Perpres Pelra (Bukan) Tempat Berlabuh Kapal Rakyat
Oleh: Oki Lukito
Itu perahu
Riwayatnya dulu
Kaum pedagang
selalu...
Naik itu perahu. (Gesang Martomartono)
Cuplikan syair lagu Bengawan Solo ciptaan Gesang Martomartono ini untuk merefresh kembali ingatan kita bahwa kapal Pelayaran Rakyat (Pelra) selain mampu berlayar di selat, laut bahkan samudra, juga lincah menelusuri sungai sungai menghantarkan para pedagang atau saudagar ke pelosok daerah melakukan transaksi jual beli, sekaligus menjalin silaturahmi dengan mitra dagangnya. Keunggulan kapal Pelra memiliki shallow draft sehingga mampu bermanuver di alur sungai sempit dan dangkal sekalipun termasuk merapat di pinggir pantai tanpa harus ada dermaga.
Lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 tahun 2021 tentang Pemberdayaan Angkutan Laut Pelayaran Rakyat yang diinisiasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marinves), disamping mendapat apresiasi juga menuai kritik dari pemangku kepentingan, khususnya dari pemilik kapal, pengrajin atau pembuat, koperasi pelayaran rakyat (Kopelra) maupun anak buah kapal (ABK) di sejumlah daerah. Perpres tersebut dianggap tidak mengakomodasi dan memayungi kepentingan serta kebutuhan kapal Pelra secara umum.
Setidaknya ada empat persoalan mendasar dalam Perpres tersebut yang dianggap justru tidak berpihak kepada Pelra. Pertama, menyangkut prototipe kapal. Kedua pengamanan di laut. Ketiga fasilitas pelabuhan, dan keempat menyangkut bahan baku kayu untuk pengembangan armada Pelayaran Rakyat.
Kapal Pelra indentik dengan kapal Phinisi yang sudah melegenda. Bentuknya jika diperhatikan seksama dari bagian depan kapal yang terbuat dari kayu tersebut, membentuk lambang cinta (love). Kemurniaan kayu dan jenisnya di seluruh tubuh kapal sudah terpateri sejak ratusan tahun lalu dan teruji kelaik lautannya. Kemudian menjadi tanda tanya besar apakah Perpres ini diperuntukkan Kapal Pelra, dan kapal Pelra yang mana? Sebab Kementerian Perhubungan sudah membuat acuan sendiri soal kapal Pelra yaitu Kapal Pelra Tol Laut versi Kemenhub . Indikasi untuk membuat model kapal baru versi Marinvest tersirat pada pasal 11 dalam Perpres tersebut. Sejujurnya bukan hanya kapal Phininsi saja yang menjadi armada kapal pelayaran rakyat. Ada kapal Golekan Lete (Madura), Kapal Lambo (Selayar) atau Kapal Nade (Sumatra).
Soal pengamanan sebagaimana tercantum dalam pasal 22 menyebutkan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian bersinergi dalam penegakan hukum mendukung pemberdayaan angkutan laut Pelra. Pasal ini tidak sejalan dengan pasal 276 Undang-Undang (UU) No 17 tahun 2008 tentang pelayaran. Kewenangan tersebut sebagaimana diamanatkan UU Pelayaran, ditangani Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard).
Keseriusan pemerintah membentuk badan tunggal penjaga keamanan di laut atau sea and coast guard yang merupakan amanat UU Pelayaran adalah hal yang ditunggu oleh pemangku kepentingan pelayaran. Wadah tunggal itu diharapkan menjadi badan satu-satunya penegak hukum di laut. Maraknya pungli di laut misalnya, sebetulnya sudah bukan rahasia umum. Penghadangan dan pemalakan, atau diistilahkan oleh ABK Kapal Pelra disebut ‘cium pantat,’ kerap dilakukan oleh oknum petugas, menggunakan kapal patroli atau speedboat. Alasannya, atas dasar peraturan perundangan yang menaunginya setiap instansi berwenang menangkap kapal di tengah laut.
Di Pelabuhan asal dan di pelabuhan tujuan, armada kapal Pelra mendapat perlakuan khusus dan menempati dermaga tersendiri atau terpisah dari kapal Pelnas lainnya. Akan tetapi di pelabuhan asal dan pelabuhan tujuan, kapal Pelra dilarang sandar penuh. Kapal-kapal tersebut harus sandar sirip dan hal ini sangat mempengaruhi produktivitas bongkar muat serta kenyamanan berusaha. Dengan parkir sirip ini otomatis peralatan seperti loader tidak berfungsi. Para pekerja bongkar muat barang harus melalui titian terbuat dari papan dari haluan kapal (bow) yang ketinggiannya mencapai 60-70 derajat dari dermaga. Bongkar muat barang yang seharusnya selesai dalam sehari, menjadi tiga hari atau lebih karena tidak diizinkan sandar penuh.
