Perkembangan Teknologi Oftamologi: AI Menjadi Alat Bantu atau Bencana bagi Oftamolog?
Teknologi berkembang dengan pesat, termasuk dalam dunia penyembuhan dan pencegahan gangguan dan penyakit terhadap sistem penglihatan manusia atau oftamologi.
Zaman yang semakin bergerak bahkan sampai melahirkan suatu produk atau sistem yang mempermudah pekerjaan manusia, khususnya para oftamolog yang menangani pasien-pasiennya.
Santosh Honavar dalam tulisannya, dengan tajuk "Artificial intelligence in ophthalmology - Machines think!" yang dimuat dalam Indian Journal of Ophtamology menyebutkan, kecerdasan buatan sudah digunakan sebagai medium untuk mendeteksi gangguan pada mata pada tahun 1976, di mana teknologi CASNET didemonstrasikan dan layak untuk menjadi alat konsultasi penyakit glaukoma.
Dokter mata atau oftamolog kemudian menggunakan kecerdasan buatan, yang dapat memberikan karakteristik spesifik penyakit yang diketahui, yang hasilnya kemudian dapat diverifikasi berdasarkan identifikasi penyakit.
Kecerdasan buatan dalam dunia oftamologi kemudian juga digunakan untuk mendiagnosis penyakit pada retina, seperti kelainan pembuluh darah retina akibat gula darah tinggi atau retinopati diabetik dan saraf retina yang mengelupas atau ablasio retina, glaukoma, dan katarak.
Menanggapi hal itu, Direktur Utama RS Mata Undaan, dr. Sahata Napitupulu, Sp.M mengatakan banyak alat berteknologi yang sudah muncul tetapi belum sempat dikuasai.
"Saat teknologi penyembuhan atau pencegahan penyakit pada mata itu berkembang sedemikian pesat dan sudah muncul yang baru terdapat masalah lain, yakni belum ditentukannya standar pelayanan terhadap pasien," ucapnya.
Dokter Sahata juga menjelaskan, koding-koding yang sebelumnya sudah dipelajari dan dikuasai oleh para dokter mata atau oftamolog harus menyesuaikan dengan teknologi muktahir yang selalu dinamis.
"Kalau tindakan banyak yang tidak masuk ke dalam koding karena kodingnya dibuat beberapa tahun lalu, padahal teknologi berkembang dan banyak tidak masuk ke dalam koding akhirnya kami samakan, memang agak kurang nyaman, harusnya segera menyesuaikan. Diagnosis tindakan harus menyesuaikan dengan teknologi itu," paparnya.
Dokter Sahata menyatakan, regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pun terkadang menyulitkan para dokter mata atau oftamolog dalam melakukan diagnosis atau tindakan yang tepat dengan teknologi medis berteknologi tinggi yang mereka miliki di rumah sakit.
"Bahwa penyusunan koding diagnosis penyakit, itu harus segera, kita sekarang dituntut digitalisasi semua, Desember harus selesai didigitalisasi padahal kodingnya belum ada. Padahal kalau digitalisasi harus ada kodingnya dulu," tegasnya.
Karena regulasi yang belum terbit dari pemerintah dan ataupun organisasi profesi, beberapa inovasi, yakni alat-alat berteknologi tinggi yang akan dihadirkan RS Mata Undaan pun terhambat.
"Riset sebenarnya sudah berjalan bertahun-tahun tapi belum dapat persetujuan dari badan yang berwenang, belum ada izin dari BPOM terkadang organisasi profesi di Eropa setuju, yang di Amerika belum setuju, itu harusnya bisa menambah layanan di RSMU, pada sub spesialis glaukoma dan retina," paparnya.
Dalam pelayanan oftamologi di RS Mata Undaan, Dokter Sahata menjelaskan perkembangan teknologi diagnosis dan tindakan terhadap mata sudah berkembang pesat di seluruh bidang sub spesialis.
"Jadi untuk semua divisi sudah melakukan inovasi dan menggunakan alat-alat berteknologi tinggi, yang paling maju bedah refraksi namun bidang lain juga ada inovasi tetapi gaungnya masih kurang," pungkasnya.
Advertisement