Perlu Komitmen Sosial, Menakar Kelekatan Internal Umat Islam
Tokoh Muhammadiyah Hajriyanto Y. Thohari, mengungkapkan, kohesivitas merupakan kemampuan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang aman termasuk pemenuhan kebutuhan hidup bagi yang berada didalamnya.
Jika diletakkan dalam konteks umat Islam, menurut Hajriyanto, kohesi adalah menyatunya kelompok dan golongan umat Islam, bukan hanya kelompok kecil dengan kelompok kecil yang lain, tetapi harus dari semua kelompok.
"Bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi anggotanya, termasuk pemenuhan hidup di dalamnya.
“Suatu kelompok atau golongan jika dikatakan membangun kohesivitas manakalah kelompok tersebut menekankan komitmen sosial untuk mengurangi perselisihan dan mencegah pengelompokan,” tutur Hajriyanto dalam Pengajian Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, belum lama ini.
Faktanya, kelompok dan golongan sudah begitu banyak bertebaran dari internal umat Islam. Sehingga diperlukan komitmen di antara kelompok dan golongan tersebut untuk mengurangi perselisihan dan mencegah pengelompokan yang lebih baru lagi.
Meminjam konsep dari Emile Durkheim, kohesi sosial terbagi ke dalam dua jenis yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik.
Hadjri, yang Duta Besar LBBPB RI untuk Lebanon, menjelaskan, solidaritas mekanik salah satu indikasinya adalah adanya aktor yang kuat. Konsep ini relevan dengan keadaan masyarakat tradisional, masyarakat yang sederhana. Solidaritas pada kelompok ini terbangun karena adanya sosok pemimpin yang kuat.
Sementara, solidaritas organik adalah kelompok yang diindikasikan dengan saling bergantungnya individu yang kemudian akan terbentuk suatu kohesi sosial dengan sendirinya. Pada kondisi masyarakat yang kompleks seperti ini, peran pemimpin atau aktor tidak begitu kuat, karena sudah terbangun sebuah semangat kebersamaan yang tinggi.
Maka tanpa lembaga kepemimpinan yang kuat, kelompok masih bisa tetap solid.
“Tapi dua-duanya menunjukkan arah kepada kohesivitas anggota,” imbuhnya
Melihat kohesivitas masyarakat muslim Indonesia dari konsep tersebut, ucap Hadjri, di masa pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan awal masyarakat muslim Indonesia tergolong sebagai masyarakat solidaritas mekanik.
Namun setelah dekade 60-an, masyarakat Muslim Indonesia tidak lagi memiliki simbol kemepimpinan yang kuat. Artinya pasca dekade 60-an, muslim Indonesia tergolong masyarakat solidaritas organic.
“Kita perlu day to day mengamati bagaimana kohesivitas internal umat Islam. Kita kemudian lihat fenomena-fenomena yang terjadi di tubuh umat Islam,” tuturnya
Hadjri memaparkan, namun pada beberapa dasawarsa terakhir di tubuh umat Islam terlihat begitu mencolok sensifitasnya. Perdebatan tidak lagi dilakukan dengan santun, tapi lebih banyak dibicarakan dengan sengit. Bahkan menyangkut hal-hal yang sifatnya khilafiyah yang sebelumnya telah dipahami sebagai suatu yang berbeda, tapi kekinian kembali muncul dalam perdebatan yang sengit.
“Perdebatan sengitu itu perdebatan yang tidak dilakukan secara santun, tapi perdebatan-perdebatan yang penuh dengan aroma permusuhan, perselisihan, dan bahkan mungkin kebencian atau fanatisme,” urainya.
Padahal terkait dengan usaha perdamaian internal umat Muslim, menurut Hadjriyanto, sudah tercermin dalam doa yang selalu dipanjatkan untuk kebaikan sesama umat muslim setiap salatnya. Tapi perdebatan sering ditampilkan begitu sengit dan jauh dari wajah yang penuh rahmat.
Advertisement