STATUS Dahlan Iskan sebagai ‘pesakitan’ tak membuat boss “Jawa Pos” ini menjadi sorotan publik sebagai warga yang patut dimusuhi apalagi dibenci. Tidak ada kesan masyarakat Surabaya, kota tempatnya menjadi Raja Media, serta-merta menjaga jarak dan menjauhinya. Dahlan justru menjadi seorang warga Kota Buaya yang satu-satunya memiliki “fans”, penggemar sekaligus relawan yang secara terbuka berani membelanya, memberi dukungan moril dengan berbagai cara. Statusnya sebagai tahanan kota, memang memberinya beban tersendiri. Sebab dia tidak bisa keluar dari wilayah Surabaya. Padahal sebagai sosok yang super aktif, pebisnis, pemilik media yang tersebar di berbagai kota di Indonesia, Dahlan sebetulnya sangat butuh akan kesempatan bepergian ke mana saja. Termasuk ke luar negeri.Sebagai contoh, dia ingin mengembangkan mobil listrik. Passion-nya tentang kendaraan masa depan Indonesia tersebut sangat besar. Sehingga untuk keperluan pengembangannya, Dahlan sebetulnya butuh melakukan perjalanan ke negara-negara yang sudah memproduksi mobil jenis tersebut. Namun karena statusnya sebagai tahanan kota, membuat pergerakannya menjadi terhalang. Kalau Dahlan mendapat empati dan simpati masyarakat Surabaya, sebetulnya wajar. Karena kiprah dan dedikasinya untuk Surabaya, cukup banyak. Boleh dibilang kontribusi positifnya untuk kota dan warga Surabaya sudah tercatat dengan tinta yang tak bisa dihapus. Selain itu kalau dilihat kasusnya – dimana Dahlan dituduh melakukan korupsi di sebuah perusahaan daerah, perusahaan sakit yang berhasil dia sehatkan, kesan bahwa Dahlan sedang diincer atau dikorbankan – terasa sangat kental. Yang jadi tanda tanya, siapa oknum yang berkepentingan menjadikan Dahlan sebagai korban. Jadi citra Dahlan sangat berbeda dengan – katakanlah Boss Media lainnya di Indonesia - baru disebut menjadi tersangka saja, sudah dicibirin bahkan disumpahin diam-diam oleh banyak orang. Boss Media macam begini, belum apa-apa sudah menjadi musuh bersama, musuh rakyat banyak. Dahlan bukanlah koruptor seperti misalnya seorang PNS yang berpangkat Dirut yang menyelewengkan uang perusahaan. Sebab Dahlan masuk ke perusahaan daerah itu bukan untuk mengejar kekayaan dan mencari sesuap nasi. Melainkan untuk sebuah pengabdian. Dia orang berada, orang yang secara materi berkecukupan bahkan berkelebihan yang ingin berbagai dengan cara bekerja yang produktif.Bagaimana tidak ? Ketika ditunjuk pemerintah daerah untuk menyehatkan perusahaan daerah, justru Dahlan harus mengeluarkan uang sendiri sebesar Rp. 35,- milyar. Dan suntikan dana pribadinya itu membuat perusahaan tersebut bisa survive. Tapi ironisnya setelah 12 atau 14 tahun kemudian, setelah perusahaan itu memiliki nilai ekonomi yang cukup besar dan Dahlan sudah mengundurkan diri, tanpa petir dan hujan badai, dia digugat sebagai tersangka dengan tuduhan ‘menilep’ uang perusahaan sebanyak Rp. 25,- miltar ! Dahlan juga bukan tipe pemilik modal yang rakus mengakusisi semua media yang mengalami kesulitan. Dahlan lebih suka membantu bukan mau menjadi dominator. Dia juga tidak punya agenda bagaimana merusak lawan bisnis ataupun politik dengan memanfaatkan media miliknya sendiri. Dan satu hal yang fenomenal, media-media mainstream, media sosial dan ‘on line” baik di Surabaya maupun di Jakarta sepertinya sadar. Bahwa Dahlan Iskan sosok yang tidak bermasaalah namun tiba-tiba dinyatakan memiliki masalah. Sehingga tidak terjadi, adanya publikasi yang memberikan kesan bahwa Dahlan Iskan seorang koruptor, seorang yang mencuri harta masyarakat., seorang penjahat namun berpenampilan seperti manusia berakal budi baik. Dampak positif dari tidak adanya publikasi negatif tersebut, sekalipun menjadi tahanan kota, kemanapun dia pergi sepanjang masih di sudut kota Surabaya, Dahlan tetap dilihat sebagai warga kota yang bermartabat. Dahlan adalah Raja Media yang opini positif dirinya tetap terjaga. Respektasi terhadap Dahlan Iskan datang dari berbagai strata. Dahlan Iskan tercatat sebagai salah seorang manusia terkaya di Indonesia. Namun dia tidak pernah menggunakan “body guard” berlapis-lapis. Mungkin karena dia merasa tidak punya musuh dan tidak pernah menyakiti orang – misalnya dengan mem-PHK karyawan secara massal. Sebuah kisah kecil, diungkapkan oleh tamunya yang melakukan ‘test drive’ atas mobil listrik “Tesla”. Saat berhenti di lampu merah, seorang polisi lalulintas yang bertugas di situ, menyempatkan diri – merapat ke bagian depan mobil, sambil memberi gestur simpati dan salam persahabatan. Boleh jadi karena