Pernikahan adalah Perjalanan Hidup, Pesan Imam Shamsi Ali (4)
Pada bagian sebelumnya disebutkan Imam Shamsi Ali, Pengasuh Pesantren Nusantara di New York, AS, bahwa perkawinan itu adalah jalan hidup dalam cinta dan kasih sayang. Cinta dan kasih sayang itu bukan sesuatu yang didapatkan dari pinggir jalan. Tidak juga dibeli dari toko-toko emas di pasar-pasar. Bahkan bukan sesuatu yang diwariskan.
Berikut merupakan catatan serial "Marriage is a life journey- 4" Ustadz Imam Shamsi Ali untuk ngopibareng.id:
Cinta adalah karunia Ilahi. Ketika seseorang merasakan cinta maka itu adalah karunia dan kenikmatan. Karenanya hanya ada satu kata menyikapinya: syukur.
Syukur itu bermakna dua tingkatan. Pertama perlu dipertahankan. Kedua ditingkatkan. Karena dalam Islam syukur itu berwawasan nilai tambah. “La in syakartum la aziidannakum” (jika kamu bersyukur niscaya akan kutambahkan nikmatKu padamu”, pesan Allah dalam Al-Quran.
"Maka idealnya semakin lama sepasang bersama semakin kuat pula cinta kasihnya. Cinta yang dulunya karena motivasi-motivasi tertentu, kini menjadi motivasi tunggal untuk ridhoNya. Cinta karena Allah itulah yang abadi bagaikan cinta Rasul kepada Khadijah Al-Kubra (isteri pertama beliau)."
Maka idealnya semakin lama sepasang bersama semakin kuat pula cinta kasihnya. Cinta yang dulunya karena motivasi-motivasi tertentu, kini menjadi motivasi tunggal untuk ridhoNya. Cinta karena Allah itulah yang abadi bagaikan cinta Rasul kepada Khadijah Al-Kubra (isteri pertama beliau).
Kesepuluh, pernikahan itu adalah perjalanan ibadah bersama.
Dalam berbagai hadits disebutkan bahwa nikah itu adalah bentuk ibadah besar. “Nikah itu adalah bagian dari sunnahku. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka dia bukanlah bagian dari ummatku”.
Mungkin hadits yang paling popular adalah hadits tentang pernikahan sebagai penyempurna seperdua agama. Sungguh sebuah ibadah besar yang setara dengan “nishfu ad-diin” atau seperdua agama.
Tujuan hidup adalah ibadah. Karenanya segala sesuatu yang baik yang dilakukan oleh seorang Mukmin dalam hidupnya adalah ibadah. Dan perkawinan adalah fondasi institusi hidup sosial manusia. Karenanya sangat wajar jika pernikahan itu adalah ibadah penting.
Karena nikah adalah perjalanan ibadah bersama pasangan maka seluruh rangkaian yang ada dalam hubungan suami-Istri itu juga ditempatkan dalam kerangka ibadah.
Dari upaya mencari pasangan harusnya dalam kerangka ibadah. Ibadah tentunya terikat oleh niat dan cara (kaefiyat). Jika niat dan cara mendapat pasangan itu dari awal salah maka akan menghasilkan pula sesuatu yang salah.
Hingga ketika terjadi hubungan suami-isteri sekalipun jika disadari sebagai ibadah (an act of worship) maka akan memiliki nilai tambah. “Dan pada jima’ kalian adalah ibadah” kata Rasul.
Hingga kepada merawat rumah tangga dan mendidik anak-anak, jika semuanya dalam rangka ibadah maka hasilnya akan penuh keberkahan dan dalam pengayoman Ilahi.
Intinya adalah pernikahan itu adalah perjalanan ibadah besar, ibadah sepanjang hidup tiada henti. Karenanya semuanya harus dibangun di atas niat yang benar. Dan juga dijalani sesuai tuntunan Rasul Allah.
Kesebelas, perkawinan itu adalah “a generational building” atau perjalanan membangun generasi manusia.
Tidak dapat disangkal bahwa salah satu tujuan terpenting dari pernikahan adalah agar generasi manusia tetap berlanjut. Lebih lanjut bahkan Rasulullah SAW akan membanggakan pengikut-pengikutnya yang punya banyak keturunan.
Tentu kata “banyak” tidak selalu bersifat “numerical” (bilangan). Tapi juga bersifat kwalitas. Bahwa Rasulullah SAW akan membanggakan umatnya yang punya banyak keturunan dan berkualitas.
Karenanya perkawinan dalam Islam itu adalah jalan bersama pasangan untuk melanjutkan Keturunan. Para nabi yang ketika itu dicoba dengan keterlambatan mendapat keturunan sangat khawatir dengan masa depan mereka.
Masa depan mereka tentunya bukan sekedar masa depan biasa. Tapi masa depan misi mereka dalam dakwah. Perhatikan Ibrahim dan Zakariyah Alaihimas salaam misalnya.
Inilah salah satu dilema besar yang dihadapi oleh dunia Barat saat ini. Bahwa kalaupun mereka menikah pada umumnya ingin punya keturunan ketika sudah lanjut usia.
Alasan utama tentunya agar mereka mempersiapkan masa depan anak-anak. Nampak positif. Tapi di balik alam sadar sesunggguhnya adakah karena mereka ingin “enjoy life” atau bersenang-senang dahulu.
Tapi yang paling parah adalah adanya kekhawatiran jika generasi itu atau anak-anak mereka menjadi beban hidup. Sungguh sebuah life style (gaya hidup) yang tidak bertanggung jawab.
Karena itu pasangan suami isteri dalam islam sejak dini perkawinan mereka harus menyadari ini. Bahwa perkawinan mereka adalah perjalanan dan tanggung jawab bersama untuk menjaga generasi manusia itu sendiri.
Tapi generasi bagaimana yang dimaksud? Inilah yang selanjutnya akan kita bahas pada tulisan-tulisan selanjutnya. Dan untuk tulisan selanjutnya akan kita beri judul: Building Generation. (Bersambung).
New York, 19 Januari 2019
--------------------------------
Saudaraku, masih mengingatkan jika mau menjadi bagian dari perjalanan dakwah di Amerika melalui pembangunan pondok pesantren Amerika. Donasi dapat disalurkan melalui:
Rekening Indonesia:
Rek rupiah : 1240000018185
An. inka nusantara madani
Bank Mandiri
Atau melalui website (klik support): https://nusantaraboardingschool.com
Advertisement