Persatukan Rakyat, Pak!
Oleh: Erros Djarot
Seharusnya para pemimpin di era millenial ini, memahami, menghayati, dan menjiwai mengapa para pendiri republik (founding fathers) selalu menekankan pentingnya persatuan rakyat. Sehingga amanat agar persatuan rakyat dijaga dan dipelihara, sengaja dititipkan kepada bangsa ini lewat satu butir dalam Pancasila. Dengan demikian, Persatuan Indonesia (sila ketiga) merupakan amanat konstitusi agar eksistensinya selalu terjaga dan dijaga selamanya.
Amanat ini dihadirkan berdasarkan pengalaman empirik bahwa hanya dengan bersatunya rakyat akan terbangun kekuatan sejati bangsa Indonesia. Terbukti kekuatan inilah yang mampu mengusir penjajah dan menghancurkan segala bentuk belenggu penjajahan terhadap bangsa dan rakyat Indonesia. Oleh karenanya, siapa pun pemimpin yang tidak memahami pentingnya amanat para founding fathers ini, dipastikan kepemimpinannya hanya akan membawa musibah besar bagi bangsa ini.
Dalam menjaga persatuan rakyat ini, harus dilakukan dengan langkah sejati yang memang sejatinya mempersatukan rakyat. Bukan menyatukan rakyat secara paksa atas kehendak dan desain penguasa demi kepentingan kekuasaan. Sebuah persatuan rakyat yang semu dan penuh polesan kepentingan politik penguasa. Hal mana terjadi semasa rezim Orde Baru berkuasa. Dimana bersatunya rakyat diartikan dengan berkumpulnya rakyat dalam satu barisan ‘pembebek’ yang bermental yes and amen pada penguasa.
Dalam hal ini, persatuan rakyat yang dihadirkan merupakan desain politik yang justru menghilangkan kekuatan rakyat itu sendiri. Hak politik mereka dikebiri. Suara mereka dibungkam. Setiap jenis kegiatan kehidupan di masyarakat dikodefikasi dan digiring agar berada dalam satu naungan lembaga-organisasi yang terkontrol dan dikendalikan penguasa.
Bahasa rakyat dihancurkan. Sebagai ganti bahasa penguasa yang serba instruktif menjadi satu-satunya bahasa yang diberlakukan. Penguasa bicara rakyat mendengar. Penguasa memerintahkan, rakyat mengerjakan, tanpa diperbolehkan bersuara. Lewat politik yang melahirkan persatuan rakyat yang semu ini, terbukti rakyat kehilangan kekuatannya. Dan ketika rakyat kehilangan kekuatannya, maka bangsa ini pun kehilangan kekuatan sejatinya. Maka apa yang terjadi pada 1998 merupakan tumpukan gunung es permasalahan yang ketika ia meleleh dan mencair, terbangunlah kumpulan massa rakyat yang sangat kehausan dan merindukan kekuatannya kembali.
Maka rakyat yang sudah selama tiga dekade kehilangan bahasa dan cara untuk berkomunikasi, dengan cara masing-masing tampil bergerombol-gerombol dan saling maju sebagai kelompok yang paling berhak memimpin negeri ini. Dari rakyat yang serba tertekan, dalam sekejab, ketika Pak Harto mengumumkan pengunduran dirinya, maka pada hari itu pula rakyat merayakan kebebasan yang hyper eforia. Semarak digelar dengan motto…bebas dan sebebas-bebasnya!
Para pemimpin saat itu tak mampu menyatukan rakyat untuk berada dalam kebebasan yang produktif dan menguatkan kekuatan rakyat itu sendiri. Mereka saat itu malah melakukan politik segregasi yang kembali memecah kekuatan rakyat. Bila dalam rezim Orde Baru persatuan dilakukan secara paksa dan keterkekangan, pada era reformasi pentingnya persatuan rakyat diganti dengan pentingnya kebebasan. Rakyat boleh melakukan apa saja. Sehingga lahirlah istilah Demokrasi Kebablasan.
Oleh eforia kebebasan ini, para pemimpin melupakan bahwa mereka adalah panutan yang harus terlebih dahulu bersatu sebagai percontohan. Mereka malah asyik membangun komunitas pengikutnya, berkumpul menyatu di bawah panji-panji bendera kepemimpinannya. Sehingga kalimat kata ganti ‘kita’ pun lenyap dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat Rezim Reformasi terbangun. Yang ada hanya lah kata ganti ‘mereka’ bukan ‘kami’ dan kami tidak sama dengan mereka. Mereka lawan kami dan kami siap melawan mereka.
