Persoalan Stunting dalam Perspektif Muhammadiyah, Ini Kajian Nasyiatul Aisyiyah
Jogjakarta: Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiah (NA) membahas Kajian Tematik dengan tema ‘Stunting dalam Perspektif Islam dan Muhammadiyah’. Majelis Tarjih memahami stunting sebagai bagian dari fiqih anak.
Wawan Gunawan Abdul Wahid, Divisi Fatwa dan Pengembangan Tuntunan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah mengatakan, perlu ditilik masalah stunting dari sudut pandang gerakan Muhammadiyah.
Yang pertama adalah feeding (santunan dan pemberdayaan) dengan cara memberi makan anak panti asuhan, schooling (pendidikan) yaitu membangun madrasah atau sekolah, dan healing (pengobatan dan penyehatan) yang dalam hal ini adalah meyediakan rumah sakit atau PKU.
“Ketiga hal itu semata untuk memberikan pelayanan bagi umat terkait kesehatan dan kebutuhan perseorangan,” ujar Wawan, pada kegiatan yang digelar Sabtu (21/10/2017) bertempat di Hotel Ros-In, Yogyakarta.
Wawan pun menyampaikan usaha NA dalam menggiatkan pencegahan stunting bersama dengan organisasi yang peduli stunting, seperti Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) merupakan implementasi dari fastabiqul khairat yang menurut kebanyakan orang maknanya dimengerti sebagai berlomba – lomba dalam kebajikan.
Sementara itu, Hamam Hadi, Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) menyampaikan, stunting dapat dikatakan sebagai persoalan dari kurangnya gizi.
“Angka stunting di Indonesia mencapai 37,2% yang berarti 1/3 mendekati separuh bagian dari Indonesia, apalagi di NTT yang 50% anak – anaknya terkena stunting,” ungkap Hamam.
Hal ini kemudian yang menjadi hambatan bagi Indonesia melahirkan generasi - generasi yang unggul, itulah sebabnya pada diskusi ini Hamam mengatakan bahwa kenapa stunting menjadi penting.
“Survei stunting pada anak dimulai tahun 2007 pendek, lalu pada tahun 2010 hasilnya turun menjadi 35,6% tapi tahun 2013 naik jadi 37,2%. Ini menjadi pekerjaan rumah (PR) yang besar untuk kita, perosalan ini belum rampung,” ujarnya.
Dari tahun 2007 sampai 2010, prevalensi Indonesia secara Nasional wilayah yang banyak terdapat anak yang mengalami stunting adalah di NTT, Sulawesi Barat, dan Papua Barat.
“Hal ini terjadi karena proyek – proyek besar pengelolaan stunting dikelola oleh asing, sehingga kewenangan pemerintah Indonesia sangat sedikit. Karena proyek besar langsung dikelola dari sana,” imbuhnya.
Hamam menambahkan, macam-macam stunting cukup bervariatif. Di antaranya adalah marasmus yaitu kurang gizi yang ditandai dengan berat badan rendah, kemudian tinggi badan anak yang pendek dibandingkan dengan tinggi anak – anak lain yang berusia sama dengannya, kurus (westing), dan kelebihan berat badan yang semuanya itu dapat dikelompokkan ke dalam makronutrien.
Sedangkan adanya masalah serius pada konjungtiva mata hingga dapat menyebabkan buta termasuk ke dalam zat gizi yang mikro (mikronutrien).
Hamam menuturkan bahwa anak dikatakan stunting apabila kurva menunjukkan angka kurang dari minus 2 dalam standar deviasi World Health Organization (WHO).
“Merujuk WHO, nominal yang pas dari z sore yang baik adalah 0, tidak lebih atau tidak kurang,” ungkapnya.
Hamam juga mengungkapkan, kemungkinan stunting jauh lebih besar dialami oleh orang miskin, tetapi fakta di lapangan mengatakan masyarakat kelas menegah atas urban juga dapat mengalaminya, hal ini dikarenakan gaya hidup yang serba instan dalam mengonsumsi makanan.
Terlebih Hamam mengemukakan hasil penelitian yang menyatakan anak-anak dengan riwayat stunting di waktu kecil berisiko 7 kali lipat memiliki berat badan berlebih ketika dewasa. (adi)
Advertisement