Menengok Persiapan Hari Raya Nyepi di Pakisaji Malang
Menjelang perayaan Hari Raya Nyepi, umat Hindu di Desa Glanggang, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang, menyiapkan puluhan ogoh-ogoh untuk Tawur Agung atau perang kebenaran atau Tawur Kesanga.
Salah satunya adalah Dwi, 25 tahun. Selama tiga minggu terakhir, Dwi dibantu seorang temannya membuat ogoh-ogoh setinggi hampir dua meter.
Dwi menghabiskan kurang lebih 700 ribu rupiah untuk membuat satu ogoh-ogoh. Dia juga melengkapi ogoh-ogoh bikinannya dengan speaker dan aki agar bisa digunakan untuk memutar alunan gamelan.
Tenaga aki juga digunakan untuk menghidupkan dinamo kipas yang dipasang di punggung ogoh-ogoh. Selain itu, ogoh-ogoh bikinannya semakin mentereng dilengkapi dengan hiasan lampu di setiap sisi.
"Tapi nanti pas mau dibakar dicopot dulu mas," tutur Dwi sambil menahan tawa menjelaskan pernak-pernik ogoh-ogoh.
Selain Dwi, puluhan warga lainnya juga membuat ogoh-ogoh demi meramaikan penyambutan Tawur Agung atau Tawur Kesanga. Ada yang tingginya sampai tiga meter. Besaran biaya yang dikeluarkan juga beragam, bisa sampai jutaan rupiah tergantung besar bentuknya dan pernak-perniknya.
Meski penuh dengan hiasan, kesan seram masih melekat pada tubuh-tubuh ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh mewakili sosok Bhuta Kala, dalam kepercayaan Hindu, wujudnya memang menyeramkan.
Ketua Prasada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Suryanto menjelaskan bahwa ogoh-ogoh adalah simbul angkara atau ketidakbenaran.
Dalam prosesi upacara Tawur Kesanga atau Tawur Agung yang akan diadakan pada Rabu 6 Maret 2019 malam, ogoh-ogoh dibakar sebagai simbol untuk menghapuskan sifat negatif di bumi.
Setelah pembakaran ogoh-ogoh, umat Hindu akan melaksanakan ibadah Nyepi di keesokan hari. Umat Hindu akan melaksanakan Catur Brata, yakni penyepian yang terdiri dari amati geni, dengan tidak menyalakan api.
Suryanto menjelaskan bahwa amati geni tidak hanya mematikan api dalam bentuk fisik tapi juga api yang ada dalam diri manusia seperti amarah dan dendam.
Kemudian amati karya, umat Hindu diharapkan untuk tidak bekerja seperti rutinitas sehari-hari. Yang ketiga amati lelungan, dengan tidak bepergian keluar rumah.
Terakhir amati lelanguan dengan tidak melakukan kegiatan hiburan seperti menonton televisi. "Semuanya ini agar dunia seimbang dan damai," tambah Suryanto.