Perlu dikoreksi pula isi pasal 17 perihal pembangunan terminal di setiap pelabuhan yang disinggahi kapal Pelra. Sarana dan prasarana untuk sandar dan bongkar muat kapal dilengkapi fasilitas umum termasuk di antaranya stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Selama ini armada kapal pelra menggunakan solar subsidi yang diatur oleh BPH Migas dan Pertamina dan penyalurannya melbatkan Kopelra.
Yang dibutuhkan adalah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Bersubsidi (SPBB). Dari sektar 500 ratus pelabuhan yang disinggahi kapal Pelra, SPBB hanya ada di Makassar, Jakarta, Semarang, Surabaya dan Gresik, Sumenep, lainnya membeli solar di luar lokasi pelabuhan atau di Terminal Bahan Bakar Minyak Pertamina (TBBM) dengan konsekwensi menambah biaya transport Rp250-300 per liter. Di pasal poin b 17 disebutkan pula terminal sarana dan prasaran marina untuk sandar atau tambat kapal wisata (yact). Hal ini menjadi bias karena kapal Pelra bukan kapal wisata melainkan kapal dagang merangkap kapal logistik.
Demikian pula soal bahan baku kapal (kayu) sebagaimana tercantum di pasal 12 ayat 1. Pemerintah memang sudah seharusnya hadir dengan memfasilitasi ketersediaan kayu tertentu yang digunakan untuk membangun dan pengembangan kapal rakyat untuk jangka pendek, menengah dan panjang. Namun harapan nan elok pengrajin kapal Pelra dimentahkan di ayat 2 yang menyebutkan kayu tertentu tersebut diatur oleh menteri yang membidangi (kehutanan). Perlu digaris bawahi, sejak UU Kehutanan diberlakukan UU 41tahun 1999, soal perkayuan tidak memayungi kepentingan Kapal Pelra.
Sebagai referensi, dalam keterlibatan program Tol Laut besutan Presiden Joko Widodo, sejak dicanangkan hingga menjelang 10 tahun pelaksanaannya, Pelra tidak dilibatkan. Deklarasi yang ditandatangani Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi dan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito diatas Kapal Tol Laut, KM Dorolonda di Surabaya, Februari 2019 tenggelam tak jelas bangkainya. Jelas disebutkan dalam salah satu dari lima isi deklarasi tersebut, pelaksanaan sistim tol laut memperhatikan dan mengikutsertakan pelayaran rakyat yang sudah ada lebih dulu, sehingga mereka menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari simpul Tol Laut.
Faktanya Kementerian Perhubungan membangun armada sendiri, kapal kecil berukuran sekitar 35 GT dihibahkan kepada pemerintah daerah se Indonesia tanpa melibatkan Pelra yang sudah ada. Terbitnya Perpres Pelayaran Rakyat patut diapresiasi senyampang betul betul untuk kepentingan armada semut Pelra sebagai kapal dagang yang tidak bisa disamakan dengan kapal wisata. Pengalaman selama ini membuktikan kebijakan untuk Pelra selalu Jauh tiang dari layarnya.
Contohnya, kebijakan terhadap pelayaran rakyat yang didukung Undang Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan Peraturan Presiden No 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual BBM, faktanya belum memperlihatkan perubahan yang signifikan. BBM masih menjadi salah satu pemicu terus menurunnya peran pelayaran rakyat.
Seyogyanya Perpres tentang Pemberdayaan Angkutan Laut Pelayaran Rakyat dapat meningkatkan kemampuan kapal kapal yang masih bertahan, bukan membuat 1000 kapal baru berbagai ukuran, 100 GT, 200 GT, 400 GT sebagaimana direncanakan. Demikian pula diharapkan regulasi yang dibuat meringankan operasional kapal Pelra bukan sebaliknya justru menimbulkan biaya tinggi. Perpres no 74 tahun 2021 ini jika dikaji lebih dalam, bukan tempat berlabuh kapal kapal rakyat tetapi cenderung memfasisiltasi kapal wisata yang mengatasnamakan angkutan laut Pelayaran Rakyat.
*Oki Lukito, DPD. Pelra Jawa Timur dan Bali