Pak Polisi tahu, bahwa “Tesla” yang termasuk mobil mewah dan satunya jenis itu yang ada di Surabaya, dia kenali sebagai milik Dahlan Iskan. Saya sendiri sejak awal, memantau secara hati-hati dari jauh. Saya cukup heran dengan sikap diamnya terhadap apapun yang dilakukan oleh oknum penegak hukum pada dirinya, Yaitu dia tidak berusaha membela diri secara berlebihan atau berteriak misalkan dengan berkata dia dizolimi oleh penegak hukum. Sementara di mata saya, modalnya untuk membela diri, cukup kuat. Antara lain adanya simpati dan empati masyarakat lingkungan. Mereka tidak menganggapnya sebagai seorang tokoh yang senang melanggar hukum. Sebagai pemilik media, dia punya hak istimewa untuk mengerahkan kekuatan dan pengaruh dan kekuatan medianya. “Anda punya lebih dari 200 koran (Radar)di daerah. Anda punya tidak kurang dari 20 televisi lokal di berbagai kota selain harian Jawa Pos yang sudah menjadi koran nasional. Saya lihat anda tidak pernah menggunakan media-media itu untuk membela kepentingan anda. Mengapa ”, bertanya saya kepadanya dalam satu pertemuan empat mata Minggu 11 Juni 2017. Saya memang sengaja menemui Dahlan Iskan di Surabaya untuk sebuah wawancara, karena kasus hukum yang menimpa dirinya, saya rasakan, sebagai ada hal yang janggal. Sekalipun tidak persis sama, tetapi persoalan hukum Dahlan Iskan, mengingatkan saya pada kasus yang menimpa Situ Fadilah, Menteri Kesehatan di era SBY periode 2004 – 2009. Dahlan seperti terkejut mendengar pertanyaan tersebut. Dan sejatinya dia seperti tidak mau berbicara terbuka. Sehingga saya harus memberi ilustrasi tentang prilaku beberapa pemilik media lainnya yang saya kenal. Sepanjang pemantauan saya, pemilik media yang menggunakan media miliknya sendiri untuk membela kepentingan bisnis ataupun politik, sudah menjadi ideologi sekaligus ‘agama’nya. Setelah berpikir beberapa detik, Dahlan Iskan akhirnya menjawab, memang hal itu – kebijakan untuk tidak menggunakan media milik sendiri untuk membela kepentingan dirinya sendiri, merupakan kebijakan korporat dan baku. Kurang puas dengan jawaban tersebut, sekaligus ingin menggali sejauh mana kebijakan itu menjadi prinsipnya yang kuat saya menyela: “Maaf, tapi anda kan bukan orang seperti pencuri atau menipu pihak lain, sehingga tidak pantas dibela…….”Dahlan tetap dengan sikapnya bahwa apa yang saya tanyakan sekaligus usulkan, bukan sesuatu yang sesuai dengan prinsipnya. “Pada sisi lain saya lihat ada yang kontradiktif. Sepertinya anda tidak ambisius kekuasaan,tapi ternyata tahun 2014 anda ikut konvensi Calon Presiden Partai Demokrat. Bagaimana ceritanya?” “Saya sebetulnya tidak tertarik. Tapi oleh Pak SBY saya ditawari mendaftar. Akhirnya saya tidak mendaftar. Belakangan SBY tahu saya tidak mendaftar. Lantas saya akhirnya menuruti keinginan SBY”, katanya. Dahlan Iskan sebetulnya keluar sebagai peraih suara terbanyak dari 10 kandidat peserta konvensi Partai Demokrat. Sayangnya Dahlan tidak bisa dicalonkan, berhubung kuota suara yang diraih Partai Demokrat pada Pemilihan Legsilatif 2014, tidak cukup memenuhi syarat untuk mencalonkan Calon Presiden. Perspektif Dahlan tentang wartawan dan kekuasaan sengaja saya angkat berkaitan dengan hari jadi “Jawa Pos” kemarin yang ke-68 tahun. Dari laporan yang ada, hari ulang tahun dirayakan secara meriah oleh warga “Jawa Pos”. Suka cita dan keceriaan mewarnai wajah-wajah para keluarga besar “Jawa Pos” grup. Bisa jadi karena hubungan kekeluargaan antar sesama keluarga media tersebut sudah demikian erat. Dan keeratan ini menghasilkan bisnis “Jawa Pos” sehat dan positif. Jika media lain melakukan PHK massal, akkibat krisis keuangan, ”Jawa Pos” tidak demikian. Di tengah kuatnya arus serangan media online terhadap media cetak, “Jawa Pos” justru semakin kokoh sebagai media cetak yang jadi pilihan pembaca. Penurunan oplag memang terjadi. Namun tidak signifikan. Sebaliknya pemasang-pemasang iklan, semakin memilih “Jawa Pos” sebagai pilihan utama, walaupun ada penurunan penjualan tiras. Hal mana membuat kondisi keuangan harian ini tetap sehat. Dari tayangan di sebuah akun Instagram tentang pesta perayaan ulangtahun ke-68 tersebut, jelas tergambar kegembiraan itu menjadi milik bersama. Antara Dahlan Iskan sebagai Big Boss dengan ribuan karyawan yang mendedikasinya apa yang mereka miliki sebagai karyawan pers. Selamat dan Selamat Ulang Tahun “Jawa Pos”. Semoga harian ini tetap menjadi ikon pembela dan penegak kebenaran untuk semua. *) Derek Manangka adalah Wartawan Senior yang tingal di Jakarta. Jawa Pos