Permudah Muslim Uighur Beribadah, Ini Permintaan PBNU pada China
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas mengatakan, masalah mendasar bagi pemeluk agama apa pun di China adalah adanya batasan dalam menjalankan ibadah. Termasuk hal itu yang dialami Muslim Uighur.
"Boleh dibilang hanya boleh menjalankan peribadatan di tempat ibadah dan ruang privat. Di kantor pemerintah, tempat kerja dan lembaga pendidikan tidak boleh, kecuali lembaga pendidikan berbasis agama," katanya, dalam keterangan pada ngopibareng.id, Rabu 25 Desember 2019.
Untuk itu, menurut Robikin, PBNU mendesak pemerintah China agar memberikan keleluasaan bagi Muslim Uighur dan umat agama lain agar bisa beribadah.
"Masalah Uighur merupakan persoalan yang bersifat kompleks. Ada separatisme, terorisme, radikalisme, dan salah kaprah otoritas pemerintah dalam mendefinisikan radikalisme. Misalnya, ada yg kampanye terbuka produk halal lalu dilabeli radikal," kata Robikin Emhas.
Menurut dia, PBNU menghormati kebijakan dalam negeri suatu negara, termasuk China dalam setiap upaya mempertahankan keutuhan wilayahnya.
"Kita patut mendukung pemberantasan terorisme. Karena terorisme bertentangan dengan ajaran agama mana pun dan tidak dibenarkan berdasar nilai kemanusiaan yang bersumber dari ideologi apapun," kata dia.
Hanya saja, Robikin berharap Pemerintah China memiliki perspektif baru dalam mendefinisikan kebebasan menjalankan peribadatan bagi pemeluk agama. Sehingga, kata dia, setiap pemeluk agama dapat melaksanakan ibadah sesuai ajaran agamanya.
Sementara itu, ormas Islam Mathla’ul Anwar menghimbau Pemerintah China untuk merangkul Muslim Uighur karena etnis minoritas di Provinsi Xinjiang itu juga bagian dari warga negara China.
“Muslim Uighur adalah bagian dari warga negara China. Mereka layak mendapatkan keadilan sebagaimana etnis-etnis lainnya di negara Tirai Bambu tersebut,” kata Sekjen Pengurus Besar Mathla’ul Anwar (PBMA) H Oke Setiadi MSc di Jakarta, Selasa 24 Desember 2019.
Sekjen PBMA mengemukakan keterangan tersebut atas pertanyaan wartawan terkait dugaan memburuknya perlakuan terhadap Muslim Uighur di Xinjiang sebagaimana diberitakan media massa internasional yang juga banyak diviralkan di media sosial belakangan ini. .
Menurut Oke Setiadi, jika ada segelintir orang di Xinjiang yang diduga akan melakukan tindakan radikalisme atau separatisme, tidak seharusnya mereka ditindak dengan melanggar hak-hak asasi manusia.
Bagaimana pun, kalau benar terjadi, tindak kekerasan dan pelarangan ibadah terhadap Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang merupakan pelanggaran nyata atas Hak-Hak Asasi Manusia dan hukum internasional serta melukai perasaan Ummat Islam di seluruh dunia.
PBMA, lanjutnya, mengajak Pemerintah China agar bersikap terbuka serta segera memberikan penjelasan kepada dunia internasional tentang apa yang terjadi di Xinjiang agar protes dan kemarahan ummat Islam tidak menjadi sikap antipati terhadap Pemerintah China.
Selain itu PBMA meminta Pemerintan RI agar melakukan langkah-langkah diplomatik untuk turut memberikan solusi bagi penyelesaian masalah Uighur melalui jalur Organisasi Konferensi Internasional (OKI) dan PBB, terlebih Indonesia masih menjadi anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB.