Pers Internasional: Pernyataan Suu Kyi Banyak Bohongnya
Naypytaw: Pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi, sudah memberikan pernyataan tentang kekerasan di negara bagian Rakhine dan krisis pengungsi minoritas umat Muslim Rohingya yang menyeberang ke perbatasan Bangladesh.
Tak seindah perkataan dan kenyataan, terkait sikap Aung San Suu Kyi di mata pers internasional.
Pidato itu ternyata banyak mengecewakan dunia. Banyak pengamat mengatakan pidato 30 menit itu pada hari Selasa tidak seperti diharapkan dan mungkin telah mengaburkan tuduhan yang lebih serius terhadap kelompok militer di negara itu.
"Ini adalah waktu yang sangat penting dan banyak harapan di dalam maupun di luar negeri, bahwa dia akan mengemukakan sesuatu yang benar-benar dapat meredakan krisis saat ini," kata Khin Zaw Win, direktur Tampadipa Institute yang berkantor di Yangon.
Lebih dari 400.000 Muslim Rohingya telah meninggalkan negara bagian Rakhine utara dan mengungsi ke Bangladesh, menurut perkiraan lembaga bantuan, dan Myanmar harus mempertahankan diri terhadap tuduhan melakukan pembersihan etnis.
Jonathan Head, jurnalis BBC, yang meliput langsung kisah warga Rohingya yang masih berada di Rakhine dan di tempat penampungan di Bangladesh. Ia mengkaji beberapa pernyataan Suu Kyi itu dengan kenyataan yang disaksikannya di lapangan.
Berikut antara ucapan Aung San Suu Kyi dan kenyataan di lapangan:
Aung San Suu Kyi: "Sudah tidak ada konflik sejak 5 September dan tidak operasi pembersihan."
Pada tanggal 7 September, Jonathan Head ikut dalam lawatan media yang diatur pemerintah ke kota Alel Than Kyaw. “Kami mendengar tembakan senapan otomatis di kejauhan dan melihat empat kepulan asap, yang menunjukkan kampung-kampung dibakar,” tuturnya, dikutip ngopibareng.id, Rabu (20/09/2017).
Belakangan, masih hari itu, “kami melintasi Gaw Du Thar, kampung warga Rohingya yang dibakar sejumlah pengikut Buddha di Rakhine di depan polisi bersenjata dan dekat dengan barak polisi.”
Sekarang dari Bangladesh, “kami melihat kepulan-kepulan asap di sisi seberang Sungai Naf dan kepulan asap itu cukup besar yang menjadi pertanda kampung-kampung dibakar.”
Aung SanSuu Kyi mungkin tidak menyebutnya sebagai 'operasi pembersihan'. Namun, dengan kehadiran besar militer di kawasan itu, dekat dengan bantaran sungai, maka sulit untuk meyakini bahwa mereka tidak mendapat persetujuan diam-diam dari pihak berwenang di sana.
Aung San Suu Kyi: "Tindakan akan diambil atas semua orang -- terlepas dari agama, ras, dan posisi politik— yang melanggar hukum setempat dan melanggar hak asasi yang diakui komunitas internasional."
Sepanjang lebih dari 70 tahun pencatatan kekerasan oleh angkatan bersenjata Myanmar, nyaris tidak ada aparat militer yang mendapat sanksi di negara bagian Rakhine atau di sejumlah kawasan lain tempat maraknya konflik di negara itu.
Sulit untuk menerima bahwa militer menegaskan semua 400.000 lebih umat Muslim Rohingya yang mengungsi sejauh ini karena keterlibatan dalam serangan oleh kelompok militan Tentara Penyelamatan Rohingya Arakan, ARSA.
“Seorang kolonel di Maungdaw mengatakan kepada saya bahwa banyak tuduhan pemerkosaan yang diungkapkan para pengungsi tidak benar karena pasukannya sudah terlalu sibuk untuk berperang dan berpendapat perempuan Rohingya amat tidak menarik,” kata Jonathan Head.
Aung San Suu Kyi: "Semua orang yang tinggal di negara Bagian Rakhine memiliki akses untuk pendidikan dan layanan kesehatan tanpa diskriminasi."
“Sama sekali tidak benar. Orang Rohingya sudah menjadi subjek pembatasan yang diskriminatif selama beberapa tahun dengan larangan untuk pindah, bahkan menikah, tanpa izin pihak berwenang, yang kadang perlu disogok,” kata Jonathan Head.
Sejak kekerasan antar komunitas pada 2012, pembatasan atas Rohingya bahkan diperketat. Banyak yang mengungsi ke tempat-tempat penampungan di dalam Myanmar 'dikurung' di kawasan itu kecuali mendapat izin untuk ke luar, yang sulit untuk diperoleh.
“Saya mengenal para pelajar di tempat penampungan yang sudah tidak memiliki pendidikan selama lima tahun terakhir,” demikian Jonathan Head.
Empat tahun lalu, kata Jonathan Head, “Saya berkunjung ke satu kampung Rohingya, Ah Nauk Pyin di selatan Rathedaung, dan para penduduknya tidak berani ke luar kampung walau untuk berobat karena permusuhan dari umat Buddha di sekelilingnya.”
Pada Senin (18/09/2017), “di Bangladesh saya bertemu dengan Abdulmajid dari Gaw Du Thar Ya, kampung yang saya lihat sendiri dibakar.”
Dia mengatakan kepada Jonathan Head, "Selama lima tahun terakhir, kami tidak bisa pergi ke luar kampung untuk bekerja.". (adi)
Advertisement