Ironi, Jumlah Izin Tambang di Jatim Menurun tapi Luasan Bertambah
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur menilai ancaman perluasan pertambangan di Jatim merupakan salah satu problem nyata yang harus dihadapi oleh masyarakat.
Hal tersebut diucapkan oleh Direktur Eksekutif Walhi Jatim, Rere Christanto saat berada di Kantor Gubernur Jawa Timur di Jalan Pahlawan, Surabaya, Kamis 1 Agustus 2019.
Berdasarkan data yang dihimpun Walhi, melalui koordinasi-supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (Korsup KPK), untuk pertambangan mineral dan batubara, menunjukkan bahwa data per 29 Agustus 2016, jumlah Izin Usaha Pertambangan di Jatim mengalami penurunan. Rere menjelaskan bahwa data tersebut merupakan data yang ada di Kementerian ESDM.
Pada tahun 2016 di Jatim sendiri berdasar data tersebut menujukkan jumlah IUP ada 347. Bila dibandingkan data Kementerian ESDM di tahun 2012, yaitu dari 378 IUP di tahun 2012 ada penurunan 31 IUP sepanjang empat tahun.
Namun secara substansial ternyata terdapat peningkatan signifikan terhadap luasan lahan pertambangan. Jika di tahun 2012 luas lahan pertambangan di Jatim hanya sekitar 86.904 hektar, maka pada tahun 2016 tercatat luasan lahan pertambangan di Jatim mencapai 551.649 hektar.
Artinya jika merujuk dalam dua dokumen tersebut, maka kenaikan jumlah lahan pertambangan di Jatim mencapai 535 persen dalam kurun waktu 4 tahun saja.
Menurut Rere, pemberian penghargaan kepada industri ekstraktif pertambangan tentu saja menyimpan tanda tanya besar. Sebab kawasan selatam Jatim telah lama menjadi kawasan budidaya, baik pertanian maupun sebagai kawasan tangkapan perikanan, sehingga aktivitas pertambangan yang eksploitatif, rakus lahan dan rakus air akam sangat kontraproduktif dengan kebutuhan warga, terutama tentang keberlanjutan fungsi alam sebagai syarat budidaya masyarakat.
Menurut catatan WALHI Jatim, dalam enam tahun terakhir (2013-2018), eskalasi bencana ekologis di Jatim terus menerus meningkat. Pada tahun 2013 jumlah bencana ekologis tercatat ada 233 kejadian, jumlah ini terus meningkat hingga pada tahun 2018 tercatat setidaknya ada 455 kejadian bencana ekologis.
Bencana ekologis adalah akumulasi krisis ekologis yang disebabkan oleh ketidakadilan Iingkungan dan gagalnya sistem pengurusan alam. Banjir, tanah longsor, abrasi dan kekeringan yang diakibatkan kerusakan lingkungan karena aktivitas manusia adalah bentuk-bentuk bencana ekologis yang mengancam kehidupan.
"Maka, pemberian penghargaan pengelolaan lingkungan hidup oleh Gubernur Khofifah kepada industri ekstraktif pertambangan, tentu saja menjadi sebuah pernyataan besar," katanya.
Sebelumnya diketahui massa dari Walhi Jatim berunjuk rasa di depan Kantor Gubernur Jawa Timur pada Kamis 1 Agustus 2019. Massa mulai berkumpul sejak pukul 10.30 WIB. Sempat tidak ada respon dari pihak Pemprov Jatim. Namun sektar pukul 15.00 WIB, perwakilan dari Walhi diterima di Kantor Gubernur oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jatim, Diah Susilowati.
Advertisement