Perlu Konstruksi Teologis, Moderasi Beragama Ruang Dialog Terbuka
Agar menjadi sebuah gerakan, penguatan moderasi beragama harus dilakukan bersama oleh berbagai kelompok umat dan masyarakat. Moderasi beragama harus menyentuh aspek mindset yang multi perspektif.
“Membangun mindset ini memberikan konstruksi bahwa moderasi beragama itu built in dalam ajaran agama, bukan diimpor dari luar agama. Apalagi dipaksakan oleh kepentingan tertentu. Pak Lukman secara arif telah menjelaskan konstruksi moderasi beragama itu,” kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, dalam keterangan dikutip Minggu 11 Desember 2022.
Ia mengungkapkan hal itu pada acara bedah buku “Moderasi Beragama: Tanggapan atas Masalah Kesalahpahaman, Tuduhan, dan Tantangan yang Dihadapinya” karya mantan Menteri Agama RI 2014–2019, Lukman Hakim Saifuddin, dihadiri pula Koordinator Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid.
Kerangka Konseptual
Moderasi beragama, kata Mu’ti, memiliki kerangka konseptual, bahkan kerangka teologis yang ada pada agama-agama di Indonesia. Dalam konteks Islam misalnya, moderasi beragama dikaitkan dengan Wasathiyah Islam yang juga menjadi program besar bangsa Indonesia setelah Bogor Message pada 2018.
Ruang Perjumpaan
Selain mindset, aspek penting dalam moderasi beragama adalah membangun ruang perjumpaan sebanyak-banyaknya di antara kelompok berbeda. Ruang perjumpaan itu menjadi pintu di mana moderasi beragama menjadi gerakan sosial dan keagamaan.
“Dengan ruang perjumpaan, banyak kesempatan kita membangun ruang dialog. Dengan bertemu, kita bisa mendiskusikan beragam hal,” tuturnya.
“Dengan ada ruang dialog itu, maka ada tiga proses penting di dalamnya, yaitu listening atau mau mendengar, sharing atau kesempatan menyampaikan pandangan, serta understanding atau saling memberikan pemahaman,” sambungnya.
Meski ada sekian hal yang tidak semua orang bisa bersetuju seperti pada aspek yang berkenaan dengan perbedaan fundamental antar agama maupun intern agama, Mu’ti berkeyakinan ada ruang universal yang dapat membuka ruang perjumpaan dan dialog.
“Perlu ada ruang dialog sehingga bisa saling memahami apa yang selama ini menjadi sumber kesalahpahaman. Ini perlu diperbanyak,” tegasnya.
“Dengan moderasi, siapapun tidak boleh merasa takut dengan keyakinannya. Negara tidak punya otoritas untuk menentukan agama sah dan tidak sah. Tidak ada istilah agama diakui dan tidak diakui oleh negara,” kata Mu’ti.
“Moderasi meniscayakan adanya inklusi di mana agama tidak bisa dikuantifikasi. Saya tidak setuju istilah mayoritas dan minoritas. Sebab, keyakinan sangat personal, tidak bisa dikuantifikasi. Sebab, kuantifikasi itu alat politik,” sambungnya.
Mu’ti mengakui, tantangan yang dihadapi dalam penguatan moderasi beragama itu tidak ringan. Namun, penguayan moderasi beragama tetap harus menjadi on going process. Sehingga, penguatan moderasi beragama tidak boleh dan tidak harus menjadi program pemerintah, meski masuk dalam RPJMN.
“Penguatan moderasi beragama semestinya menjadi bagian dari gerakan sosial,” tandasnya.
Buku terbitan baru karya LHS ini merupakan cetakan kedua. Buku ini awalnya disiapkan dalam rangka penganugerahan gelar kehormatan doctor honoris causa yang diberikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Mei 2022. Buku ini mencoba menjawab sejumlah kesalahpahaman di tengah masyarakat yang muncul dalam rentang beberapa tahun perjalanan penguatan moderasi beragama.
Kesalahpahaman itu antara lain terkait pelabelan liberalisasi, pendangkalan akidah, dan lainnya. Ada juga isu-isu baru yang relevan dengan konsisi terkini dibahas oleh penulis, antara lain isu seputar politisasi agama.
Selain Mu’ti, hadir juga sebagai narasumber, Ketua Umum Persekutuan Geraja-Gereja seluruh Indonesia (PGI) Gomar Gultom, dan Sekretaris Eksekutif Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan pada Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Romo Agustinus Heri W dan Alissa Wahid.