Permendikbud Seks Itu... Pleonasme
Oleh: Djono W. Oesman
Polemik PPKS (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual) mengerucut. Ke Pasal 5 Ayat 2. Soal kata: "Tanpa persetujuan korban". Yang ditafsirkan banyak pihak sebagai: Melegalkan zina.
Permendikbud No 30 Tahun 2021 tentang PPKS, diteken Mendikbudristek, Nadiem Anwar Makarim, 31 Agustus 2021. Lantas disosialisasikan.
Saat sosialisasi itulah heboh. Viral. Dikritik pihak ormas agama, sampai politisi PKS. Banyak ormas jadi ikutan menumpangi protes.
Sebaliknya, pihak kampus, dari Universitas Airlangga, Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Universitas Indonesia, sampai menteri agama, mendukung.
Terjadi-lah silang pendapat. Terus menerus. Mengerucut pada pasal tersebut di atas. Dengan tafsir zina.
Supaya jelas, sumber masalah diurai. Pasal 5 Ayat 2. Terdiri dari 15 item. Dari huruf "a" sampai "u". Yang memuat kata "Tanpa persetujuan korban", tidak di semua item itu. Hanya sebagian. Tepatnya di 7 item. Berikut ini:
b) Memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban.
f) Mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban.
g) Mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban.
h) Menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban.
j) Membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban.
m) Membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban.
l) Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban.
Tanpa Persetujuan Korban
Tujuh item itulah yang dihebohkan. Dalam logika bahasa, kata "tanpa persetujuan Korban", (oleh para kritikus) dibalik. Ditarsifkan jadi begini:
"Berarti, seandainya dengan persetujuan, maka tidak ada masalah. Alias boleh."
Lantas, penafsiran tersebut, 'di-maju-kan', jadi: Konsensual (suka sama suka, dibolehkan). Lebih 'di-maju-kan' lagi, jadi begini: "Artinya, peraturan tersebut melegalkan zina."
Di-maju-kan lagi: Zina dilarang agama. Pemerintahan bobrok... dan seterusnya.
Contoh konkret: Item "m": (Dilarang) "Membuka pakaian Korban, tanpa persetujuan Korban."
Ditafsirkan: Bagaimana seumpama korban diam saja? Bagaimana seandainya korban menyetujui?
Di situ pokok kehebohan. Yang kemudian ditumpangi banyak pihak. Pihak Kemendikbud Ristek pun bersikukuh, bahwa tidak ada yang salah di Peraturan tersebut.
Lebih heboh lagi, ada Ormas yang mengancam, bakal mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Tentu, Ormas tersebut bakal diliput pers. Juga tersebar di medsos. Viral.
Itu bisa dianggap sebagai upaya koreksi. Yang bisa pula ditafsirkan sebagai aksi Pansos.
Sementara, pelecehan seks mahasiswi terus terjadi. Terbaru, Dekan FISIP Universitas Riau, Syafri Harto, ditetapkan tersangka oleh Polda Riau, dituduh pelecehan seksual terhadap mahasiswi.
Ketua Panitia Kerja RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), Willy Aditya, kepada pers, Kamis (18/11/21) mengatakan:
"Itu bukti pentingnya RUU TPKS. Langsung, lho... Itu dampaknya. Ini (RUU TPKS) mengatur yang lebih luas, bukan kemudian melakukan legalisasi free sex, bukan."
Korban berjatuhan. Para pihak berdebat, berpolemik. Demi Pansos.
Tak kurang, Menteri Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, komentar ke pers, Kamis (18/11/21), demikian:
"Secara subtansif harus kita dukung karena itu upaya untuk mencegah dan melindungi dan memberikan pembelaan kepada mereka yang menjadi korban dari kekerasan seksual."
Dilanjut: "Memang, sekarang masih dalam keadaan ada perbedaan di masyarakat. Karena, di situ ada frasa yang ambiguitas masih mengganda arti dan saya yakin dalam waktu yang tidak lama nanti akan segera dikoreksi. Diadakan pembenahan."
Ambiguitas
Tekanan kata: "ambiguitas". Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti mendua. Atau punya dua pengertian. Juga, kata "segera dikoreksi".
Artinya, Menko PMK mengakui, ada kesalahan di peraturan itu. Maka, segera dikoreksi.
Tujuh item di Pasal yang dimasalahkan itu, mungkin, pleonasme. Atau penggunaan kata berlebihan, yang sebenarnya tidak perlu. Contoh, kata: "Api yang menyala". Kalau sudah "api' pastilah "menyala".
Hendra Kasmi, dalam bukunya "Kajian Majas pada Artikel Jurnalisme Warga Serambi Indonesia", menyebutkan: Pleonasme, bagian dari Majas (gaya bahasa).
"Pleonasme digunakan untuk menegaskan suatu kalimat. Padahal, tanpa ditegaskan, kalimat itu sudah tegas."
Mengapa pleonasme digunakan dalam suatu kalimat? "Karena, penulisnya merasa kurang yakin dengan kalimat tersebut. Sehingga diberi kata penegasan. Agar lebih tegas." (Kajian Majas pada Artikel Jurnalisme Warga Serambi Indonesia, 2020).
Contoh di kalimat panjang: "Barisan tentara musuh mundur ke belakang, mengaku kalah dalam peperangan."
Pembahasan: Kata ‘ke belakang’ tidak diperlukan lagi. Karena ‘mundur’ sudah berarti ke belakang.
Tapi, ada contoh lain: "Adi menengok ke belakang, mencari asal suara itu."
Pembahasan: Memang, kata ‘ke belakang’ tidak terlalu perlu. Walau, ada sedikit perlu: Merujuk arah. Karena, mungkin, bisa ke kiri atau kanan.
Terus... bagaimana dengan kalimat ini: "Dilarang menelanjangi, memperkosa, tanpa persetujuan korban."
Dimajukan lagi: "Aparat hukum akan memberikan sanksi kepada pemerkosa, kalau aparatnya tidak malas."
Tapi, mohon abaikan kalimat terakhir itu. Karena kelewat maju. (*)
Advertisement