Perlawanan Walikota Surabaya Tri Rismaharini
Banyak yang curiga ini semacam gula-gula bagi ASN, Polri, TNI, dan pensiunan menjelang Pilpres 2019. Jumlah mereka sangat besar dan bisa ikut menentukan jalannya Pileg dan Pilpres 2019. Total ASN pusat daerah lebih kurang sebanyak 4.4 juta. Polri sebanyak 440 ribu personil, TNI 430 ribu personil, dan pensiunan 2.89 juta jiwa. Jadi total ada sebanyak 8.2 juta orang.
Walikota Surabaya Tri Rismaharini sedang membuat kesal dan panik Mendagri Tjahjo Kumolo, dan Menkeu Sri Mulyani. Secara terbuka Risma menolak membayar THR dan gaji ke-13 seperti yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Alasannya hal itu tidak dianggarkan, dan akan membebani anggaran Pemkot Surabaya.
Bagi yang kenal Risma, penolakan ini tidak mengagetkan. Bila tidak sesuai dengan aturan dan prinsipnya, Risma berani menolak perintah siapapun, termasuk perintah Ketua Umum PDIP Megawati. Jadi kalau cuma Tjahjo, apalagi Sri Mulyani, bagi Risma itu soal kecil. Sri Mulyani mengaku sudah menelepon Risma, dan sudah confirmed akan membayar. Tapi menurut Risma, dia yang menelepon Sri Mulyani. Sikapnya tegas. Tetap keberatan.
Kita tentu belum lupa ketika Risma berani menolak perintah Ketua Umum PDIP Megawati untuk menjadi calon Gubernur Jawa Timur. Rasanya sangat jarang, atau bahkan malah tidak ada kader PDIP yang berani menolak titah Megawati.
Kasusnya menjadi lebih langka karena Risma menolak jabatan yang lebih tinggi. Dia menolak jadi gubernur dan memilih bertahan sebagai walikota. Sementara banyak kader yang berebut, bahkan bersedia melakukan apapun untuk mendapat restu Sang Ketum, demi sebuah jabatan. “opo tumon?” kata orang Jawa. Tapi itulah Risma.
Perlawanan Risma ini menarik untuk kita amati. Bagaimana endingnya. Sebagai kader PDIP, pemerintah pasti tidak ingin dipermalukan dengan munculnya perlawanan dari internal. Sikap Risma sangat menohok. Menyodok ulu hati. Dipastikan akan terjadi lobi-lobi internal partai, dan bukan tidak mungkin Presiden Jokowi, atau bahkan Megawati sendiri yang akan turun tangan.
Perlawanan Risma bila dibiarkan berpotensi memicu keberanian kepala daerah lain. Jadi bukan tidak mungkin akan ramai-ramai muncul penolakan. Selain Risma sejumlah kepala daerah juga sudah menyatakan keberatan untuk membayar THR dan gaji ke-13 itu. Kabupaten Purwakarta, Jabar, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau (Kepri), dan Provinsi Kepri juga menyatakan keberatan.
Pemprov Riau juga kelabakan karena harus mengeluarkan anggaran tambahan sebesar Rp 315 miliar. Padahal mereka sendiri sedang menghadapi masalah anggaran. APBD mereka harus dirasionalisasi, alias dipangkas sebesar Rp 1.7 triliun. Dengan THR dan gaji ke-13, bebannya akan bertambah.
Sarat dengan kepentingan politik
Sejak awal keputusan pemerintah untuk memberi THR dan gaji ke-13 ini memang mengagetkan dan menimbulkan tandatanya. Ketua MPR Zulkifli Hasan yang pertamakali mengungkap dan mempertanyakan, “dari mana sumber dana untuk pembayarannya?” Zulhasan mengaku mendapat banyak keluhan dari sejumlah kepala daerah. Dia khawatir hal ini menjadi blunder Menkeu dan bisa mempermalukan Jokowi.
