sesuai dengan kualitas yang diharuskan.
Pupuk bantuan telah dicampur dengan pupuk lain sehingga tidak dapat dipergunakan. Kekurangan pupuk pupuk ini diatasi para petani dengan menambahkan pupuk kotoran kelelawar. Tentu saja ini akan mengurangi kualitas hasil panenan tembakau. Namun yang seperti ini tidak terhindarkan karena tembakau harus ditanam dan diberi pupuk agar dapat menghasilkan.
Pada sisi hulu, para petani hanya mengetahui jika perawatan, bibit dan pupuk yang baik akan mempengaruhi kualitas tembakau, sehingga mereka mengharapkan harga yang pantas atas jerih payahnya.
Namun harapan ini seringkali kandas, karena para petani sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang standar dan karakteristik kualitas tembakau bermutu. Ini terjadi di Kabupaten Bojonegoro, Jember, dan Pamekasan. (idi/bersambung)