Perspektif Keilmuan Indonesia?
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD.
Dosen HI Universitas Jember dan
Taiwan’s MOFA research fellow di Wenzao Ursuline University.
Mengapa ilmu-ilmu sosial didominasi oleh perspektif Barat? Mengapa setiap perspektif alternatif, khususnya di Indonesia dan mungkin juga di Asia Tenggara, terpinggirkan atau tidak berkembang?
--
“Ilmu Politik lebih tua dari sosiologi”. Begitulah, sebuah caption sempat muncul di media sosial. Saya terprovokasi dan memantik diskusi. Katika saya share di sosial media, komentar kritis muncul dari Professor Bustami Rahman, seorang sosiolog: “Itu benar jika didasarkan pada pandangan otoritas Barat ... tapi tidak benar jika didasarkan pada sejarah kebangkitan sains di Afrika utara. Lihat pandangan ilmiah Ibn Khaldun tentang perspektif sosial yang telah muncul tiga abad sebelum August Comte, sosiolog Perancis. Bagaimanapun, ilmu politik lebih tua dari sosiologi adalah fakta normatif”.
Saya mencoba menanggapi untuk menghidupkan diskusi: “Jika demikian, bagaimana dengan fakta bahwa buku Aristoteles bertajuk “Politics” yang ditulis sebelum masehi?”.
Tanggapannya justru menantang, sekaligus menuntut riset lebih jauh. Dia berkata: “Saya sama sekali tidak ada perbedaan pendapat dengan pernyataan tersebut. Tradisi ilmiah Islam awalnya berakar dari filsafat Yunani. Tapi, Barat mengklaim bahwa tradisi ilmiah mereka adalah asli ... padahal itu tidak benar! Sesungguhnya, Barat telah mengambil akar sains dari tradisi Islam ketika kekuatan Islam menguasai Spanyol selama tujuh abad”. Dalam hal ini, saya teringat pendapat sohib, seorang akademisi dari Amerika, bahwa Barat telah ‘membajak’ peradaban Islam.
Pemakaian terminologi 'otoritas Barat' di atas, cukup menarik. Namun, saya lebih suka menggunakan istilah 'hegemoni ilmiah Barat', mengingat fakta bahwa Ibn Khaldun melalui karyanya Muqaddimah, yang lebih dari 1000 halaman dan menurut pengakuannya ditulis hanya dalam waktu enam bulan, telah menawarkan perspektif non-Barat dalam ilmu sosial.
Tapi, paradoksnya, Syed Farid Alatas (2014) mensinyalir bahwa kini, pendidikan kita justru cenderung mencerminkan pendidikan yang ada di Barat. Eurosentrisme juga telah menjadi fitur utama dari ilmu-ilmu sosial kita, sehingga keterasingan dari tradisi keilmuan kita tidak dapat dihindari.
Walhasil, pertanyaan-pun muncul beruntun: Mengapa ilmu-ilmu sosial didominasi oleh perspektif Barat? Mengapa setiap perspektif alternatif, khususnya di Indonesia dan mungkin juga di Asia Tenggara, terpinggirkan atau tidak berkembang?
Peran August Comte dalam pembentukan sosiologi sebagai disiplin ilmu, memang tidak perlu diragukan. Dialah yang merumuskan istilah sosiologi. Bukunya, Cours De Philoshopie Positive, memberikan alur baru dalam memandang masyarakat.
Namun, tidak sedikit pula yang mengakui bahwa Ibn Khaldun, cendekiawan Muslim dan pemikir sosial yang produktif pada abad ke-14, merupakan 'Bapak' sosiologi.
Ironisnya, namanya terkesan relatif kalah populer dibandingkan dengan sosiolog Barat, seperti Emile Durkheim, Max Weber, Talcott Parson, atau Peter Berger.
Padahal, Ibnu Khaldun adalah pelopor kajian sosiologi dengan teorisasinya tentang asobiyyah (kohesi sosial). Bahkan, dengan meminjam ungkapan Isaac Newton, bisa dikatakan bahwa semua sosiolog kontemporer secara akademis ‘berdiri di atas bahu raksasa akademis ini’ (stand upon the academic giants)
Salah satu alasannya, mungkin, Muqaddimah bukanlah karya akademik yang secara eksklusif membahas sosiologi. Ibn Khaldun secara kritis juga menggunakannya, setidaknya sebagian, untuk mengajukan perspektif alternatif tentang sejarah.
Dia ingin ilmu sejarah berjalan dalam alur yang benar. Dalam konteks ini, Khaldun mengkritik 'penyebab kebohongan' (the causes of lies) dalam sejarah, seraya menekankan pentingnya mengungkap ‘makna batin’ (inner meanings) dari setiap peristiwa.
