Pernak Pernik Absurditas: Persembahan Idries Shah
Oleh: Ady Amar
Pada kisah-kisah Sufi, seringkali absurditas menemukan pijakannya. Absurditas itulah kekuatan dari kisah yang dibangun di zaman dimana rasionalitas menjadi pilihan utama.
Kisah-kisah Sufi seringkali menertawakan bahkan membodohi akal sehat; melawan rasionalitas dengan begitu angkuhnya. Cenderung berbeda dari komunitas yang ada, itulah sebenarnya kekuatan kisah-kisah itu dibangun. Dimana hegemoni akal sehat coba disingkirkan dan dikerdilkan, memaksa rasionalitas masuk ke alam absurditas yang dibangunnya.
Membaca kisah-kisah Sufi dengan “pernak pernik” absurditas, maka suka atau tidak, kita mesti memasuki alam absurditas itu dengan kesadaran. Karenanya, kita akan mampu menangkap hakikat-hakikat dalam kisah yang dibangunnya. Jika tidak, maka kisah-kisah Sufi cuma mampu sekadar kita baca dan berakhir dengan senyum simpul. Hakikat di balik absurditasnya tidak mampu kita urai guna mengambil ibrah di tengah kehidupan yang serba materi dan individualistik.
Semua kisah-kisah yang dihadirkan, meski sederhana, harusnya bisa diambil pelajaran meski tidak utuh. Mengambil intisari yang terkandung dalam kisah yang ada, meski tampak absurd, adalah upaya berdialog dengan ego kita yang cenderung merasa paling wah dalam segalanya. Bisa jadi itulah bentuk penghambaan pada rasionalitas yang coba diluruskan.
Pertarungan antara absurditas versus rasionalitas akan terus berlangsung, dan entah sampai kapan. Tapi mestinya satu hal kita sepakat, bahwa tidak semua absurditas itu buruk atau khayali, begitu pula tidak semua rasionalitas itu baik dan memenuhi akal sehat.
Absurditas Persembahan Idries Shah
Sebuah kisah Sufi menarik, berkenaan dengan kisah “Lembu”. Begini kisahnya:
Pada suatu ketika hiduplah seekor lembu. Di seluruh dunia, tidak ada binatang yang sedemikian banyaknya menghasilkan susu berkualitas tinggi sebagaimana yang dihasilkan oleh lembu.
Maka orang-orang dari berbagai pelosok datang berduyun-duyun melihat keajaiban ini. Lalu lembu itu dipuji setiap orang yang melihatnya. Para ayam menceritakan pada anak-anak mereka tentang jasa lembu terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya...
Para menteri mendorong staf mereka agar dapat menandingi prestasi lembu itu. Para pejabat pemerintah menghimbau agar lembu dijadikan ikon dalam berperilaku yang benar, dan agar lembu dijadikan suriteladan. Pendek kata, setiap orang agar dapat belajar mengambil manfaat dari keberadaan binatang ajaib ini.
Namun ada satu hal yang luput dari perhatian mereka yang melihatnya, karena begitu asyiknya memperhatikan kegunaan dan keajaiban lembu. Jika diamati, ada perilaku lembu yang jarang diketahui, yakni setelah sebuah ember diisi dengan susunya yang berkualitas istimewa, lembu itu akan segera menendang ember tersebut.
(Hikmah yang bisa diambil dari kisah Sufi di atas, bahwa pemujaan pada hewan lembu yang berlebihan, itu pada akhirnya ditemukan kekurangan dari hewan itu yang sangat substantif. Padahal yang paling utama dilihat dari lembu itu adalah susu yang dihasilkannya. Bagaimana mungkin lembu itu menjadi istimewa jika susu yang dihasilkannya dalam wadah ember lalu harus ditendang tumpah tak berbekas.
Kisah di atas tidak cuma berhenti pada atribut hewan lembu. Tapi kisah itu lebih dimaksudkan pada manusia, dan itu berkenaan dengan sempurnanya manusia itu jika tidak dikotori oleh perbuatan-perbuatan tidak selayaknya. Kesempurnaan manusia tidak diukur oleh seberapa tampan dan cantik semata, tapi dituntut untuk sempurna lahir dan batinnya).