Dampak dari disorientasi kepemimpinan rakyat ini, himbasannya terasa hingga sekarang. Pengkotak-kotakan dan pemisahan barisan rakyat melalui pendekatan segregatif, diberlakukan dan dipelihara hingga sekarang. Momentum puncak gerakan reformasi yang ditandai dengan lengsernya presiden Suharto, gagal dimanfaatkan untuk menyatukan rakyat dalam satu kekuatan membangun kekuatan sejati bangsa Indonesia sebagaimana amanat para Founding Fathers.
Dalam catatan saya, tidak pernah terselenggara satu momen kesadaran para pemimpin saat itu untuk melakukan konsolidasi kekuatan nasional. Hal yang tak lain adalah upaya menyatukan rakyat dalam satu barisan massa yang sadar akan hak dan tanggung jawabnya dalam menjaga dan membangun bangsa dan negara sebagaimana amanat Kemerdekaan 1945, Pancasila, dan UUD-45. Sebaliknya para pemimpin saat itu malah saling mengembangkan ego sektoralnya masing-masing dan luapan semangat untuk berkuasa dan menguasai semuanya!
Gelaran Pemilu 1999 merupakan sarana yang disediakan secara tertata oleh kekuatan tertentu yang telah berhasil membuat para pemimpin Reformasi saat itu malah saling berdiri sendiri sendiri dan bahkan saling berhadapan. Maka sejak saat itu, atas nama demokrasi liberal yang kebablasan, tak menyisakan ruang bagi bersatunya massa rakyat dalam kesadaran akan tanggungjawabnya sebagaimana harapan.
Disorientasi kepemimpinan yang demikian tragis dan menyedihkan ini, agaknya dipertahankan dan berlanjut hingga sekarang. Bahkan pada saat Pilpres 2019 digelar, penajaman garis pemisah yang menghancurkan persatuan rakyat semakin diperjelas. Rakyat bangsa ini menjadi terbelah menjadi dua kelompok; Kaum Kadrun dan Kaum Cebong! Menyedihkan.
Sangat menyedihkan lagi ketika terjadi pembiaran seakan ada garis pemisah antara kaum Nasionalis dan kaum Agamis. Seolah yang agamis tidak Nasionalis; dan yang Nasionalis tidak agamis. Padahal kekuatan sejati rakyat bangsa Indonesia muaranya ada pada bersatunya kaum Nasionalis dan agamis. Khususnya pemeluk Islam dan Kaum Nasionalis (abangan dan non abangan). Dan terkhusus lagi bersatunya kaum Marhaen dan kaum Nahdliyin plus Muhamadiyah. Siapa pun yang ingn melemahkan dan menghancurkan kekuatan bangsa ini pasti menerapkan strategi adu domba terhadap dua kelompok besar ini. Dan hal itu lah yang sekarang tengah terjadi.
Mereka kaum pemecahbelah itu, sering dikenal sebagai kaum Kapitalis baru, Imperialis baru, Kaum ekstrim kanan, kiri, Wahabi…dan entah apa lagi. Siapa pun mereka sebenarnya menjadi bukan apa-apa ketika para pemimpin bangsa ini tidak berada dalam disorientasi kepemimpinan nasional, dan tetap pada garis kepemimpinan sebagaimana amanat konstitusi UUD-45 dan Pancasila.
Untuk membangun kesadaran ini, bukan pasukan buzzer yang harus diperbanyak dengan biaya negara yang cukup besar. Yang perlu diperbesar adalah langkah kenegarawanan yang menyatukan seluruh potensi kekuatan rakyat bangsa ini. Bukan malah memperlebar jurang perbedaan dan permusuhan. Memperlebar ruang tudingan mereka tidak Pancasilais dan kami lah yang paling Pancasilais.
Yang diperlukan bangsa ini adalah kehadiran pemimpin yang melaksanakan Pancasila dalam praktek. Bukan dalam ruang wacana dan pencitraan belaka!
Kepada pak Jokowi sebagai Presiden Kepala Pemerintahan yang juga berkedudukan dan berkewenangan sebagai Kepala Negara, sebagai rakyat permohonan kami sangat sederhana; persatukan rakyat, Pak.
Kami perlu ruang yang dilahirkan oleh kebijakan seorang Kepala Negara sehingga membuat kami tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus bersatu untuk memenangkan Indonesia dalam artian yang luas. Sehingga kita bersama mampu keluar sebagai bangsa pemenang melawan pandemik Covid-19 maupun segala bentuk tantangan, karena rakyat bersatu. Dengan Persatuan rakyat yang sejati, akan terbangun kekuatan sejati bangsa Indonesia.
Saya percaya kita masih punya seorang Kepala Negara yang dapat menghadirkan negara dalam setiap peristiwa perlunya menterjemahkan dan melaksanakan amanat penderitaan rakyat!
Langkah awalnya, persatukan rakyat dulu, pak!
*Tulisan ini dikutip sutuhnya dan Watyutink.com