Gambaran kondisi ilmu-ilmu sosial kita di atas merupakan tantangan. Sudah saatnya untuk memulai kembali memikirkan perspektif kita ‘sendiri’ sebagai alternatif terhadap sudut pandang Barat.
Sebenarnya, ini bukanlah gagasan Baru. Pada tahun 1980-an HIPIIS sudah pernah menginisiasinya. Namun, kelanjutan dari semangat ini nampak suram. Tak pelak, perspektif akademis kita tetap terjerembap Eurosentrisme, apapun subyeknya.
Dengan gagasan indigenisasi ilmu sosial ini, bukan berarti perspektif Eropa tidak lagi relevan dengan konteks sosial-politik kita. Tapi, memiliki multi-perspektif akan memungkinkan kita untuk memiliki sudut pandang yang lebih luas, kaya, dan penuh warna.
Pertanyaannya: apakah mungkin? Secara pribadi, saya cenderung optimis. Setidaknya ada dua alasan yang melandasinya.
Pertama, kita pada dasarnya adalah 'ahli' tentang konteks sosial kita sendiri. Bahkan, pemahaman kita disertai dengan empati yang mendalam terhadap negara-bangsa (nation-state) Indonesia, beserta semua unit dan aspek turunannya.
Dalam konteks ini, Jacob Cornelis van Leur (1955) pernah membuat metafora yang menarik. Dikatakannya: “Seorang peneliti asing mungkin mampu melihat dan menjelaskan komunitas kita, tapi hanya sebatas melalui teropongnya dari perahu yang jauh dari pulau yang kita huni; sementara kita tinggal di pulau itu, sehingga sebenarnya kita lebih bisa mengamati semua lingkungan kita dengan mata kepala sendiri dan, dengan demikian, secara normatif lebih kompeten untuk menjelaskannya secara lebih baik!”
Kedua, para sarjana non-Barat, termasuk dari Indonesia, terbukti juga mampu membuat proyek akademik kelas dunia. Salah satu contohnya, adalah Soemarsaid Moertono. Akrab dengan panggilan “Mas Moer”, sosok ini digambarkan sebagai orang Jawa yang rendah hati.
Ia menulis thesis Master of Arts (MA), yang kemudian dipublikasikan dengan judul "Negara dan Tata Negara di Jawa Kuno: Studi Masa Mataram Belakang, XVI-XIX", di Universitas Cornell, USA (1968).
Karyanya ini menuai pujian tinggi, bahkan menjadi salah satu karya akademik yang paling banyak dirujuk untuk studi Indonesia. Misalnya, Benedict RO’G Anderson (2016), seorang Indonesianist terkemuka, memujinya melalui sebuah kisah yang dialaminya.
Allan Bloom, seorang akademisi kelas satu di bidang teori politik mulai dari Plato hingga Marx; mengagumi Mas Moer dengan mengatakan kepadanya: "Yah, Anda tahu bahwa orang Yunani Kuno, bahkan termasuk Plato dan Aristoteles, tidak memiliki konsep kekuasaan seperti yang kita kenal sekarang".
Karya Mas Moer ini akhirnya juga menginspirasi Benedict Anderson sendiri untuk menghasilkan artikel seminalnya, “The Idea of Power in Java Culture” (1972).
Mas Moer berpendapat bahwa beberapa konsep budaya klasik Jawa pada dasarnya adalah konsep modern. Konsep-konsep tersebut bahkan muncul jauh sebelum Max Weber menuliskannya dalam berbagai bukunya.
Peter Carey, sejarawan Inggris yang terkemuka, mengilustrasikan beberapa di antaranya. Konsep hubungan 'kawula-gusti' Jawa, misalnya, sebenarnya bersifat impersonal dan secara konseptual selaras dengan otoritas legal-rasional Max Weber.
Selain itu, konsep 'wenang wisesa ing sanagari' (kekuasaan tertinggi Raja atas kerajaan) dari teks "Nawaruci" (1613), juga mirip dengan definisi Weber tentang kedaulatan negara, seperti dimuat dalam bukunya 'Politics as a Vocation' (1919), yaitu 'monopoli atas penggunaan kekuatan-kekuatan koersif secara sah'. Dengan semua argumen akademis ini, tidaklah mengherankan jika Peter Carey menilai thesis MA Mas Moer setara dengan sebuah disertasi PhD!
Kisah akademis di atas, setidaknya bagi saya, melahirkan kekaguman yang berujung kenikmatan. Namun, keduanya cepat berlalu, karena pertanyaan yang menghardik sedang menunggu: Quo vadiz ilmu-ilmu sosial kita? Wallahu’alam …