Persahabatan Murni, Arief Budiman di Mata Goenawan Mohamad (2)
Prof Dr. Arief Budiman, pelopor Kritik Sastra Kontekstual mengembuskan nafas terakhirnya di di Rumah Sakit Ken Saras, Salatiga, Jawa Tengah, pada Kamis, 23 April 2020 siang. Ia meninggalkan seorang isteri Leila Chairani Budiman, teman kuliahnya di Fakultas Psikologi UI, yang mendampingi hidup Arief Budiman hingga akhir hanyatnya.
Sejumlah intelektual telah menyatakan kesan mengenang pemilik nama asal Soe Hok Djin, yang kakak kandung intelektual legendaris Indonesia, Soe Hok Gie, ini.
Goenawan Mohamad, pendiri Majalah Tempo, bersama Arief Budiman, sebagai penandatangan Manifes Kebudayaan yang sempat dilarang di masa rezim Soekarno. Lalu, kesan apakah penyair kelahiran Batang yang akrab dengan Catatan Pinggir-nya itu.
Berikut tulisan Goenawan Mohamad bertajuk "Arief Budiman: Yang Akrab dengan Yang Murni". Dipetik dari antologi Arief Budiman (Soe Hok Djin) Melawan Tanpa Kebencian terbitan Galangpress. (Bagian terakhir dari dua tulisan)
PADA Arief , dunia ideal lebih penting. Saya ingat ia pernah menunjukkan tulisannya di Star Weekly, mungkin di tahun 1963: sebuah tulisan yang ringan yang mencoba memberi argumen mengapa filosof hampir semuanya laki-laki. Menurut Arief, kalau saya tak salah, karena pria lebih serebral, lebih bisa melintasi keterbatasan tubuh. Sedangkan perempuan sebaliknya: hidup dari laku, pragmatis, tak jauh dari badannya.
Tulisan ini, yang ditulis ketika ia berumur 22 tahun, pasti akan disesalinya jika ia baca sekarang: di dalamnya ia cenderung mengutamakan pria; kini ia akan dituduh sebagai “misoginis” — dan percaya akan adanya “esensi” laki-laki dan “esensi” wanita.
Tapi disadarinya atau tidak, dalam esei yang tak penting itu sayup-sayup bergaung pemikiran Sartre, atau latar berpikir yang menyebabkannya mudah menerima pembagian biner ala Sartre: di satu pihak ada kehidupan en-soi — yang tak digerakkan oleh kesadaran/pikiran/refleksi, yang terutama hanya akrab dengan apa yang konkrit, yang praktis dan statis. Di lain pihak adalah kehidupan pour-soi, yang sadar akan kesadarannya, yang bisa membentuk keadaan, dan tidak hanya dibentuk keadaan. Manusia adalah gabungan kedua kehidupan itu — meskipun (atau sebab itu) manusia tak pernah lengkap.
Perspektif biner seperti itu kuat dalam pandangan Arief: yang terkenal misalnya, ia melihat adanya beda yang tegas antara “gerakan moral” dan “gerakan politik”. Dan sebagaimana lazimnya, perspektif biner mengutamakan yang satu di atas yang lain. Arief tentu saja memilih “gerakan moral”. Ia meyakini yang-moral bahkan dalam hidup sehari-hari, dan ia menjaga kemurnian yang-moral bahkan sampai hal yang sepele. Saya ingat, misalnya, ketika ia jadi anggota Badan Sensor Film di akhir tahun 1968, mewakili seniman, ia menolak menerima rokok ‘555’ yang dibagikan importir film, bukan karena ia tak merokok, tapi karena baginya itu penyuapan dengan langkah-langkah kecil.
Kecenderungan idealisme kuat dalam diri Arief: ia meyakini bahwa kesadaran, komitmen, akan bisa mengubah keadaan; sementara gerakan politik, juga yang dengan agenda mengubah struktur, selalu terjebak dalam “tangan-tangan kotor”.
Marxisme-nya, yang ia dapat selama belajar dan bergaul di kampus Amerika di akhir 1970-an, saya kira juga menunjukkan itu. Ia terpikat karya-karya Marx muda, seperti pernah dikatakannya. Saya tak tahu sejauh mana ia memisahkan pemikiran Marx sebelum dan sesudah Das Kapital, ataukah ia justru melihat kesinambungan dan keutuhan filsafat bapak “sosialisme ilmiah” itu. Kesan saya, apapun pikiran Arief tentang itu, ia lebih cenderung kepada kalangan “humanis” dalam Marxisme — yang umumnya membawa warna “Marxisme etis”. Marxisme Arief bermula dari kesadaran akan ketidakadilan, dan kemudian membentuk konstruksi theoritis masyarakat. Dari sana ia menganalisa keadaan. Disertasinya di Harvard tentang Chile, negeri yang tak pernah dikunjunginya, khususnya Chile dan pemerintahan Salvador Allende, adalah contohnya.