Sri Mulyani berkeras bahwa semuanya telah direncanakan dan anggarannya telah diberikan ke pemerintah daerah melalui Dana Alokasi Umum (DAU). Namun dalam DAU tersebut yang dianggarkan hanya berupa gaji pokok. Sementara dalam Peraturan Pemerintah (PP) tentang THR dan gaji ke-13 meliputi gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan jabatan, tunjangan kinerja atau tambahan penghasilan lainnya. Jumlahnya sangat besar. Tidak cukup hanya mengandalkan DAU. Pemerintah daerah harus jungkir balik mencari dan menambal kekurangannya.
Pemprov Jabar misalnya mengaku akan melakukan pemutihan pajak kendaraan. Mereka membebaskan bea balik nama kendaraan bermotor, dan menghapuskan denda pajak kendaraan bermotor. Hal itu dilakukan untuk memenuhi anggaran pembayaran THR dan gaji ke-13 sebesar Rp 200 miliar. Namun tidak semua daerah punya kemampuan seperti Pemprov Jabar.
Kasus ini menjadi tambah ramai ketika muncul surat edaran dari Mendagri yang memberi petunjuk kepada kepala daerah, bahwa sumber dana pembayarannya bisa berasal dari dana tak terduga. Bila tidak mencukupi, bisa diambil dari penjadwalan ulang kegiatan. Namun bila memang masih tidak mencukupi juga, bisa diambil dari kas daerah.
Artinya pemerintah daerah diminta melakukan akrobat dengan penggeseran mata anggaran, atau upaya apapun termasuk melanggar dan menabrak berbagai aturan. Surat edaran ini juga sekaligus membuka kedok kebohongan publik yang dilakukan Menkeu.
Sungguh dahsyat! Inti dari surat edaran tersebut menunjukkan bahwa pemberian THR dan gaji ke-13 adalah program yang sangat-sangat penting. Apapun harus terlaksana. Yang lebih luar biasa, Mendagri memberi petunjuk agar perubahan anggaran tersebut tidak perlu mendapat persetujuan DPRD. Cukup dilaporkan paling lambat satu bulan setelah dilaksanakan.
Surat Mendagri ini memicu kekagetan banyak pihak. Mantan Menteri Otonomi Daerah Ryaas Rasyid khawatir hal itu akan menjerumuskan para kepala daerah ke penjara. Sebab menggeser anggaran tanpa persetujuan DPRD menurut pakar hukum tata negara Margarito Kamis bisa terkena delik pidana korupsi. Anggota Ombudsman RI Alvin Lie menilai ada mal administrasi. Pemerintah daerah banyak yang gelagapan, dan terkaget-kaget. “Apa ini mau menjerat kepala daerah supaya masuk sel?” tanya Wakil Ketua DPRD Riau Noviwaldi Jusman.
Mengapa pemerintah sangat bersemangat dan bersedia menabrak berbagai aturan? Sebab bila melihat dana yang harus dikeluarkan sangat besar. Jumlahnya mencapai Rp 35.76 triliun. Jadi pasti akan menambah beban baru yang tidak perlu. Padahal pemerintah juga sedang menghadapi persoalan anggaran yang berat. Utang terus menggunung. Realisasi penerimaan pajak meleset, nilai rupiah terus melemah, pertumbuhan ekonomi di bawah proyeksi, dan banyak persoalan ekonomi lainnya?
Kemenkeu dalam penjelasannya menyatakan, THR dan gaji ke-13 diharapkan dapat meningkatkan kinerja dan pelayanan masyarakat aparatur sipil negara (ASN) alias para pegawai negeri sipil. Selain itu diharapkan daya beli ASN menghadapi hari raya, tahun baru, dan tahun ajaran baru juga bisa meningkat. Sehingga juga ikut menggerakkan perekonomian nasional.
Benarkah alasannya hanya sesederhana itu? Sebuah alasan yang sangat bisa diperdebatkan, utamanya berkaitan dengan peningkatan kinerja. Lantas untuk para pensiunan, kinerja apa lagi yang harus ditingkatkan?
