Perpanjangan Masa Jabatan Presiden?
Di alam demokrasi, gagasan apapun bisa disampaikan kepada publik, bahkan gagasan kontroversial sekalipun. Gagasan tentang Amandemen UUD untuk memperpanjang periode masa jabatan presiden menjadi 3 kali merupakan gagasan liar karena melawan arus “Reformasi”. Oleh karena itu perlu direspon secara hati-hati dan cerdas sebelum mengambil keputusan.
Pengalaman dua kali perpanjangan periode masa jabatan pada masa lalu berakhir tragis, dua presiden jatuh. Suara-suara yang menolak kala itu sayup-sayup tidak didengar, kalah gegap gempita oleh sanjungan semu.
Ketika sedang bergulir usulan perpanjangan masa jabatan era Bung Karno, banyak kaum intelektuil yang mengingatkan beliau. DR Tolhah Mansyur, ayahanda mantan Ketua PPP, Ir M Romahurmuzy dalam desertasinya di UGM pada 1960 berpendapat bahwa “masa jabatan presiden menurut UUD 1945 hanya dua periode dan tidak bisa dipilih lagi”.
Pak Harto juga diingatkan oleh para pembantu terdekatnya agar lengser ketika situasi negara kondusif antara lain oleh Jenderal Yoga Sugama dan Jenderal Benny Moerdani. Tetapi peringatan peringatan itu dianggap angin lalu.
Situasi atau keadaan negara ketika usulan itu dikumandangan juga mirip dengan keadaan sekarang dimana negara berada dalam keadaan sulit . Oleh karena itu, menurut pengusung gagasan tersebut, negara memerlukan nakhoda yang sudah berpengalaman. Suatu argumentasi klasik khas produk budaya feodal yang ditolak para pendiri bangsa dalam sidang BPUPKI, dimana dari sekitar 60 anggauta, hanya enam yang mendudukung bentuk kerajaan, selebihnya memilih Republik.
Sejak mulai memimpin negara, Presiden Joko Widodo bukan hanya menerima kritik konstruktif, tetapi juga oposisi atau kritik yang destruktif mengarah delegiitimasi kekuasaan. Hal itu jelas terlihat dari isu utama yang dilontarkan bernuansa hasutan atau agitatif dengan tema seputar kebangkitan komunis, suatu hal yang paradoks dengan realitas tersingkirnya ideologi tersebut ke pingggir percaturan internasional.
Ketika hasutan tidak mempan, tema isu ditambah dengan isu “bendera tauhid” maksudnya untuk menarik simpati umat Islam agar melawan pemerintah sekaligus bertujuan menimbulkan benturan pendapat yang diametral. Dan hasilnya adalah polarisasi politik yang tajam.
Nah, ketika kondisi sosial ekonomi masyarakat rawan akibat wabah (pandemi) Covid-19, mereka meluncurkan isu perpanjangan periode jabatan presiden. Mungkin dengan pertimbangan bahwa pandemi Covid-19 mulai surut sejak pertengahan tahun ini sesuai statemen Presiden AS Joe Biden belum lama ini.
Tentu dengan maksud memunculkan isu baru, sebagai antisipasi atas menurunnya isu pandemi dan isu PKI yang mulai redup.
Mereka berharap polarisasi politik dimasyarakat khususnya di medsos tetap dan bahkan semakin kuat dengan isu baru tersebut. Mungkin mereka juga berharap, mereka yang berada di lingkaran istana mengamini isu-isu yang bernada menyanjung presiden, memanfaatkan mentalitas sisa peninggalan budaya feodalistik, semacam budaya abdi dalem masa lalu “asal bapak senang”.
Semoga lingkaran Istana tidak terbawa arus. Sebaliknya tetap menggunakan akal sehat dan berpegang teguh pada roh atau jiwa pembukaan dan batang tubuh UUD 45.
Lebih baik isu-isu ke arah delegitimasi kekuasaan dihentikan dan kita kritisi pemerintah secara konstruktif. Harus diakui bahwa pemerintah telah berhasil membangun sarana dan prasarana pembangunan fisik dan kini mulai membenahi sektor penyediaan pangan.
Masih banyak yang harus ditangani khususnya kesenjangan ekonomi yang cukup tinggi. GNI sudah turun dari 42 ke angka 37 tetapi masih jauh dibanding gini rasio pada akhir masa pemerintahan Pak Harto yang berada angka 22.
Di samping itu, pembangunan demokrasi sejak Reformasi setelah 5 presiden, dari era Presiden BJ Habibie sampai saat ini berjalan relatif lambat dan hal ini menjadi persoalan yang tidak boleh dianggap sepele.
Jangan sampai kemunduran demokrasi yang melanda negara tetangga seperti Myanmar, Thailand dan Malaysia mempengaruhi kondisi politik nasional.
Kalau diteliti kemunduran demokrasi di negara tetangga tersebut, sebab musababnya bervariasi mulai dari korupsi, nafsu ingin berkuasa berlebihan baik sipil atau militer dan menonjolnya oligarki, budaya premordialistik dan kondisi ekonomi nasional yang belum kondusif.
Janganlah situasi itu diperburuk dengan isu “perpanjangan masa jabatan presiden" yang secara indikatif lebih menjurus pada jebakan politik.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosial-Politik, tinggal di Jakarta.
Advertisement