Ia tampaknya orang yang, dalam pemikiran ilmunya, dalam pendekatan risetnya, mempraktekkan apa yang disebut sebagai “idealisasi”: menangkap realitas dengan cara membentuknya dalam ide dan menangkap problem yang disoroti dengan gamblang, sederhana.
Sebab itulah kita, dan banyak orang, menikmati esei Arief Budiman: prosa yang terang, clair et distinct. Kompleksitas, keruwetan, dan inkonsistensi dalam detail di dunia tak dibiarkan merecoki thesis yang hendak dikemukakan. Bukan kebetulan jika Arief, seorang yang dengan kapasitas yang ulung, mampu mencerna problem dan pemikiran yang rumit, dan sangat pintar dalam menguraikan persoalan secara sederhana. Saya pernah melihat ia menjelaskan sebuah problem ilmu statistika yang pelik kepada teman-teman sekuliahnya. Mereka senang, perkara jadi gamblang — sebagaimana kalau orang mengikuti paparan Arief Budiman tentang, misalnya “teori dependensi” dari Amerika Latin.
Dari ini juga tampak wajar transformasi Arief dari seorang penggemar filsafat menjadi seorang man of action, dari seorang yang bergerak dengan penuh gairah dalam kesenian dan pemikiran, menjadi seorang yang siap turun ke jalan sebagai sebuah statemen politik. Aktivisme menghendaki arah yang jelas.
Tak mengherankan bila Arief akhirnya tertarik kepada Marxisme, setelah di masa muda ia begitu “masuk” ke dalam pemikiran Camus dan Sartre.
Saya tak tahu prosesnya. Tapi saya menduga Sartre sebuah jembatan — atau bisa kita rekonstruksi sebagai jembatan. Pemikir Prancis ini, setelah mencoba memaparkan filsafatnya sebagai alternatif bagi Marxisme, di akhir tahun 1950-an berubah. Dalam Critique de la Raison Dialectique yang terbit di tahun 1960 Sartre menyatakan bahwa eksistensialisme berada di bawah Marxisme. Ia seorang “Marxis”, katanya merumuskan dirinya sendiri.
Arief tak pernah menjelaskan hal ini dalam tulisannya, (atau saya tak pernah mengetahuinya jika ia pernah) tapi seperti Sartre, ia mempunyai keyakinan humanistis yang unik: manusia dihukum untuk merdeka, dan dengan kemerdekaan itu ia tidak bisa dirumuskan sebagai makhluk dengan esensi tertentu. Ia menjadi sebagaimana dirinya karena ia memilih, berbuat, membuat.
Aktivisme Sartre — filosof ini, kita ingat, bukan hanya menulis karya-karya pemikiran yang tebal, tapi juga seorang penggerak demonstrasi dan petisi menentang kapitalisme dan imperialisme — bertolak dari pandangan tentang manusia yang saya sebut di atas: pandangan yang menolak ketentuan takdir. Aktivisme Arief juga demikian. Tapi harus segera saya tambahkan: pada Arief, ada pelbagai elemen lain dengan sejarah yang berbeda.
Arief tak memandang orang lain sebagai ancaman, dan tak menganggap kehadiran liyan di dunia sebagai “neraka” (Sartre, dalam lakon Huis Clos: “Neraka, itulah orang lain.”). Sebaliknya Arief. Ia suka menemui orang lain. Ia mudah bertegur sapa, bertukar pikiran dengan tanpa ngotot. Komunikasi merupakan dorongan yang dominan dalam dirinya. Ia tokoh yang dihormati anak-anak muda, tapi ia sangat mudah mereka dekati sebagai kakak: seorang egalitarian par excellence.
Bahkan ia melihat konflik sebagai komunikasi. Ia sabar. Ia tak bisa menista orang. Tak pernah tercetus kata “babi” “anjing”, “kontol”, “bangsat” dari mulutnya. Arief sangat sopan dalam umpatan dibandingkan dengan saya atau, misalnya, dengan Marsillam Simanjuntak, sahabat dan teman seperjuangan kami dari masa ke masa. Ia tak pernah tercetus untuk menghina pendapat lain, juga yang bertentangan dengan pendiriannya. Kata negatif yang paling kasar dari mulut Arief: “payah!”. Ia punya kapasitas untuk mendengarkan, juga mendengarkan kritik yang paling keras.
Dengan sangat wajar ia bergabung dalam “pergerakan” dan jadi aktivis.
Tapi ada satu faktor lain yang membuatnya “bergerak”: Soe Hok Gie, adik kandungnya, persisnya sejak Gie meninggal dalam kecelakaan di Gunung Semeru.
Kakak beradik ini jarang bicara satu sama lain jika bertemu di antara orang banyak. Mereka saling menjauh, tampak tak ingin ada keakraban. Dunia pergaulan mereka berbeda. Gie akrab dengan aktivis Gerakan Mahasiswa Sosialis dan kalangan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dibubarkan Bung Karno dan pemimpinnya, Sjahrir, dipenjarakan. Gie lebih akrab dengan aktivis politik — bahkan dengan bekas peserta Pemberontakan Permesta. Di luar itu, ia akrab dengan kawan-kawannya di Fakultas Sastra, khususnya mereka yang gemar mendaki gunung. Sementara Arief lebih banyak bergaul dengan perupa seperti Nashar, Zaini, Oesman Effendi dan Trisno Sumardjo, dan kemudian dengan saya, Rendra, dan penulis lain.
