Persamaan Kedudukan Warga Negara, Ini Penjelasan Gus Mamak
Rasionalisasi penyebutan muwathin atau warga negara kepada setiap penduduk suatu negara, sangat penting. Apalagi di tengah masyarakat majemuk seperti di Indonesia.
Mohammad Nailur Rochman alias Gus Mamak, Pengasuh Pesantren Bay al-Hikmah Pasuruan memberikan penjelasan soal keputusan Munas Nahdlatul Ulama (NU) tentang sebutan kafir yang menghebohkan itu.
"Di dalam negara Indonesia mempunyai karakter yang berbeda dengan negara lain yang beranekaragam, baik itu dari suku, budaya, agama, kelompok, serta adat istiadat. Dari keragaman terebut diharapkan setia warga negara memiliki rasa toleransi dengan perbedaan tersebut, agar terciptanya keadaan masyrakat yang aman, tentram, serta damai," tuturnya, Sabtu 2 Maret 2019.
Oleh sebab itu, menurut Gus Mamak, seharusnya negara harusnya berlaku bijak dengan mengunakan asas persamaan derajat, harkat, dan martabat bagi seluruh lapisan masyarakat, sehingga mampu terciptanya rasa keadailan serta adanya persamaan derajat untuk setiap warga negara.
"Dalam kita menjalani kehidupan berbangsa serta bernegara, setiap warga negara mempunyai ikatan khusus dengan negaranya, sehingga akan meminimalisir adanya tindakan kesewenang-wenangan pemerintah terhadap warga negara," tutur Putra KH Idris Hamid ini, yang ikut dalam sidang Bahtsul Masail Munas NU di Banjar.
Begitu juga antara warga negara dengan warga negara yang lain yang memiliki ikatan khusus dan ada hukum yang mengaturnya. Oleh sebab itu, dalam UUD 1945 juga mengatur permasalahan tentang persamaan kedudukan antar warga negara.
"Ini saya dapat dari pelajaran PPKN..," kata Gus Mamak. "Yang saya pahami dalam trilogi ukhuwwah, kita sebagai makhluk sosial terikat karena ikatan keimanan, ikatan kebangsaan dan ikatan kemanusiaan. Maka dalam hal ini, konteks penyebutan yg dimaksud oleh NU adalah dalam konteks kehidupan kebangsaan, sebagai warga negara (citizen). Bukan dalam konteks akidah, dimana kita meyakini bahwa mereka bukan orang kafir."
"Yang bikin ruwet adalah karena NU jadi sasaran bully, maka apapun gerak geriknya akan selalu diperhatikan dan dicari kesalahannya.
"Kenapa bahasa media seperti itu? Karena itulah bahasa media. Media butuh perhatian dari pembaca, dan untuk mendapatkan perhatian, harus ada yang menarik di mata para pembaca," tuturnya.
Bahasa berita itu harus aneh! Jika ada berita berjudul "ada orang lari dikejar-kejar anjing" maka itu sama sekali tidak menarik dibandingkan dengan judul "ada anjing lari terbirit-birit dikejar-dikejar orang" (padahal yg ngejar itu pemiliknya sendiri sambil bawa pentungan). Dalam ilmu komunikasi, redaksi berita akan melahirkan opini.
Maka tidaklah heran jika begitu banyak opini bermunculan karena membaca sebuah judul berita. Begitulah. (adi)
"Rasionalisasi penyebutan muwathin atau warga negara kepada setiap penduduk suatu negara, sangat penting. Apalagi di tengah masyarakat majemuk seperti di Indonesia."
Advertisement