Banyak yang curiga ini semacam gula-gula bagi ASN, Polri, TNI, dan pensiunan menjelang Pilpres 2019. Jumlah mereka sangat besar dan bisa ikut menentukan jalannya Pileg dan Pilpres 2019. Total ASN pusat daerah lebih kurang sebanyak 4.4 juta. Polri sebanyak 440 ribu personil, TNI 430 ribu personil, dan pensiunan 2.89 juta jiwa. Jadi total ada sebanyak 8.2 juta orang. Kalau masing-masing anggota keluarga dihitung 4 orang, maka total ada 32.8 juta orang. Bila dikonversi sebagai pemilih jumlahnya sangat signifikan.
Jumlah pemilih pada pemilu 2019 tercatat ada sebanyak 196.5 juta orang. Dengan begitu total pemilih ASN, Polri, TNI, dan pensiunan termasuk keluarganya sebanyak 16.7%. Jumlah yang sangat signifikan dan menentukan, bila bisa dikapitalisasi oleh incumbent secara baik.
Kesan bahwa pemerintah sedang mencoba mengambil hati aparat negara dengan cara mengobral anggaran sulit untuk dihindari. Beberapa hari lalu (5/6) Jokowi baru mengumumkan kenaikan tunjangan dan pendapatan untuk Bintara Pembina Desa (Babinsa) TNI. Jumlahnya mencapai 771%. Sebuah angka yang fantastis!
Saat ini jumlah Babinsa di seluruh Indonesia sebanyak 56.000 personil. Satu orang Babinsa menangani sekitar lima desa. Kepala Staf Presiden Moeldoko berencana akan menambah jumlah Babinsa, hingga setiap desa/kelurahan bisa ditangani satu orang Babinsa. Berdasarkan data tahun 2015 jumlah desa dan kelurahan sebanyak 82.353. Terdiri dari 74.053 desa, dan 8.300 kelurahan.
Di masa Orde Baru peran Babinsa ini sangat penting. Dengan peran teritorial dan sosial politik TNI, Babinsa menjadi alat kekuasaan yang efektif, termasuk memenangkan Golkar sebagai partai penguasa. Namun peran tersebut secara perlahan surut, seiring dengan reformasi TNI dan mengembalikan mereka ke barak. Peran mereka diambilalih oleh personil Polri, yakni bintara pembina keamanan dan ketertiban masyarakat (Babinkamtibmas).
Mabes TNI sudah menepis kekhawatiran bahwa kenaikan tunjangan dan operasional Babinsa merupakan upaya kooptasi dan menarik mereka kembali ke ranah politik. Namun kekhawatiran dan kecurigaan semacam itu sulit dihindari.
Sejauh ini netralitas TNI sudah berjalan sangat baik. Bahkan dalam Pilkada DKI 2017 TNI punya peran sangat besar. Kehadiran personil TNI di sejumlah TPS pada putaran kedua ditengarai menjadi salah satu faktor lancar dan amannya Pilkada DKI 2017. Mereka berhasil mencegah adanya potensi kerusuhan, dan kecurangan di TPS. Tentu sangat disayangkan bila karena kepentingan politik jangka pendek, profesionalisme dan netralitas politik TNI kembali dikorbankan.
Mari kita tunggu siapa yang akan kembali mendapat gula-gula, dan anggaran apalagi yang akan digelontorkan pemerintah. Tidak perlu kaget dan heran. Tak perlu sebal, apalagi marah-marah. Cara berpikir politisi, seperti dikatakan seorang penulis terkenal AS James Freeman Clarke, hanya bersifat jangka pendek, yakni pemilu berikutnya. Mereka tidak akan pernah berpikir, apalagi peduli bagaimana masa depan negara dan generasi berikutnya.
“The difference between a politician and a statesman is that a politician thinks about the next election while the statesman think about the next generation.”
Advertisement