Kisah berikut sungguh menarik, kisah dengan judul “Pembuktian Serigala”. Berikut kisahnya:
Pada suatu hari, seekor serigala bertemu dengan seekor anak kelinci di hutan. Kelinci itu berkata, “Siapakah engkau ini?” Serigala berkata, “Aku adalah serigala, dan aku dapat memangsamu jika aku menginginkannya.”
“Bagaimanakah engkau bisa membuktikan bahwa engkau benar bernama serigala?” tanya kelinci. Serigala itu tidak tahu apa yang harus dikatakan, karena pada masa lalu, kelinci selalu berlari menghindar jika bertemu serigala tanpa mengajukan pertanyaan seperti itu.
Kemudian kelinci berkata, “Jika engkau dapat menunjukkan bukti tertulis bahwa engkau adalah serigala, aku akan mempercayaimu.”
Maka serigala menjumpai singa, yang kemudian memberinya surat pengesahan, yang menyatakan bahwa ia adalah seekor serigala.
Ketika ia kembali ke tempat kelinci yang sedang menunggunya, serigala itu membacakan dokumen tersebut. Serigala itu merasa sangat senang ketika membaca pernyataan yang ada dalam dokumen tersebut. Sementara itu, begitu membaca inti dari pernyataan yang dibacakan pada baris pertama, kelinci itu berlari menuju sarangnya dan tidak pernah terlihat lagi.
Serigala kembali lagi ke sarang singa. Pada saat itu ia melihat seekor rusa sedang berbicara dengan singa. Rusa itu berkata, “Aku ingin melihat bukti tertulis bahwa engkau adalah seekor singa...”
Singa berkata, “Ketika aku tidak lapar, aku tidak mau mengganggu siapa pun. Ketika aku lapar, engkau tidak memerlukan apa pun dalam bentuk tulisan.”
Serigala yang mendengar percakapan itu, lantas bertanya kepada singa, “Kenapa engkau tidak mengatakan kepadaku untuk melakukan hal seperti itu ketika aku meminta surat pengesahan untuk aku berikan kepada kelinci?”
“Kawanku,” kata singa, “Bukankah engkau tidak berkata bahwa yang meminta surat itu adalah kelinci. Aku pikir surat itu ditujukan untuk manusia yang bodoh, karena dari manusialah binatang-binatang yang bodoh itu telah belajar menghabiskan waktu mereka.”
(Nama-nama binatang, pun tumbuh-tumbuhan dan nama apa pun di belahan bumi ini adalah penamaan dari manusia. Dan itu hasil konsensus, bahwa kelinci itu dinamakan kelinci di belahan dunia mana pun, begitu pula serigala, singa dan lainnya. Kisah ini bentuk “protes” khas sufistik atas penamaan-penamaan yang diberikan manusia kepada binatang-binatang itu. Tidak berhenti di situ saja, kisah di atas bisa dilabelkan juga untuk memberikan julukan kepada manusia, misal tentang kelebihan dan kekurangannya. Kisah sarat makna yang bisa ditarik ke sana ke mari).
Dua kisah Sufi di atas diambil dari buku Wisdom of the Idiots karya Idries Shah, 1970.
Adalah Idries Shah, penulis Sufisme abad 20, menulis banyak buku. The Sufis adalah karya masterpiece-nya. Namun demikian, buku-buku tentang kisah-kisah Sufi yang ditulisnya begitu beragam, di antaranya yang populer adalah Wisdom of the Idiots, Thinkers of the East, dan lainnya, yang juga mengisahkan kisah-kisah absurditas namun penuh hikmah.
Membaca kisah-kisah Sufi yang dihadirkannya, maka yang terlihat adalah absurditas menguasai rasionalitas, kisah yang lebih mengutamakan substansi akan nilai-nilai kebajikan.
Di sinilah kekuatan kisah-kisah Sufi itu dibangun. Kisah yang melawan hegemoni rasionalitas di tengah kesuntukan budaya. Karenanya, kisah-kisah absurditas itu mampu mengobati hati yang gulana, dan dengannya kita pun mampu mengambil hikmah yang terkandung di dalamnya.**
*Ady Amar, penikmat dan pemerhati buku, tinggal di Surabaya.