Perlu Ijtihad Empirik, Ini Kerja Pendidikan Muhammadiyah
Guru Besar bidang pendidikan Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Prof. Suyata, mengemukakan, Muhammadiyah perlu menemukan strategi menurunkan dan menjabarkan ajaran agama Isalm untuk perbaikan pendidikan. Misalnya, melalui ijtihad empirik guna membangun teori dan prosedur kerja pendidikan.
Menurutnya, sekolah dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan 'Aisyiyah (PTMA) perlu memetakan keadaan dan sebaran unit-unit nya.
"Konsep pengembangannya perlu disusun dengan konseptualisasi teori dan berbasis data empirik yang kokoh. Mengingat negara berkembang seperti Indonesia masih menghadapi kolonialisasi ilmu pengetahuan dari Barat dan belum menemukan teori-teori indigenusnya,” ungkap Suyata, dalam keterangan Senin, 17 Februari 2020.
Invensi dan reinvensi pendidikan sangat dibutuhkan untuk mengatasi masalah pendidikan dan menetapkan arah baru pendidikan Muhammadiyah dengan basis filsafat pendidikan Muhammadiyah yang jelas.
"Artinya tidak ikut-ikutan atau latah dengan sistem yang disusun oleh public policy yang bahkan dipertanyakan kredibilitasnya," tutur Suyata.
Sebelumya, ia tampil dalam acara seminar pra muktamar ke-48 Muhammadiyah, di kampus Universitas Muhammmadiyah Tanggerang (UMT), Sabtu lalu.
Selain itu lembaga pendidikan Muhammadiyah tidak boleh terlalu dikekang atau dijerat dalam aturan organisasi yang 'njelimet'. Namun lebih diberikan keleluasaan untuk berkreasi.
"Sistem organisasi birokrasi yang membunuh, karena mengikat terlalu kuat. Sekolah harus diubah bukan lagi sebagai organisasi akan tetapi menjadi komunitas, sehingga tidak terikat system,” tegasnya.
Meskipun memberi kebebasan bagi penyelenggara pendidikan, Suyata menambahkan, lembaga pendidikan yang berada dibawah naungan Muhammadiyah tidak bebas semaunya sendiri.
Namun tetap dengan batas-batasan tertentu, karena tidak bisa dipungkiri bahwa, lembaga pendidikan yang dikelola juga bagian dari mekanisme organisasi yang memayunginya.
Tidak semua urusan sekolah harus melulu diselesaikan atau diselenggarakan sesuai dengan aturan baku organisasi, karena dalam proses pendidikan dibutuhkan kreativitas yang ditujukan untuk membuat suatu kebaharuan dan kebaikan bagi peserta didik.
"Hal ini berpijak pada ucapan Nabi yang mengatakan bahwa, hari ini harus lebih baik dari kemarin," tutur Suyata.
Terkait kebaharuan atau tajdid, dalam kacamatanya, sekolah Muhammadiyah masih miskin informasi, sehingga setiap keputusan yang diambil adalah dari sesuatu yang muncul dari pikiran. Sehingga, dibutuhkan pemasok informasi yang mengupgrade pengetahuan dan informasi bagi sekolah-sekolah Muhammadiyah yang tertinggal.
"Membuat mereka pintar itu sudah, karena itu perlu di cari gagasan kebaharuan seperti apa untuk diimplementasikan sampai ke bawah. Salah satu caranya adalah jadikan guru, Kepsek dan siswa sebagai pemimpin. Karena tugas pemimpin adalah berfikir untuk menyelesaikan. Mereka akan dengan sendirinya akan dipacu untuk terus berfikir,” urainya.
Merefleksikan gagasan Ahmad Dahlan tentang, guru dan murid menjadi satu, guru juga murid, murid juga guru dan sebaliknya. Menyiratkan bahwa peran kepemimpinan nya bisa dikembangkan untuk siapapun. Karena kepemimpinan itu harus dimiliki banyak pihak, inilah kepemimpinan yg disebarluaskan.
"Penyebaran kepemimpinan menjadi central bagi kemajuan dunia pendidikan di Muhammadiyah. Dan sekolah tidak diatur secara hirarkis, namun sebagi komunitas sekolah bisa berjejaring dengan komunitas yang lain,” tuturnya.
Dalam kesimpulannya, Suyata menekankan terkait reiventing pendidikan memiliki arti dan makna yang luas dengan sasaran sekolah, kelompok sekolah, kepemimpinan, kelembagaan, kurikulum, pemikiran pendidikan, dan masih banyak ragamnya. Serta mutu, keadilan, dan akses pendidikan sekolah Muhammadiyah memerlukan pemetaan secara serius. Dia juga menambahkan bahwa, pola tajdid baru tafsir Al Ma'un dapat diperluas dengan dukungan ijtihad empirik/penelitian.
Advertisement