Tapi ketika ia menulis obituari pendek tentang adiknya, Arief terasa tergetar, dan tergerak, oleh perjuangan Gie yang selama ini mungkin tak ia pedulikan. Ia menjemput jenazah Hok Gie dari Gunung Semeru. Di sana ia diberitahu ada tukang peti mati yang menangis karena kematian “orang yang berani” itu. Ketika Arief berbicara dengan seorang pilot AURI yang mengemudikan pesawat pembawa jenazah, pilot itu mengatakan, Gie mungkin bisa berbuat banyak kalau dia hidup terus.
Ini memberi Arief sebuah insight baru. Pada suatu saat, menurut Arief, Gie pernah menyatakan kebimbangannya: dalam perjuangan untuk “menolong rakyat kecil yang tertindas”, ia merasa makin lama makin banyak musuhnya dan “makin sedikit” orang yang mengertinya. Kata Gie pula, “kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian.”
Tapi di kaki Semeru itu Arief tahu, tak demikian halnya. Di sebelah peti mati adiknya ia berkata, “Gie, kamu tidak sendirian.”
Kemudian Arief membuktikan itu dengan bergerak sebagai aktivis, seakan-akan mengambil bendera keberanian yang terjatuh yang dibawa adiknya yang tewas. Ia tahu bahwa seorang “yang jujur dan berani” yang melawan ketidakadilan akan “mendapat dukungan tanpa suara dari banyak orang.”
Kepercayaan Arief kepada “banyak orang” itu bagi saya memperlihatkan sikapnya: dalam dirinya, tak ada arogansi, tak ada kekenesan seorang aktivis yang sedang berada di atas panggung perjuangan — malahan sebaliknya ada penghargaan kepada kemampuan seorang tukang peti mati yang jauh di udik sekali pun untuk jadi bagian dari demos, orang kebanyakan yang ikut membentuk nilai-nilai, yang ikut meneguhkan apa yang adil dan yang tidak, yang palsu dan yang tulus.
Berbeda dari Gie, Arief tak pernah mengatakan ia sendirian. Ia tahu ada yang heroik dalam posisi bersendiri (“Eagle flies alone”, atau “Lonely are the brave”). Tapi kesendirian dalam perspektif Arief sangat dekat dengan keikhlasan. Ketika ia memakai tokoh Shane dalam film western yang terkenal itu sebagai tauladan, ia menunjukkan nilai seorang yang menghadapi kesewenang-wenangan tanpa melibatkan orang lain ke dalam bahaya, seorang yang menghilang setelah melaksanakan keadilan tanpa meenunggu, tanpa perlu, aplaus dalam pengorbanannya.
Keikhlasan itulah yang membuat motif etis dalam aktivisme Arief Budiman. Ia bedakan gerakan yang ia prakarsai dari aktivisme “politik. Tapi sebenarnya secara paradoksal ia justru menunjukkan bahwa konstruksi biner yang memisahkan “gerakan moral” dan “gerakan politik” tidak selama-lamanya valid dan berlaku. Yang penting dari semua itu: Arief mengutamakan kemurnian.
Perjuangannya murni, sepi ing pamrih. Persahabatannya selamanya murni, tak pernah ada agenda lain. Percintaannya kepada Leila murni, sejak ia jatuh cinta, tak pernah ada orang lain. Ekpresinya murni, tak pernah ada dusta dan tipu muslihat.
Saya ingat apa yang dikatakan seorang sahabat yang mengagumi dan mencintainya: Ivan Kats, yang bekerja di Congres for Cultural Freedom di Paris di tahun 1960-an.
Sebelum Arief dan keluarga pindah ke Paris di tahun 1972 untuk bekerja bersama Ivan, di tahun 1964 Arief pernah tinggal di rumah keluarga Kats di Marly-le-Roi, sebuah kota kecil tua dengan hutan yang rindang di luar Paris. Kepada saya, yang mampir berlibur ke rumah itu waktu saya kuliah di Brugges, Belgia, mendiang Ivan dan isterinya, Evelina, seorang pelukis, bercerita: mereka beberapa kali mengajak Arief berjalan menyusuri hutan. Mereka tertegun anak muda Indonesia yang kurus itu akan berhenti di tepi sebuah kali kecil dengan air yang jernih, dan dalam cuaca musim gugur, langsung minum dari tempat itu.
“Ia sungguh akrab dengan apa yang murni”, kata Evelina.
Jakarta, 5 Januari 2018
*) Naskah ini terbit dalam antologi Arief Budiman (Soe Hok Djin) Melawan Tanpa Kebencian terbitan Galangpress,